Urgensi Panduan Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Dunia Kerja
Terbaru

Urgensi Panduan Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Dunia Kerja

Dalam bentuk surat edaran yang penyusunanya melibatkan stakholders. Semacam soft regulations dan acuan normatif bagi para pelaku usaha terutama yang mengembangkan, mendesain, dan mengembangkan AI.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Wamenkominfo Nezar Patria. Foto: Biro Humas Kementerian Kominfo.
Wamenkominfo Nezar Patria. Foto: Biro Humas Kementerian Kominfo.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sedang menyusun pedoman penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Pedoman tersebut menjadi penting mengingat tren perkembangan AI terus mengalami kemajuan di berbagai bidang. Khususnya di sektor teknologi informasi.

Wakil Menteri Kominfo, Nezar Patria menyatakan  tren peningkatan penggunaan AI terjadi pada berbagai sektor. Dia memaparkan data yang diterima menunjukkan 22,1 persen pekerja di Indonesia telah mengimplementasikan pemanfaatan AI untuk mendukung kerja sehari-hari.

“Pemanfaatan AI di Indonesia sangat gencar saat ini dan AI telah membantu sekitar 22,1% pekerja di Indonesia dari berbagai sektor, seperti informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, pemerintahan dan pertahanan,” ujarnya dikutip dari laman Kemenkominfo, Senin (27/11/2023) kemarin.

Nezar menyampaikan pemanfaatan AI di Indonesia akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.  Meskipun memiliki dampak signifikan, pemerintah memetakan sejumlah tantangan atas kehadiran teknologi AI. Dia mencontohkan algoritma AI yang berpotensi menimbulkan bias, halusinasi, dan diskriminasi.

“Juga dari sektor informasi memberikan dampak information disorder karena dia bisa menghasilkan misinformasi dan disinformasi sehingga kita perlu satu upaya untuk membuat panduan penggunaan AI,” tandasnya.

Baca juga:

Melalui penyusunan Surat Edaran AI yang melibatkan para pemangku kepentingan, Nezar menegaskan hal itu sebagai upaya Kementerian Kominfo menghadirkan tata kelola AI nasional yang lebih inklusif. Dia menegaskan, surat edaran tersebut bersifat panduan etika penggunaan AI.

“Jadi seperti soft regulations, semacam acuan normatif bagi para pelaku usaha terutama yang mengembangkan, mendesain, dan mengembangkan AI,” tuturnya.

Dia berharap pelibatan para pihak tersebut dapat membantu merancang tata kelola AI. Selain itu, berbagai masukan yang diterima melalui diskusi tersebut akan menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan berikutnya. Ke depannya, perlu merancang regulasi legally binding yang orientasi pada pelindungan pengguna dan masyarakat luas dengan mempertimbangkan safety dan security-nya. Dengan demikian optimalisasi pemanfaatan AI dapat  diberdayakan untuk mewujudkan Indonesia yang terkoneksi, makin digital dan makin maju.

Dia menyampaikan aspek-aspek yang dibahas antara lain mengenai kecukupan regulasi yang sudah ada untuk merespons disrupsi yang ditumbulkan oleh AI, terutama generatif AI, salah satu cabang yang populer digunakan. Apabila regulasi belum mencukupi, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang harus diambil secara khusus.

“Jadi nanti mohon kalau ada masukan, review, catatan kritis dan memperkaya untuk membuat jadi lebih komprehensif sebaga sebuah panduan etik,” jelasnya.

Dia memaparkan penyusunan panduan penggunaan AI bukanlah sesuatu hal yang mudah, mengingat hampir setiap negara sedang memikirkan pengaturan tentang AI terutama untuk generative AI yang semakin berkembang.

“Di tengah kegalauan juga sejumlah negara apakah melanjutkan proses pengembangan AI yang generative AI ini, sehingga levelnya sampai otonomus yang manusia tidak campur tangan lagi, tapi mesin yang memutuskan. Ini bukan hal yang jauh tetapi sudah sangat dekat kalau kita lihat kemampuan AI,” ujarnya.

Tidak hanya itu, pria yang notabene mantan jurnalis senihor itu menegaskan pemerintah sangat terbuka untuk menerima masukan sehingga nanti bisa menjadi kesepakatan bersama dalam menghasilkan suatu kebijakan untuk kemudian dijadikan acuan. “Yang kami inginkan adalah SE ini dapat menjadi dasar peningkatan regulasi yang lebih komprehensif nantinya. Sehingga dapat lebih memberikan pelindungan bagi masyarakat kita,” ujarnya.

Terpisah, Chief Marketing Officer KG Media, Dian Gemiano menyampaikan perkembangan teknologi yang sangat masif telah menjadi keniscayaan, dan kehadiran Artificial Intelligence (AI) memberikan dampak pertumbuhan yang positif maupun negatif dalam ekosistem media di Indonesia. Menurutnya, kehadiran AI dalam konteks redaksional memang berisiko, apalagi terkait etik dan isu hak cipta yang masih menjadi perdebatan.

“Untuk media terutama dalam konteks redaksional memang risiko soal etik dan isu copyright masih diperdebatkan. Jadi, kalau menurut saya di tahap ini, teman-teman media harus mengeksplorasi tetapi juga tetap harus memitigasi risikonya,” ujarnya dalam diskusi terbuka Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Jumat (24/11).

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan lembaga pers yang dipimpinnya membawahi konstituen media terus melakukan proses pendekatan dengan pemerintah supaya publisher rights segera dapat mengakomodasi kebutuhan media. Dia menyarankan agar para media terus bergerak menggunakan daya upaya untuk terus survive di situasi yang tidak ada publisher rights ini.

“Dewan pers yang membawahi konstituen terus melakukan proses engagement dengan pemerintah supaya ini disegerakan sehingga mengakomodasi kebutuhan kawan-kawan media,” katanya.

Ninik turut berkomentar soal maraknya konten-konten hasil AI yang terkadang dimanfaatkan oleh jurnalis. Hal tersebut menurutnya berbeda dengan sebagaimana kerja pers yang harus bertugas menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.

“Kemudahan digital membuat adanya kecenderungan ingin instan karena dunia digital yang karakteristiknya cepat. Sementara karya jurnalistik butuh konteks, fakta, informan ahli, dan konfirmasi yang pada era digital yang cepat ini tidak dilakukan sehingga AI tidak memberi kontribusi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait