Pemilihan kebenaran sebelum ketenaran mensyaratkan profil pengguna media sosial yang literat atau telah memiliki tingkat literasi yang baik. Sayangnya, syarat tersebut masih belum terpenuhi dengan optimal. Bahkan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan.
Demikian sekelumit paparan orasi ilmiah Reda Manthovani yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila dengan judul ‘Relasi Literasi Digital Dengan Pencegahan Tindak Pidana ‘Hoax’ dan Tindak Pidana Ujaran Kembencian (Hate Speech) di Tahun Politik 2024’, di Gedung Universitas Pancasila, Kamis (25/1/2024).
Dalam orasinya, Reda berpandangan pertumbuhan signifikan pengguna media sosial menyumbang pada peningkatan intensitas ekspresi komunikasi di media sosial. Fasilitas kebebasan berekspresi yang disediakan platform jejaring media sosial menjadi panggung megah bagi masyarakat Indonesia yang senang berkicau di jagat maya. Media sosial menjadi ruang interaksi baru seiring pertumbuhan teknologi internet dan konvergensi media.
Tapi tak sedikit masyarakat pengguna media sosial mudah terpancing isu viral di publik. Seperti masalah suku ras dan agama (SARA) yang acapkali mengundang sentimen dan ketegangan hingga berujung konflik di tengah masyarakat. Mengacu data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) per 2018, setidaknya 3.640 ujaran kebencian berbasis SARA di ruang media memicu konflik dan perpecahan telah tertangani. Sebaran isu SARA yang menjadi penyebab konflik di masyarakat digunakan untuk menebar kebencian bersamaan dengan pemberitaan hoax di tahun politik.
“Keadaan ini yang menjadikan salah satu faktor kriminogen terjadinya perubahaan kebebasan berbicara (free speech) menjadi ujaran kebencian (hate speech) yang saling berkaitan dengan penyebaran berita bohong (hoax),” ujarnya.
Baca juga:
- Pakar Hukum Tata Negara Fitra Arsil Jadi Guru Besar Baru FHUI
- Kurnia Toha Dikukuhkan Jadi Guru Besar Hukum Persaingan Usaha FHUI
- Prof. Jamin Ginting Dikukuhkan Jadi Guru Besar Hukum UPH
- Jamintel Reda Manthovani Dikukuhkan Sebagai Guru Besar FH Universitas Pancasila
Prof Reda Manthovani SH. LLM saat memaparkan orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Foto: Istimewa
Pria yang kini menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) itu mengatakan, hate speech diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Tranksaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (2) menyebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama,kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik”.
“Hoax atau penyebaran berita bohong dan menyesatkan merupakan suatu perbuatan pidana yang sangat merugikan masyarakat secara pribadi maupun secara umum,” imbuhnya.
Mengacu Pemilu 2019 lalu, setidaknya kondisi masyarakat menghadapi persoalan yang sama yakni tiga tantangan besar dalam eskalasi politik di tahun 2023-2024. Seperti misinformasi, ujaran kebencian, politik identitas. Namun nampaknya tantangan terakhir mengenai politik identitas pada pemilu kali ini jauh lebih berkurang dibanding tahun 2019 lalu. Tapi, tiga masalah tersebut masih terus menjadi cikal bakal pepecahan dan pemicu konflik di masyarakat.
Yang pasti, kata Reda, hoax dan ujaran kebencian dalam Pemilu menjadi ancaman nasional karena menimbulkan gangguan pada berbagai aspek. Yakni pertahanan keamanaan, ideologi pancasila dan moral masyarakat. Penanganan hoax dan ujaran kebencian membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Antara lain dengan cara mencari faktor yang melatarbelakangi, sumber berita hoax dan ujaran kebencian, menekan dan memberhentikan penyebarannya, serta memberikan literasi dan informasi yang benar melalui literasi digital.
Faktor internal dan eksternal
Reda menilai terdapat faktor penyebaran hoax dan ujaran kebencian. Setidaknya terdapat dua faktor. Pertama, faktor internal atau individu. Seperti faktor di mana masyarakat kurang baca alias literasi dan kurangnya keingintahuan menjadi penyebab terbesar dari masifnya penyebaran berita hoax. Kemudian rendahnya literasi digital. Faktanya, banyak pengguna internet di tanah air serta tingginya frekuensi mengakses konten informasi dan media sosial tidak serta merta menjamin ‘kedewasaan’ netizen Indonesia dalam menggunakan internet.
“Jika ditelisik sejumlah kasus tersebut bermuara pada satu hal, yaitu rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, faktor keinginan dengan motif politik. Menurutnya seseorang yang sudah memiliki pilihan politik tertentu cenderung dapat turut serta menyebar hoax dan ujaran kebencian. Tujuannya agar dapat mempengaruhi orang lain mengikuti pilihannya sekalipun informasi yang diberikan tidaklah benar.
