Urgensi Pembentukan Dewan Etika Profesi Advokat Nasional
Kolom

Urgensi Pembentukan Dewan Etika Profesi Advokat Nasional

Advokat harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng untuk berlindung dari pelanggaran kode etik.

Bacaan 2 Menit
Urgensi Pembentukan Dewan Etika Profesi Advokat Nasional
Hukumonline

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, membuat kebutuhan akan jasa hukum semakin meningkat. Begitu juga dengan meningkatnya permasalahan dalam masyarakat, baik publik maupun privat mengakibatkan kebutuhan akan jasa hukum seorang advokat juga semakin tinggi. Advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya seorang advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat.

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia saat ini mempunyai advokat dalam jumlah yang cukup besar yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia. Jumlah advokat yang sangat besar ini menuntut adanya dewan etika yang dapat mengawasi perilaku dan etika seorang advokat. Menurut Bertens, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan berperilaku sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.

 

Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, UUD, lawan berperkara, rekan advokat atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Advokat sebagai profesi hukum (officium nobile) dalam menjalankan profesinya harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi.

 

Namun, bagaimanakah implementasi  kode etik advokat dalam praktiknya di Indonesia saat ini? Advokat Indonesia saat ini justru mengalami penurunan kualitas dan moralitas dibandingkan dengan advokat-advokat senior yang dahulu masih aktif dan berjuang pada era Orde Baru dan Orde Lama. Pada saat itu, advokat masih berjuang dengan hati nurani, objektif dan berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang ada. Sekarang advokat banyak yang terlibat dalam korupsi yudisial.

 

Apa yang terjadi dengan kondisi dewan kode etik saat ini? Dewan kode etik yang saat ini ada hanyalah dewan kehormatan advokat yang dimiliki oleh PERADI, namun melihat konsep wadah tunggal ini apakah adil apabila seorang advokat yang dianggap melanggar kode etik kemudian diperiksa hanya oleh dewan kehormatan PERADI tanpa adanya pengawasan dalam dewan kehormatan tersebut.

 

Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para advokat semakin banyak terjadi, namun pelanggaran-pelanggaran tersebut masih saja dibiarkan oleh dewan kehormatan. Sebagai contoh, advokat yang setelah membela seorang klien ketika sedang berperkara kemudian dengan mudahnya berpindah dengan membela seorang klien yang sebelumnya pernah menjadi lawannya. Hal ini secara etis tentu saja  tidak dapat dibenarkan karena akan menimbulkan conflict of interest. Padahal, kode etik advokat itu adalah suatu hal yang sangat prinsipal sehingga setiap advokat harus memperoleh pengetahuan lebih dari sekadar pengetahuan di universitas mengenai praktik advokat khususnya sekarang adalah mengenai kode etik advokat.

 

Konflik berkepanjangan antarorganisasi profesi advokat melahirkan persaingan tidak sehat antar advokat. Mereka hanya mengejar profit semata tanpa melihat supremasi hukum dan keadilan. Organisasi advokat saat ini lebih mengejar kuantitas dengan melahirkan sebanyak mungkin advokat dari organisasinya tanpa adanya kurikulum berkualitas dan teruji standarisasinya sehingga output yang dihasilkan pun pantas diragukan.

 

Itulah sebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak diperbolehkan. Akibat komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat, kualitas advokat patut dipertanyakan. Hal ini berdampak pada tidak berdayanya organisasi advokat mengurangi praktek korupsi yudisial yang melibatkan advokat-advokat yang menjadi anggotanya. Penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak boleh dimonopoli, justru penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat dilakukan bersama-sama negara dan pihak-pihak terkait lainnya yang ditunjuk negara.

 

Melihat kenyataan di atas sekarang sudah tiba waktunya setelah 8 tahun lebih UU advokat diundangkan dan melihat keributan-keributan dan perselisihan yang terus-menerus di tubuh organisasi advokat, maka UU advokat perlu diamandemen dengan mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI  dan pihak-pihak terkait.

