Urgensi Pembentukan Lembaga Legislasi Pemerintah Dipertanyakan
Utama

Urgensi Pembentukan Lembaga Legislasi Pemerintah Dipertanyakan

Rencana pembentukan Lembaga Legislasi Pemerintah ini belum tentu efektif jika tidak diikuti pengembangan subsistem yang mendukung untuk itu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Para narasumber Seminar Nasional Reformasi Hukum, bertajuk 'Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien,' yang diselenggarakan Setkab di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (29/11). Foto AID
Para narasumber Seminar Nasional Reformasi Hukum, bertajuk 'Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien,' yang diselenggarakan Setkab di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (29/11). Foto AID

Ada sekitar 42 ribu peraturan di Indonesia mulai dari undang-undang, peraturan presiden, peraturan pemerintah, hingga peraturan gubernur, bupati, dan walikota saling tumpang tindih. Namun, banyaknya hiper regulasi, disharmonisasi regulasi, multi interpretasi regulasi tersebut berdampak pada terhambatnya kemajuan perekonomian, diantaranya iklim investasi dan kemudahan berusaha di Indonesia. 

 

Untuk mengatasi hal itu, ada usulan membentuk satu lembaga baru untuk menangani persoalan regulasi di instansi pemerintahan. Lembaga tersebut bernama Lembaga Legislasi Pemerintah di bawah supervisi langsung Presiden. Usulan ini diungkapkan perwakilan pemerintah dalam sebuah Seminar Nasional Reformasi Hukum, bertajuk “Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien,” yang diselenggarakan Sekretariat Kabinet (Setkab) di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (29/11/2018).

 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan usulan lembaga legislasi itu lantaran sulitnya mengatasi obesitas regulasi di instansi pemerintahan. Pramono menilai secara terang-terangan obesitas regulasi ini berdampak sangat serius, menurunnya tingkat daya saing Indonesia di mata internasional. Padahal, banyak lembaga dunia seperti World Bank dan Mckinsey meramalkan Indonesia bisa menjadi lima kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045.

 

“Kita akui penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat komplek dan berbelit-belit karena melewati banyak pintu, sehingga tidak heran memperlambat proses sinkronisasi sebuah peraturan,” kata Pramono. (Baca Juga: Peringkat Kemudahan Berusaha Indonesia Turun, Ini Langkah Pemerintah)

 

Ia berharap Indonesia dapat meniru Korea Selatan dan Amerika Serikat yang memiliki lembaga khusus untuk mengatasi persoalan regulasi yang penanganannya melalui satu pintu. “Tidak seperti saat ini melalui banyak pintu, seperti melalui Kemenkumham, Setneg, Setkab, dan DPR untuk membahas persoalan legislasi,” kata dia.

 

Dalam kesempatan yang sama, Mantan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mendukung dibentuknya lembaga legislasi pemerintahan untuk mengatasi berbagai problem inkonsistensi dan disharmoni regulasi. Dia berharap nantinya badan ini bisa berfungsi menjaga peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dan konsisten secara vertikal dan horisontal serta sesuai kebijakan pemerintah di bawah supervisi langsung Presiden.

 

“Badan ini sebaiknya dibentuk dengan Peraturan Pemerintah (PP), yang berlaku di tingkat nasional dan tingkat daerah,” usulnya.

 

Hamdan menjelaskan nantinya tidak ada draft sebuah peraturan yang disahkan oleh pemerintah (eksekutif) sebelum diperiksa melalui lembaga ini. Kata lain, badan ini nantinya sebagai palang pintu terakhir menjaga kualitas peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah.

 

Selain itu, lembaga ini berfungsi menghimpun informasi dan data mengenai kebutuhan adanya peraturan yang baru atau penyempurnaan peraturan yang ada; memantau implementasi peraturan; memeriksa draf peraturan sebelum disahkan; memeriksa draf RUU dari pemerintah sebelum diajukan ke DPR; memeriksa RUU dari DPR atau DPD sebelum pembahasan dengan DPR atau DPD.

