Urgensi Pembentukan Lembaga Khusus Pengelola Reformasi Regulasi
Berita

Urgensi Pembentukan Lembaga Khusus Pengelola Reformasi Regulasi

Upaya radikal namun diyakini akan memberikan pengaruh cepat.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M.Nur Solikhin, menjelaskan setidaknya ada dua masalah utama yang terjadi dalam sistem regulasi di Indonesia. Pertama, terus membengkaknya jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Kedua, banyak di antara peraturan perundang-undangan yang ada tersebut justru tidak sinkron satu sama lain. Dua masalah ini dianggap Solikhin sebagai ‘bencana’ yang menghambat pembangunan negara. Menurutnya diperlukan upaya radikal melalui reformasi regulasi yang sistematis.

 

Penelitian Solikhin, yang membandingkan dengan pengalaman berbagai negara, menunjukkan bahwa kehadiran lembaga khusus untuk mengelola reformasi regulasi ini sebagai langkah jitu. Hal ini ia kemukakan dalam penelitiannya yang dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pasar Modal, Vol.VIII.Ed.15/2018 dengan judul Penataan Kelembagaan untuk Menjalankan Reformasi Regulasi di Indonesia.

 

Solikhin menggunakan laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun 2012 sebagai salah satu data penelitiannya. OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia 2012 mengulas soal kebutuhan Indonesia melakukan reformasi regulasi.

 

Data lain yang digunakan oleh Solikhin adalah Pedoman Penerapan Reformasi Regulasi milik Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan (DAPP) di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2011 dan Laporan Reformasi Regulasi Semester Satu tahun 2007 yang disusun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

 

Kebutuhan Indonesia untuk melakukan reformasi regulasi rupanya telah menjadi sorotan pihak nasional dan internasional. Namun, Solikhin melihat isu ini sebatas muncul dan tenggelam begitu saja karena masih bergantung political will penguasa.

 

Persoalan reformasi regulasi kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya untuk menyederhanakan regulasi pada Maret 2016. Presiden nampak serius dengan persoalan reformasi regulasi terutama untuk mendorong inovasi dan pengembangan sektor ekonomi.

 

Solikhin mengutip data yang pernah diutarakan Joko Widodo soal jumlah keseluruhan peraturan perundang-undangan Indonesia telah mencapai 42.000 regulasi dengan berbagai bentuknya. Komitmen Joko Widodo dibuktikan dengan peluncuran paket kebijakan revitalisasi hukum pada Oktober 2016.

 

(Baca Juga: Urgensi Pembentukan Lembaga Legislasi Pemerintah Dipertanyakan)

 

Paket kebijakan revitalisasi hukum ini memuat tiga program yaitu penataan regulasi, pembenahan kelembagaan, dan pembangunan budaya hukum. Kepala Staf Presiden kala itu, Teten Masduki tercatat pernah mengumumkan kepada peserta Konferensi Hukum Tata Negara tahun 2017 bahwa Pemerintah telah mencabut 324 regulasi dan melakukan revisi 75 regulasi sepanjang tahun 2016.

 

Solikhin menyambut baik kebijakan Pemerintah yang menaruh perhatian pada reformasi regulasi. Hanya saja ia menilai langkah-langkah Pemerintah hingga saat ini masih belum sistematis dan terkesan reaktif serta sektoral. Pemerintah  tidak tampak antisipatif sebelum akhirnya ditemukan regulasi yang menimbulkan masalah.

 

Hakikat Reformasi Regulasi

Penelitian Solikhin memulai dari penjelasan reformasi regulasi. Ada perbedaan cukup signifikan mengenai definisi reformasi regulasi yang ia temukan dalam dokumen Pedoman Penerapan Reformasi Regulasi milik DAPP dengan Laporan Reformasi Regulasi milik KPPU. Perbedaan ini mengenai ruang lingkup sasaran reformasi regulasi.

 

Reformasi Regulasi versi DAPP

Reformasi Regulasi versi KPPU

Perubahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan, dapat mendukung terselenggaranya dinamika sosial secara tertib, serta terlaksananya penyelenggaraan negara dan pembangunan secara efektif dan efisien. Selain berkualitas peraturan perundang-undangan juga harus tertib dan sederhana.

Perubahan–perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka perbaikan kinerja ekonomi, efektifitas biaya serta administrasi pemerintahan. Bentuk reformasi dapat berupa revisi dan penataan ulang kerangka regulasi serta perbaikan proses.

 

Meskipun sama-sama menjelaskan perubahan regulasi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi, KPPU lebih menekankan pada ruang lingkup ekonomi. Solikhin kemudian menyimpulkan bahwa lingkup reformasi regulasi sangat luas dan adaptif dengan kebutuhan masing-masing sektor. Ia sendiri mencatat bahwa DAPP membuat enam rincian mengenai manfaat yang diharapkan dari reformasi regulasi.

 

6 Manfaat Reformasi Regulasi versi DAPP

  1. Terwujudnya iklim kerja yang lebih baik bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya
  2. Tercapainya kinerja penyelenggaraan dan pembangunan negara yang didukung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tertib dan sederhana
  3. Efisiensi anggaran negara
  4. Meningkatnya investasi
  5. Meningkatnya lapangan kerja
  6. Meningkatnya tingkat kesejahteraan

 

DAPP menjelaskan dua cara untuk meningkatkan kualitas regulasi yaitu pembenahan regulasi yang sudah ada dan pembentukan regulasi (baru) yang berkualitas. Di sisi lain KPPU juga menjelaskan dua cara serupa yaitu revisi dan penataan ulang kerangka serta perbaikan proses pembentukan regulasi. KPPU mengidentifikasi empat esensi reformasi regulasi.