 

Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada empat organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI.

 

Tidak aneh karena konsep wadah tunggal yang sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU Advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes serta gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen UU Advokat.

 

Organisasi advokat menjadi tidak fokus pada peningkatan mutu dan kualitas advokat serta pemberantasan korupsi yudisial, karena organisasi advokat yang tidak solid dan ribut terus menerus. Kursus (pelatihan) advokat, ujian advokat, CLE (Continuing Legal Education), rekrutmen, pelatihan, penyumpahan, kurikulum pendidikan advokat dan lain-lain akan terbengkalai dan akan berakibat kepada mutu pelayanan dan pemberian jasa hukum (legal services) kepada masyarakat  c.q. para pencari keadilan menjadi rendah dan berbagai pelanggaran kode etik tidak ditanggulangi sebagaimana seharusnya.

 

Padahal apabila organisasi profesi advokat di Indonesia mempunyai manajeman organisasi berkualitas yang dapat melahirkan advokat-advokat berkualitas dan berbakat, maka hal ini justru akan semakin meningkatkan mutu putusan dan membantu hakim-hakim dalam memutus perkara. Hakim akan lebih mudah mengambil keputusan dalam setiap perkara apabila dihadapkan dengan advokat-advokat berkualitas dan berbakat dengan mengambil argumen hukum berkualitas yang diberikan oleh advokat tersebut.

 

Proses peradilan dalam hal ini oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem hukum Civil Law disebut Investigation by magistrate. Dengan ini diharapkan putusan yang diambil oleh hakim akan menjadi baik dan adil jika advokatnya pun baik dan berkualitas. Namun yang terjadi saat ini adalah mutu putusan pengadilan merosot, sering kali tidak adil dan tidak bermutu, dimana tidak sedikit advokat-advokat yang justru terlibat dalam korupsi yudisial dalam hampir setiap proses peradilan. Hal ini menunjukkan betapa merosotnya kualitas advokat di Indonesia.

 

Langkah yang diperlukan untuk meningkatkan mutu dan pengawasan profesi advokat adalah dengan membentuk  Dewan Etika Profesi Advokat Nasional oleh organisasi-organisasi profesi advokat yang ada di Republik Indonesia  yang bertujuan untuk melakukan pengawasan perilaku dan penegakan kode etik profesi advokat secara efektif, serta penindakan terhadap advokat yang berasal dari organisasi manapun yang melanggar kode etik profesi advokat.  

 

Dewan ini akan melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, advokat-advokat senior yang berintegritas, mantan hakim dan jaksa kredibel dan tokoh-tokoh dari berbagai organisasi profesi advokat dan anggota dari organisasi penegak hukum. Organisasi-organisasi advokat kelak akan membentuk Komite Etik untuk melakukan fit and proper test terhadap tokoh-tokoh masyarakat, budayawan, advokat, mantan hakim, mantan jaksa dan tokoh-tokoh lainnya yang mempunyai kredibilitas dan integritas yang layak untuk menjadi anggota Dewan Kode Etik Profesi Advokat.

 

Dengan adanya Dewan Etika Profesi Advokat Nasional ini maka dapat dihindari adanya advokat “kutu loncat” baik yang terkena teguran, sanksi skorsing (pemecatan sementara) maupun pemecatan seumur hidup, namun masih tetap bisa berpraktik di Pengadilan dengan berpindah ke organisasi advokat lain karena putusan-putusan dewan kehormatan organisasi advokat tidak ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh seluruh lembaga peradilan di seluruh Indonesia, seperti pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara. Hal ini untuk mengikis semangat “esprit de corps”.

 

Advokat harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng untuk berlindung dari pelanggaran kode etik. Dengan ini etika profesi advokat akan dapat ditegakkan dan advokat lebih diawasi secara ketat dan tegas.

 

*Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia)

Tags: