Urgensi Pembentukan Dewan Etika Profesi Advokat Nasional
Kolom

Urgensi Pembentukan Dewan Etika Profesi Advokat Nasional

Advokat harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng untuk berlindung dari pelanggaran kode etik.

Bacaan 2 Menit

 

Itulah sebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak diperbolehkan. Akibat komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat, kualitas advokat patut dipertanyakan. Hal ini berdampak pada tidak berdayanya organisasi advokat mengurangi praktek korupsi yudisial yang melibatkan advokat-advokat yang menjadi anggotanya. Penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak boleh dimonopoli, justru penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat dilakukan bersama-sama negara dan pihak-pihak terkait lainnya yang ditunjuk negara.

 

Melihat kenyataan di atas sekarang sudah tiba waktunya setelah 8 tahun lebih UU advokat diundangkan dan melihat keributan-keributan dan perselisihan yang terus-menerus di tubuh organisasi advokat, maka UU advokat perlu diamandemen dengan mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI  dan pihak-pihak terkait.

 

Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada empat organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI.

 

Tidak aneh karena konsep wadah tunggal yang sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU Advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes serta gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen UU Advokat.

 

Organisasi advokat menjadi tidak fokus pada peningkatan mutu dan kualitas advokat serta pemberantasan korupsi yudisial, karena organisasi advokat yang tidak solid dan ribut terus menerus. Kursus (pelatihan) advokat, ujian advokat, CLE (Continuing Legal Education), rekrutmen, pelatihan, penyumpahan, kurikulum pendidikan advokat dan lain-lain akan terbengkalai dan akan berakibat kepada mutu pelayanan dan pemberian jasa hukum (legal services) kepada masyarakat  c.q. para pencari keadilan menjadi rendah dan berbagai pelanggaran kode etik tidak ditanggulangi sebagaimana seharusnya.

 

Padahal apabila organisasi profesi advokat di Indonesia mempunyai manajeman organisasi berkualitas yang dapat melahirkan advokat-advokat berkualitas dan berbakat, maka hal ini justru akan semakin meningkatkan mutu putusan dan membantu hakim-hakim dalam memutus perkara. Hakim akan lebih mudah mengambil keputusan dalam setiap perkara apabila dihadapkan dengan advokat-advokat berkualitas dan berbakat dengan mengambil argumen hukum berkualitas yang diberikan oleh advokat tersebut.

 

Proses peradilan dalam hal ini oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem hukum Civil Law disebut Investigation by magistrate. Dengan ini diharapkan putusan yang diambil oleh hakim akan menjadi baik dan adil jika advokatnya pun baik dan berkualitas. Namun yang terjadi saat ini adalah mutu putusan pengadilan merosot, sering kali tidak adil dan tidak bermutu, dimana tidak sedikit advokat-advokat yang justru terlibat dalam korupsi yudisial dalam hampir setiap proses peradilan. Hal ini menunjukkan betapa merosotnya kualitas advokat di Indonesia.

Tags: