Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap
Kolom

Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap

PP 27/983 yang kemudian direvisi melalui PP 58/2010, tidak menyentuh masalah substansial tentang ganti kerugian. Aspek yang diatur dalam PP No. 58/2010 tersebut hanya menyangkut syarat-syarat kepangkatan tanpa menyinggung tentang permasalahan ganti kerugian ini.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis

Perkara salah tangkap bukan cerita baru dalam dunia hukum di Indonesia. Sejak zaman Sengkon Karta yang kemudian melahirkan lembaga Peninjauan Kembali, sampai dengan kasus Kemat & David yang dituduh melakukan pembunuhan, dimana kemudian terungkap bahwa ternyata Very Idham alias Ryan Jombang lah yang menjadi jagalnya. Kasus-kasus klasik salah tangkap ataupun peradilan sesat ini tampaknya terus terulang berkali-kali. Pada tahun 2013 yang lalu misalnya Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mencatat bahwa telah terjadi 31 kali kasus salah tangkap yang di Indonesia.

Pengalaman serupa dialami oleh penulis dan rekan-rekan LBH Mawar Saron yang kerap menangani perkara-perkara salah tangkap. Misalnya, kasus Sri Mulyani di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, atau kisah Krisbayudi, seorang buruh di Jakarta yang ditahan selama 251 hari akibat tuduhan pembunuhan berencana terhadap Ibu anak di daerah Priok. Selain itu, ada pula kisah dari Batam tentang Rahman Idaman, korban Lakalantas yang malah dijadikan tersangka hingga harus menjalani penahanan sampai akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Batam.

Bagi pihak yang terlanjur telah diambil kebebasannya melalui proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan oleh mereka adalah putusan bebas (vrijspraak) dari palu hakim. Sayangnya seringkali putusan bebas yang dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi para korban salah tangkap ini seperti sediakala. Mereka, para korban peradilan sesat, pasti akan menyisakan persoalan yang besar bagi keluarga yang ditinggalkannya, apalagi jika terdakwa itu adalah tulang punggung keluarga dengan beban ekonomi yang harus ditanggungnya.

Semuanya itu tidak bisa langsung dipulihkan dengan embel-embel amar putusan hakim “memulihkan harkat dan martabat, dan merehabilitasi terdakwa”. Dalam praktiknya para korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, keluarga pun menjadi korban secara tidak langsung karena dijauhi oleh lingkungan akibat label “kriminal” yang terlanjur disematkan, serta siksaan dan tekanan batin di dalam penjara yang sempit selama berhari-hari bahkan sampai bertahun-tahun.

Mengembalikan kerugian yang telah diderita sebagaimana dalam posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama ini. Bagaimanakah caranya bagi korban salah tangkap ini untuk bisa mendapatkan ganti kerugian dari negara atas proses penyidikan dan peradilan yang salah selama ini bagi dirinya? Bagaimana fungsi negara untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian yang telah timbul bagi para korban salah tangkap ini?

Praperadilan sebagai Instrumen Ganti Kerugian
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah memberikan peluang untuk setidaknya mengajukan gugatan ganti rugi atas prosedur keliru yang dijalankan oleh penegak hukum atas peristiwa salah tangkap ini dengan menyediakan instrumen praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP.

Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan."

Sayangnya, penggunaan instrumen praperadilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer. Secara etimologis, penggalan “pra” pada kata “praperadilan” yang dapat dimaknai sebelum peradilan (pokok perkara) memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang telah inkracht atas pokok perkara.

Konstruksi ini pernah digunakan dalam kasus LBH Mawar Saron Semarang dalam Perkara No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 jo. Putusan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smrg tertanggal 14 Januari 2013, dimana saat itu seorang kasir di sebuah karaoke di Semarang dituduh memperkerjakan anak di bawah umur dan kemudian ditahan selama 13 bulan di dalam penjara. Si Kasir kemudian dibebaskan melalui putusan Kasasi MA dan mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kepolisian serta Kejaksaan untuk menuntut ganti kerugian kepada negara.

Lalu, Ada juga kasus LBH Mawar Saron Jakarta dalam Perkara No. 10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 seorang buruh yang dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan berencana hanya berdasarkan keterangan seorang pelaku lainnya sehingga harus menjalani penyiksaan dan mendekam di dalam tahanan selama 251 hari sampai akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak) kepadanya.

Putusan bebas atas para terdakwa tersebut telah menguatkan posisi mereka selaku korban salah tangkap yang diambil secara paksa kebebasannya dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut mereka kemudian mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang  Pelaksanaan KUHAP (PP  27/1983), tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sayangnya Pasal 9 PP 27/1983 hanya mengatur batas maksimal ganti kerugian sebesar Rp1 juta dan Rp3 juta bagi korban yang akibat salah prosedur tersebut menderita cacat bahkan sampai mati.