Kedua, faktor eksternal. Menurutnya, faktor adanya media sosial memiliki pengaruh besar di era teknologi. Tak sedikit yang ketergantungan dengan internet. Nah, berita palsu dan ujaran kebencian melalui media sosial amat bergantung dengan koneksi internet untuk penyebarannya dan menggunakan media sosial sebaga wadahnya.
Sejumlah pejabat negara hadir dan berfoto bersama Prof Redha seusai pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Foto: Istimewa
Lingkungan digital, menurut Reda menjadi faktor yang pula mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan media sosial. Sepertihalnya dunia nyata, lingkungan media sosial terdiri dari beberapa kelompok masyarakat digital. Pengguna lain yang mendapat informasi acapkali memiliki kecenderungan yang sama dengan menyebarkan informasi ke lingkungan media sosialnya, tanpa menelisik lebih jauh tentang informasi dan berita yang diterima.
Malahan langsung membagikan kembali informasi yang didapatinya itu ke pengguna lainnya. Demikian terus berlanjut sehingga berita yang sebenarnya belum sempat divalidasi kebenarannya, malah telah menjadi viral dan dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, ekonomi menjadi motif kejahatan yang terjadi. Begitupula hoax dan ujaran kebencian banyak dilatarbelakangi oleh keuntungan ekonomi.
“Hal tersebut dikenal dengan istilah buzzer politik,” katanya.
Penindakan
Lebih lanjut mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta itu berpandangan, penindakan terhadap kejahatan hoax terus dilakukan oleh Kepolisian. Sayangnya penindakan tersebut tidak serta-merta dapat menurunkan sebaran berita hoax dan ujaran kebencian. Terlihat sebaran data hoax dan penanganan oleh kepolisian di tahun 2019-2022 cukup tinggi jelang tahun pemilu. Namun jumlah penindakan perkara yang dilakukan oleh Kepolisian jauh lebih rendah dari kejahatan hoax dan ujaran kebencian yang terjadi.
“Hal ini menunjukan penanggulangan kejahatan hoax dan ujaran kebencian tidak bisa hanya dilakukan melalui upaya pidana saja, terlebih lagi keterbatasan suumber daya manusia penegak hukum dan anggaran untuk melakukan penindakan perkara hoax dan ujaran kebencian,” ujarnya.
Dari perspektif kebijakan hukum pidana, penanggulangan kejahatan tidak hanya menggunakan sarana hukum pidana (penal) semata. Namun paya masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non hukum pidana. Baginya, berbagai upaya non hukum pidana amat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya.
Beragam upaya non penal seperti penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, hingga agama. Kemudian peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.
“Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan,” katanya.
Mantan Kajati Banten itu mengakui pendekatan represif pemidanaan menjadi salah satu upaya dalam penegakan hukum pidana untuk mewujukan ketertiban sosial sebagaimana tujuan hukum pidana. Tapi cara tersebut bukanla satu-satunya, terlebih pendekatan restorative justice sebagaimana yang diterapkan Kejaksaan ternyata dinilai lebih efektif. Sebab menitikberatkan terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku pidana dan korbannya.
“Kejahatan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian tidak harus dengan pendekatan represif, karena menurut penelitian banyak penyebar hoax dan ujaran kebencian ternyata mereka tidak mengetahui apa yang dia lakukan, karena rendahnya literasi digital,” ujarnya.
Menurutnya, upaya penindakan melalui pidana tidaklah cukup menanggulangi kejahatan ujaran kebencian dan hoax di tahun politik 2024. Karena itulah diperlukan upaya pencegahan oleh penegak hukum dan instansi terkait. Yakni dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk mengidentifikasi berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial melalui literasi digital.
Eks Asisten Umum (Asum) Jaksa Agung itu menilai, efektifnya literasi digital di masyarakat bakal terbentuk lingkungan digital yang kritis dalam menanggapi isu-isu yang mengarah kepada pemberitaan bohong dan ujaran kebencian. Keterlibatan peranan masyarakat menjadi kunci efektifnya penanggulangan kejahatan.
Sementara penegak hukum dapat melibatkan masyarakat untuk mencegah hoax dan hate speech. Partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan kejahatan hoax dan hate speech dengan mengidentifikasi masalah, menyelesaikan masalah dan mempergunakan kontrol sosial informal.
“Kejahatan diangggap sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan komunitas untuk mengintegrasikan anggota individu dan institusi primer mereka secara baik,” pungkasnya.