Urgensi Paradigma Restitusi dalam Peradilan Pidana
Kolom

Urgensi Paradigma Restitusi dalam Peradilan Pidana

Negara seharusnya memenuhi restitusi sebagai hak asasi manusia bagi korban. Hak restitusi tidak terpisahkan dari hak-hak korban sebagai subjek hukum.

Bacaan 3 Menit
Alya Amanda Oktaviani. Foto: Istimewa
Alya Amanda Oktaviani. Foto: Istimewa

Kekerasan seksual merupakan salah satu tindak pidana dengan korban yang pasti mengalami kerugian baik secara materiel maupun imateriel. Salah satu bentuknya adalah tindak pidana pelecehan seksual. Jenis ini kerap terjadi di lembaga pendidikan, padahal lembaga ini tujuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Kekerasan seksual yang terjadi di dalam lembaga pendidikan sering menimbulkan pertentangan moral dan perilaku. Pemerintah perlu mengambil tindakan melalui kebijakan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Salah satu contoh pelecehan seksual di lembaga pendidikan pernah terjadi di pondok pesantren Kota Bandung oleh Herry Wirawan. Ia adalah guru sekaligus pemilik pondok pesantren. Kasusnya diadili hingga Pengadilan Tinggi Bandung sebagaimana Putusan Nomor 86/PID.SUS/2022/PT BDG. Herry Wirawan mengakui telah memerkosa 13 santriwati. Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan menuntut Herry dijatuhi hukuman mati dan kebiri kimia. Jaksa Penuntut Umum juga meminta restitusi untuk korban. Majelis Hakim tingkat pertama telah mengabulkannya melalui Putusan Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg.

Baca juga:

Ada lagi kejadian serupa di salah satu pondok pesantren Kota Bogor. Pelakunya dan korbannya sama-sama anak laki-laki yang menjadi santri. Pelaku mengakui perbuatannya. Namun, alasannya karena pernah menonton video porno dan telah mengalami sodomi oleh teman di kampung sebanyak tujuh kali. Hingga perkaranya diputus—Putusan Pengadilan Nomor 21/Pid.Sus-Anak/2023/PN Bgr—, anak korban tidak menerima restitusi dari pihak pondok pesantren. Seharusnya pondok pesantren ikut bertanggung jawab— merujuk Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata—atas kerugian yang dialami korban.

Dua contoh kasus di atas pasti membawa dampak psikologis terhadap korban. Guru, yang diharapkan berperan menjadi orang tua ketika murid berada di sekolah, justru lalai memberikan pengawasan bahkan menjadi predator berbahaya bagi anak didiknya. Korban secara pasti mengalami kerugian, tapi umumnya peran korban dalam peradilan pidana hanya sebagai saksi korban. Fokus peradilan pidana sejak awal adalah mengadili pelaku tindak pidana. Lantas, bagaimana nasib korban terkait ganti kerugian atas tindak pidana tersebut? Salah satu yang menjadi hak mereka sebenarnya adalah hak restitusi.

Ganti rugi dalam hukum pidana terdiri dari dua jenis yaitu restitusi dan kompensasi yang dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (Perma Restitusi dan Kompensasi). Kerugian yang diderita yaitu materiel dan imateriel, misalnya dampak psikologis berkepanjangan hingga menghambat kehidupan korban. Korban berhak mendapatkan ganti rugi menyeluruh untuk memulihkan hak-hak miliknya. Restitusi adalah salah satu upaya untuk mencapai keadilan tersebut.

 Kekerasan seksual sendiri bisa dipastikan sebagai salah satu tindak pidana yang menyebabkan kerugian besar secara psikologis. Banyak korban kejahatan ini enggan mengungkapnya karena takut akan stigma sosial dan trauma.

Tags:

Berita Terkait