Pasal 9

  1. Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
  2. Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Permasalahannya, nominal senilai Rp1 juta tentunya tidak bisa diaplikasikan lagi pada zaman sekarang. Analoginya, dapat kita lihat misalnya pada PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP (Perma 2/2012), dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa nilai kerugian yang terdapat pada KUHP harus diatur kembali mengikuti perkembangan zaman yang dalam hal ini mengikuti perkembangan harga emas yang terus naik semenjak ditetapkannya KUHP sampai dengan sekarang.

Logika yang sama pun harusnya bisa ditetapkan dalam kasus ganti kerugian melalui jalur praperadilan ini, nilai kerugian sebesar maksimal Rp1 juta harusnya dapat direvisi kembali mengingat nilai tersebut sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Cobalah kita bayangkan seseorang korban salah tangkap yang harus mendekam selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di dalam tahanan, kehilangan pekerjaan dan dijauhi masyarakat serta lingkungan, keluarga pun ikut terbawa menanggung penderitaannya, kini mereka harus berjuang kembali untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang nilai kerugiannya tersebut dibatasi hanya sebesar Rp1 juta. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, hal ini hanya akan menjadi pelengkap penderita bagi yang bersangkutan.

Sayang, PP 27/983 yang kemudian direvisi melalui PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (PP 58/2010), tidak menyentuh masalah substansial tentang ganti kerugian tersebut. Aspek yang diatur dalam PP No. 58/2010 tersebut hanya menyangkut syarat-syarat kepangkatan tanpa menyinggung tentang permasalahan ganti kerugian ini

Polemik kemudian berlanjut karena dalam praktiknya ada hakim yang melihat bahwa ketentuan Pasal 9 PP 27/1983 tersebut haruslah dipedomani sehingga hakim hanya berfungsi sebagai “tahanan” undang-undang serta tidak dapat memutus lebih daripada yang telah ditetapkan oleh undang-undang/ Dalam Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 misalnya, hakim mengambil sikap normatif sesuai dengan ketentuan undang-undang dan hanya mengabulkan ganti kerugian sebesar Rp1 juta, kendati permohonan ganti kerugian yang dimohonkan oleh  pemohon jauh melebihi nilai yang dikabulkan.

Namun, di sisi lain terdapat pula putusan ganti kerugian melalui mekanisme praperadilan dimana hakim pada Pengadilan Tinggi Semarang yang mengadili perkara praperadilan pada putusan No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 berani keluar dari pakem Pasal 9 tersebut dan memutus ganti kerugian bagi korban salah tangkap yang telah dipenjara selama 13 bulan serta mengabulkan nominal ganti kerugian sebesar Rp5 juta, nilai yang sesungguhnya pun lebih kecil dari nilai ganti kerugian yang dimintakan oleh pemohon.

Masalah berikutnya yang timbul dari ketentuan yang telah berusia lebih dari 32 tahun ini adalah mekanisme pencairan ganti kerugian tersebut. Harus diketahui bahwa proses pencairan ganti kerugian sebagaimana yang diatur oleh PP 27/1983 ini masih memakai ketentuan Keputusan Menteri Keuangan No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian (KMK No. 983). Prosedur yang diatur dalam KMK No. 983 sungguh sangat panjang dan berbelit-belit.

Mekanisme pencairan dana ganti kerugian tersebut harus dimulai dengan adanya permohonan penyediaan dana dari Ketua Pengadilan Negeri kepada Menteri Kehakiman cq Sekretaris Jendral Departmen Kehakiman (Sekarang Kementerian Hukum dan HAM RI), kemudian Kemenkumham akan mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Kementrian Keuangan, setelah itu Menteri Keuangan cq. Direktur Jendral Anggaran menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) atas beban Bagian Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin. Belum berhenti sampai disitu, SKO tersebut kemudian disampaikan kepada yang berhak (pemohon ganti kerugian) dan barulah pihak tersebut mengajukan permohonan pembayaran kepada Kantor Perbendaharaan Negara melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat, setelah itu Ketua PN meneruskan permohonan ke kantor perbendaharaan negara disertai dengan Surat Permintaan Pembayaran (SPP). Setelah prosedur-prosedur diatas dilewati maka barulah Kantor perbendaharaan negara menerbitkan Surat Perintah Membayar kepada pemohon.

Dapat dibayangkan kembali betapa sulit dan terjalnya jalur yang harus dilewati kembali oleh pihak pemohon ganti kerugian apabila mengikuti konstruksi alur birokrasi yang ada, jika sebelumnya pemohon ganti kerugian dibatasi hanya dapat menuntut nominal sejumlah 1 juta rupiah, kini setelah misalnya gugatannya dikabulkan, jalur untuk mencairkan ganti kerugian pun tidak kalah terjal dan berliku.