 

“Berwenang juga mengusulkan perubahan atau pencabutan suatu peraturan; merekomendasikan mencabut atau mengubah draf peraturan perundang-undangan atau memberi penafsiran peraturan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pemerintah.”

 

Dia menambahkan lembaga ini nantinya terdiri dari tiga bidang yakni Polhukam, Ekonomi dan Kesra. Setiap bidang memiliki bidang riset dan pemantauan, drafting dan pemeriksaan. Ia pun mengusulkan agar BPHN dikeluarkan dari Kemenkumham dan diubah (dilebur) menjadi lembaga ini.

 

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Sarmuji juga mendukung dibentuknya lembaga khusus legislasi ini. Ia menilai untuk dapat membentuk lembaga ini, pemerintah dan DPR harus dapat merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. DPR sendiri sudah merencanakan revisi terhadap UU tersebut yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019.

 

"Ini bentuk antisipasi kami kalau pemerintah memang membutuhkan perubahan-perubahan dalam proses penyusunan undang-undang," kata Sarmuji.

 

Nasib BPHN?

Menanggapi usulan ini, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mempertanyakan bila lembaga ini dibentuk apakah bakal mengurangi kewenangan BPHN dan Dirjen PP di Kemenkumham. “Atau apakah nantinya BPHN dan Dirjen PP ini dilebur (menjadi lembaga legislasi pemerintahan)?” (Baca Juga: Perlu Lembaga Tunggal untuk Menata Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?)

 

Menanggapi pertanyaan ini, Hamdan menjawab kedua lembaga ini nantinya dilebur. Menurutnya, tidak menjadi persoalan jika BPHN atau Ditjen PP Kemenkumham diintegrasikan menjadi lembaga seperti ini. “Ini bisa mengatasi banyak permasalahan regulasi saat ini,” katanya.

 

Usai seminar, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti menilai jika ingin membentuk lembaga khusus legislasi pemerintahan, seperti di Korea Selatan dan Amerika Serikat perlu dipertimbangkan secara matang. Pertanyaannya, apakah situasi dan sistem hukum Indonesia sama dengan kedua negara tersebut. “Jika sama, mungkin perlu didukung. Namun jika tidak sama, ini perlu dipertimbangkan lagi,” kata Susi.

 

“Ini tentu perbandingan sistem hukum antar negara. Apakah Indonesia ingin mengadopsi sistem hukum kedua negara tersebut? Sejauh mana kita membutuhkan lembaga khusus itu ada di Indonesia?”

 

Menurutnya, dibentuknya lembaga khusus legislasi ini belum tentu efektif jika tidak diikuti pengembangan subsistem yang mendukung untuk itu, seperti Sumber Daya Manusia dan infrastrukturnya. Tak kalah penting, kata Susi, harus dilihat bagaimana hubungan lembaga khusus legislasi ini dengan lembaga lain. Misalnya, hubungannya dengan DPR dan DPD.

 

“Apakah badan ini berhak menetapkan politik hukum peraturan perundang-undangan atau tidak? Apakah lembaga khusus ini nantinya diikutsertakan saat DPR menetapkan Proglenas dalam pembentukan UU?”  

 

Ditegaskan Susi, Legislasi Pemerintah ini mesti dipastikan, apakah khusus peraturan ranah eksekutif saja atau memiliki hubungan dengan lembaga lain, seperti DPR dan DPD. Karenanya, lembaga ini bisa memastikan saat pembentukan peraturan perundang-undangan di pemerintahan tidak bertentangan dengan politik hukum negara. “Jadi, harus jelas hubungan dengan kelembagaan lain dan tidak overlapping (dengan kewenangan lembaga lain),” tegasnya.

 

Dia mengingatkan jika ingin tetap membentuk lembaga khusus legislasi ini harus berhati-hati dengan memperhatikan subsistem yang mendukung untuk itu. Sebab, jika tidak akan menimbulkan pemborosan anggaran. “Jangan sampai kita berusaha untuk men-stop produksi peraturan, tetapi yang ada kita malah memproduksi terus,” katanya.

Tags:

Berita Terkait