 

4 Esensi Reformasi Regulasi

  1. Peningkatan kualitas regulasi melalui peningkatan kinerja, efektifitas biaya, kualitas regulasi, serta berbagai ketentuan formal lainnya
  2. Reformasi berarti revisi, penghapusan, atau pembentukan tatanan regulasi berikut institusinya
  3. Reformasi juga termasuk perbaikan kualitas penyusunan dan pembuatan kebijakan atau regulasi serta manajemen reformasi regulasi
  4. Deregulasi merupakan bagian dari reformasi regulasi, yang berarti penghapusan sebagian dari perangkat regulasi untuk suatu sektor guna meningkatkan kinerja perekonomian

 

Solikhin sampai pada kesimpulan bahwa prioritas penting dari reformasi regulasi adalah pembentukan suatu lembaga khusus yang memastikan manfaat serta esensi dari reformasi regulasi tersebut terwujud.

 

Perlu Lembaga Khusus Pengelola Reformasi Regulasi

Penelitian Solikhin menemukan pengalaman dari 13 negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia telah memiliki lembaga khusus yang berfungsi menangani pencapaian reformasi regulasi secara terus menerus. Beragam contoh variasi nama, jenis kelembagaan, hingga tanggung jawab pelaporan bisa menjadi model untuk diadaptasi di Indonesia.

 

Beberapa negara bahkan memiliki lebih dari satu lembaga khusus semacam ini dengan tipe pertanggungjawaban berbeda. Ada yang bertanggung jawab kepada parlemen, pemerintah, atau bahkan kepada lembaga yang menangani ekonomi dan keuangan.

 

(Baca Juga: 12 Masalah Penghambat Kemudahan Berusaha Hasil Analisa BPHN)

 

Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan penataan regulasi adalah masalah yang dihadapi oleh berbagai negara. Hanya saja strategi yang digunakan memang berbeda. Banyak negara telah membentuk lembaga khusus untuk mengelola reformasi regulasi. Tidak sedikit yang menetapkan lembaga macam ini sebagai lembaga permanen. Alasannya karena perbaikan regulasi adalah program terus menerus yang sejalan dengan produksi regulasi dalam rangka menopang pembangunan negara.

 

Di Indonesia sendiri diakui Solikhin memiliki kelemahan dalam pengaturan kelembagaan yang berkaitan sistem regulasi. Sejak masa UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hingga akhirnya direvisi tujuh tahun kemudian dengan UU No.12 Tahun 2011, kedua undang-undang ini hanya sebatas mengatur kewenangan pembentukan regulasi.

 

Fungsi pengawasan terhadap regulasi tak menjadi perhatian dalam sistem regulasi. Pada saat yang sama, tidak ada satupun lembaga negara yang berwenang penuh mengontrol sistem regulasi sejak tahap perencanaan hingga implementasi.

 

Setiap Kementerian berwenang mengusulkan bahkan membentuk regulasi. Kementerian Hukum dan HAM sendiri hanya memiliki wewenang koordinatif dalam setiap pembentukan regulasi. Akibatnya adalah hiper regulasi dan saling tidak sinkron antar regulasi tak dapat dihindari.

 

Laporan OECD tahun 2012 memberikan rekomendasi serius agar Indonesia membentuk lembaga khusus yang menangani persoalan ini. Setidaknya lembaga tersebut diharapkan OECD akan memiliki empat tugas dan fungsi pokok yaitu coordinating and supervision, advice and technical support, challenges and scrutiny, and advocacy for reform.

 

Secara khusus ada enam kewenangan yang disarankan OECD agar diberikan pada lembaga khusus ini.

In establishing an independent institution to co-ordinate and provide oversight of regulatory quality, the government of Indonesia should give consideration to empowering this institution to:

1. Conduct quality control through the review of the quality of ex ante assessments of regulatory proposals and ex post evaluation of the stock of significant regulations;

2. Identify opportunities and priorities for whole-of-government improvements in regulatory policy;

3. Co-ordinate ex post evaluation of regulation as a basis for policy review and refinement in line with socio-economic developments;

4. Provide training and guidance on impact assessment and strategies for improving regulatory quality;

5. Develop and implement a communications strategy to secure ongoing support for efforts to improve regulatory quality and regulatory management capacity; and

6. Monitor and report on the co-ordination of regulatory reform activities and the performance of the regulatory management system against the intended outcomes.

 

Solikhin tidak menutup kemungkinan agar fungsi dan kewenangan ini diberikan kepada lembaga yang sudah ada. Namun dengan memperhatikan kenyataan bahwa kewenangan pembentukan regulasi telah tersebar di berbagai lembaga pemerintahan, sulit untuk menentukan lembaga mana yang tepat untuk diberikan fungsi dan kewenangan ini.

 

Kesimpulannya, kebutuhan adanya lembaga yang khusus dan fokus kewenangannya mengelola reformasi regulasi menjadi sangat mendesak. Meskipun diakui sebagai upaya radikal, Solikhin yakin akan memberikan pengaruh cepat untuk menyelesaikan masalah hiper regulasi dan saling tidak sinkron antar regulasi yang telanjur terjadi.

 

Tags:

Berita Terkait