Saat ini, kita bisa dengan mudah mengetahui status keberlakuan suatu peraturan melalui search engine di Internet. Namun tentu saja, hasil pencarian dengan mengetikkan kata kunci tertentu, tidak boleh kita terima mentah-mentah begitu saja. Kurasi dan penyaringan informasi secara pribadi pun sangat penting dilakukan.
Terlebih, jika kita sedang melakukan analisis hukum, kepastian keberlakuan suatu peraturan melakukan langkah pertama yang harus diketahui dan dipahami.
Misalnya mengenai perkawinan beda agama, yang selalu hangat diperbincangkan. Sekian dekade lalu, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Meski demikian, beleid ini belum jelas mengatur boleh atau tidaknya perkawinan beda agama.
Pasal 2 pada payung hukum tersebut memang sempat menyinggung agama dan kepercayaan individu yang melangsungkan perkawinan, tapi sebatas poin-poin berikut ini:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, ada satu larangan yang tercantum dalam Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan yaitu:
“Perkawinan dilarang apabila antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku.”
Dengan kata lain, ada kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama.
Awalnya tahun 1986 terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 yang menerangkan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.