Ganti Kerugian dalam Revisi KUHAP
Tak bisa dipungkiri urgensi revisi PP 27/1983 jo. PP 58/2010 ini harus segera dilakukan, khususnya terkait ketentuan lama menyangkut ganti kerugian dalam proses praperadilan, ketentuan “usang” tersebut semakin tidak relevan lagi seiring dengan perkembangan zaman. Layaknya definisi hukum positif sebagai hukum yang berlaku pada tempat tertentu dan masa tertentu, definisi tersebut pula yang mengisyaratkan bahwa ketentuan PP 27/1983 tersebut kini sudah usang untuk tetap dipertahankan, ketentuan yang mungkin relevan pada masa periode tahun 1983, namun setelah berusia lebih dari 30 tahun, ketentuan tersebut harus berubah mengikuti perkembangan jaman.

Selain itu, perlu dicermati juga tentang pengaturan ganti kerugian dalam Revisi KUHAP mendatang. Dalam diskusi yang digelar pertengahan Agustus lalu bersama dengan anggota jaringan koalisi RUU KUHAP, terdapat beberapa masukan yang harus bisa diabsorbsi dalam ketentuan RUU KUHAP yang terbaru terkait dengan mekanisme rehabilitasi dan ganti kerugian, seperti nilai ganti kerugian seharusnya tidak perlu dibatasi dengan nominal tertentu, serta  putusan ganti kerugian yang secara otomatis melekat dijatuhkan bersamaan dengan putusan bebas atau lepas atas tindak pidana yang didakwakan. Artinya dalam hal ini negara secara otomatis memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian bagi mereka yang tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, apalagi jika karena tuduhan tersebut orang yang tidak bersalah harus sampai mendekam dan terampas kebebasannya di dalam tahanan.

Satu hal yang harus dicermati adalah ketentuan Pasal 128 ayat (6) RUU KUHAP yang berpotensi menghilangkan hak-hak korban salah tangkap yang telah diputus bebas berdasarkan putusan pengadilan untuk menuntut ganti kerugian kepada negara.

Dalam hal terdakwa yang telah dilakukan penangkapan, penahanan, tindakan lain, dituntut, atau diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan, maka terdakwa tidak dapat menuntut ganti kerugian

Berdasarkan konstruksi tersebut maka hak-hak yang terdahulu diatur melalui mekanisme ganti kerugian akan  dihilangkan. Ini tentunya menjadi hal yang berbahaya karena tanpa adanya fungsi kontrol “sanksi” maka negara akan dengan mudahnya melakukan upaya paksa kepada rakyatnya dan upaya rakyat untuk menuntut ganti kerugian atas kebebasan yang diambil oleh negara atas dirinya menjadi hilang begitu saja. negara seakan diberi imunitas untuk bertindak di luar batas. Padahal dalam Pasal yang sama di Pasal 128 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili, atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Dalam praktiknya akan sangat sulit nantinya untuk untuk memisahkan antara kekeliruan terhadap orang dan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 128 ayat (1) yang diberikan hak untuk menuntut ganti kerugian, dengan putusan bebas (vrijspraak) atau lepas (onslag) yang tidak berhak untuk menuntut ganti kerugian, karena toh akhirnya jika terjadi kekeliruan terhadap orang yang diadili akan berujung pada putusan bebas ataupun jika terjadi kekeliruan atas hukum maka seharusnya dijatuhkan vonis lepas (ex: perdata yang dipidanakan). Artinya kedua ketentuan ini kontradiksi satu sama lain dan saling bertabrakan, perlu ada tafsir yang lebih jelas atas ketentuan dalam Pasal-pasal tersebut.

Tentunya melihat gelagat politik hukum di Indonesia yang tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dibahasnya RUU KUHAP yang terbaru maka kiranya perlindungan dan pemulihan bagi hak korban-korban salah tangkap ini harus segera dibahas dalam tahap yang lebih khusus dan cepat melalui revisi PP yang dapat diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan HAM itu sendiri. Perubahan substansial terkait penyesuaian nominal kerugian yang telah ketinggalan zaman tersebut haruslah disesuaikan agar lebih memenuhi rasa keadilan dan perkembangan di dalam masyarakat, jangan lupakan juga proses pencairan ganti kerugian bagi pihak pencari keadilan yang tampaknya harus melalui jalan panjang berdasarkan ketentuan Menteri Keuangan yang belum pernah direvisi tersebut.

Tampaknya memang jalan berliku para pencari keadilan di belantara hukum Indonesia ini masih sangat panjang....

*Advokat, Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron.

Tags:

Berita Terkait