Upaya Perlindungan Terhadap Satwa Liar dalam RUU KUHP Belum Maksimal
Berita

Upaya Perlindungan Terhadap Satwa Liar dalam RUU KUHP Belum Maksimal

Perlindungan hewan dalam RUU KUHP masih mengacu pada semangat hukum kolonial yang sudah tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Penyu, salah satu hewan yang dilindungi, dalam penangkaran. Foto: MYS
Penyu, salah satu hewan yang dilindungi, dalam penangkaran. Foto: MYS

Perlindungan hewan yang dilindungi oleh hukum belum dijalankan maksimal. Perburuan hewan yang dilindungi menggiurkan banyak orang sehingga terus terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi dari kejahatan satwa liar kurang lebih mencapai Rp13 triliiun pertahun. Di tahun 2018, kejahatan satwa liar termasuk menduduki peringkat ketiga sebagai kejahatan yang kerap kali terjadi di Indoensia, setelah kejahatan narkotika dan perdagangan orang.

 

Pada umumnya, peningkatan kejahatan satwa liar, baik berburu satwa maupun perdagangan satwa, diakibatkan karena nilai ekonomis yang tinggi serta kesadaran masyarakat yang rendah tentang peran fauna dalam ekosistem.

 

Sementara dari aspek regulasi, UU  No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dinilai tidak lengkap sehingga menyisahkan banyak kekosongan hukum dan tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian. Hal ini diungkap oleh anggota Komisi III DPR RI, dari Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi, saat menjadi pembicara dalam diskusi Pengarusutamaan Perlindungan Satwa Liar & Revisi UU Hukum Pidana, Rabu (30/5), di Jakarta.

 

(Baca juga: Sejumlah Alasan Revisi UU Konservasi SDA Perlu Tetap Dirampungkan)

 

Menurut Taufiqulhadi, “ketidaklengkapan norma hukum yang terdapat pada UU No. 5 Tahun 1990 adalah karena ketidaksesuaian bobot pemidanaan dengan dampak dari kejahatan yang ditimbulkan”.

 

Selama ini, ancaman maksimum pidana kejahatan satwa liar hanya lima tahun penjara dengan denda maksimum Rp200 juta. Sedangkan kerugian ekologis dari kejahatan tersebut tidak sebanding dengan ancaman pidana yang ada.

 

Kelemahan regulasi yang telah ada lainnya adalah masih mengatur mengenai subyek hukum orang yang melakukan kejahatan satwa liar. Sedangkan rumusan kejahatan korporasi terhadap satwa liar masih belum diatur. Kenyataannya, peluang korporasi dalam melakukan kejahatan satwa liar sangat besar. Taufiqulhadi mencontohkan, punahnya hewan primata orang utan di Kalimantan karena dianggap hama di Kawasan perkebunan sawit sehingga dihabisi oleh perusahaan.

 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pengaturan mengenai kejahatan terhadap satwa liar dan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam kejahatan sumber daya alam belum mendapat perhatian serius dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Lebih spesifik, ICJR menilai konteks perlindungan hewan dalam RUU KUHP masih mengacu kepada semangat hukum kolonial yang sudah tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

 

(Baca juga: Selamatkan Satwa Liar Lewat Revisi UU No. 5/1990)

 

Menurut draft RUU KUHP yang diusulkan pemerintah ke DPR pada Februari 2018, pengaturan tentang kejahatan satwa liar masih sangat sedikit. Dituangkan dalam pasal ayat (1) huruf, pasal 369, pasal 371 ayat (1) dan ayat (2) RUU KUHP. Jika mengacu pada pasal-pasal dimaksud, ada beberapa jenis kejahatan satwa liar yang diatur.

 

Mereka yang menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan tujuan yang tidak patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapal tujuan tersebut; dengan ancaman pidana 6 bulan penjara atau pidana denda kategori ll. (Pasal 367 ayat (1) huruf a)

Mereka yang menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya; (Pasal 369 huruf a)

Mereka yang memberikan bahan atau obat-obatan yang dapat membahayakan kesehatan; (Pasal 369 huruf b)

Mereka yang menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau
produk Hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat dan  lingkungan hidup; atau (Pasal 369 huruf c)

Mereka yang memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis; (Pasal 369 huruf d)

Mereka yang memasang perangkap, Jerat, dan perkakas lainnya untuk menangkap atau membunuh binatang buas di tempat yang dilewati orang yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya bagi orang.

Mereka yang membawa senjata api masuk ke kawasan hutan negara untuk berburu.

 

Dari ketentuan RUU KUHP tersebut terungkap bahwa kejahatan utama terhadap satwa liar adalah menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati masih belum diatur. Menurut T aufiqulhadi, dari sejumlah ketentuan di atas, belum mencerminkan adanya aturan yang melengkapi kelemahan atau keterbatasan UU No. 5 Tahun 1990, baik dari aspek subyek hukumnya maupun bobot pemidanaan.

 

Wenny Adzkia dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), pada kesempatan yang sama mengungkapkan kritiknya terhadap pengaturan korporasi dalam RUU KUHP. Dalam konteks sanksi dan tujuan pemidanaan bagi korporasi pelaku kejahatan lingkungan hidup, menurut dia, RUU KUHP, tidak jelas. Dalam RUU KUHP yang ada saat ini, petunjuk penjatuhan pidana kepada korporasi sangat sedikit dan tidak jelas. Jenis pidana terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan hidup dibatasi hanya pada denda.

 

Ia menyoroti sistem pemidanaan dalam RUU KUHP yang berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurutia yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah, di dalam RUU KUHP, sistem pemidanaan terhadap korporasi tidak menggunakan pidana minimum dan dirumuskan secara alternatif. Hal ini tidak sejalan dengan upaya serius melindungi keberlangsungan lingkungan hidup yang selama ini memiliki tantangan begitu besar.

 

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana Bonaparta menjelaskan secara historis kemunculan korporasi sebagai subjek hukum sejak awal kemerdekaan. Korporasi menjadi subjek hukum pidana di zaman kemerdekaan RI sejak tahun 1951 melalui UU Drt No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Korporasi sebagai subjek hukum pidana semakin populer seiring lahirnya UU Tindak Pidana Ekonomi No. 7/Drt./1955 meskipun UU ini masih mengggunakan istilah ‘Badan’.

 

Ganjar memaparkan, dalam perkembangan hukum pidana modern, perbuatan pidana semakin luas sehingga delik pun makin beragam. Pemandangan yang kita lihat, terjadi kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah akibat dari berubahnya rasa keadilan masyarakat. Perkembangan delik melahirkan terjadinya perluasan pertanggungjawaban pidana sehingga subjek hukum pidana tidak lagi hanya naturlijk person tetapi meliputi juga rechtsperson. Masuknya rechtsperson menjadi subjek hukum pidana bukan tanpa perdebatan.

 

“Pertanggungjawaban pidana oleh korporasi perlu dibatasi mengingat keterbatasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh korporasi.Alasan bahwa korporasi dapat melakukan perbuatan hukum menjadi pintu masuk menuju pertanggungjawaban pidana korporasi,” ujar Ganjar.

 

(Baca juga: Duh, Mirisnya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa)

 

Lebih jauh ia menjelaskan, apabila mengacu kepada prinsip pidana dan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana), korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila telah melakukan tindak pidana korporasi, yaitu tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya.

 

“Konsekuensinya kecuali dapat dibuktikan sebagai perbuatan pribadi, seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan dalam kedudukan selaku pengurus,” terang Ganjar.

Tags:

Berita Terkait