Upaya Mencegah Kecurangan dalam Program JKN
Utama

Upaya Mencegah Kecurangan dalam Program JKN

Besaran iuran JKN yang terlalu kecil dapat memicu terjadinya fraud. BPJS Kesehatan terus memperkuat teknologi informasi, termasuk untuk mencegah fraud.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES

Program JKN yang bergulir sejak 1 Januari 2014 sampai saat ini telah banyak dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Program ini memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Namun, pelaksanaan JKN selama 6 tahun ini seringkali menghadapi masalah dan tantangan, salah satunya defisit dana jaminan sosial (DJS).

Ada banyak faktor yang menyebabkan defisit, selain besaran iuran yang tergolong kecil dan tidak sesuai dengan besarnya manfaat yang diberikan untuk peserta, penyebab lainnya adalah faktor kecurangan (fraud). BPJS Kesehatan mencatat jumlah fraud yang terjadi dalam program JKN tak lebih dari 1 persen.

Pakar Jaminan Sosial Prof Hasbullah Thabrany menilai definisi fraud sebagaimana diatur Peraturan Menteri Kesehatan No.16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan Serta Pengenaan Sanksi Adminstrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan tergolong baik daripada peraturan sebelumnya.

Pasal 2 Permenkes ini menyebut fraud dapat dilakukan oleh 5 pihak yaitu peserta; BPJS Kesehatan; Fasilitas Kesehatan atau pemberi layanan kesehatan; penyedia obat dan alat kesehatan; dan pemangku kepentingan lainnya.

Menurut Hasbullah, fraud bisa terjadi karena regulasi yang berpotensi menimbulkan fraud. Hasbullah mengingatkan ada hal lain yang perlu diperhatikan terkait defisit DJS. Misalnya, kenaikan konsumsi hari perawatan dalam pelayanan rawat inap di RS dimana usia di atas 50 tahun paling tinggi.

Dia mengingatkan harus diteliti lebih lanjut atau mendalam apakah kenaikan itu terjadi karena fraud atau JKN sudah dimanfaatkan masyarakat untuk mengakses layanan Kesehatan secara optimal? Demikian pula klaim rawat jalan tingkat lanjutan paling tinggi provinsi Jakarta dan terendah di Sulawesi Utara.

Menurutnya, selama ini meningkatnya pemanfaatan program JKN oleh masyarakat itu tidak dibarengi dengan kenaikan iuran JKN. Salah satu akibatnya, fasilitas kesehatan dirugikan karena biaya layanan kesehatan setiap tahun harusnya naik akibat inflasi dan hal lainnya. Tapi, besaran klaim yang dibayar BPJS Kesehatan terhadap RS selama 6 tahun terakhir relatif turun.

“Apakah ini bisa juga disebut sebagai fraud yang dilakukan pemerintah? Karena tarif yang dibayar untuk RS dibiarkan turun,” kata Prof Hasbullah dalam diskusi secara daring, Selasa (30/6/2020). (Baca Juga: Pemerintah Diminta Terus Benahi Tata Kelola Program JKN)

Hasbullah menilai jika tarif yang ditetapkan besarannya kecil dapat berpotensi menimbulkan fraud. Dia khawatiir kecilnya tarif yang dibayar untuk RS ini mempengaruhi pelayanan yang diberikan terhadap peserta. Karena itu, pemerintah perlu menetapkan besaran iuran yang memadai untuk program JKN, sehingga besaran tarif yang dibayar BPJS Kesehatan kepada RS sesuai dan layak.

Upaya pencegahan fraud

Direktur Teknologi Informasi BPJS Kesehatan Wahyuddin Bagenda mengatakan salah satu upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk mencegah fraud yakni memperkuat sistem teknologi informasi. Dia menjelaskan sejak 2013, PT Askes sudah menyiapkan berbagai hal untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. Diantaranya, bidang teknologi informasi seperti sistem administrasi kepesertaan, keuangan, human resources, dan pelayanan primer (primary care) serta RS (SEP Desktop).

Menurut Bagenda, pengembangan sistem teknologi informasi itu terus dilakukan setiap tahun. Beberapa teknologi yang berkaitan dengan pencegahan fraud antara lain pengembangan eligibilitas peserta seperti finger print, sistem claim audit (Defrada berbasis online analytical processing). “Sekarang BPJS Kesehatan menggunakan finger print, tanda tangan digital, dan klaim digital,” ujarnya.

Sekjen Perhimpunan RS Seluruh Indonesia, Lia G Partakusuma menekankan pentingnya teknologi informasi dalam melayani pasien, termasuk peserta JKN. Dengan memanfaatkan teknologi, kepesertaan dapat diketahui secara jelas dan transparan. Misalnya, menghubungkan data kepesertaan JKN dengan data Dukcapil.

Untuk membuat proses menjadi lebih efisien dan membantu RS melakukan penghematan, dia berharap ada sistem yang mampu menghubungkan semua pemangku kepentingan termasuk penyedia obat dan alat kesehatan. “Dengan teknologi informasi ini, RS tak hanya mampu menghemat biaya dan memberikan pelayanan yang baik, tapi juga mendorong RS makin berkembang,” katanya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengakui banyak pihak yang menyoroti pelaksanaan JKN khususnya bagaimana mengatasi tindak kecurangan (fraud). Fachmi menyebut BPKP telah melakukan audit investigasi dimana semua fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan diperiksa, seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit (RS). Hasilnya, BPKP menemukan fraud dalam pelaksanaan JKN hanya 1 persen.

Menurut Fachmi, jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan negara lain yang menjalankan program serupa, misalnya NHS di Inggris tingkat fraud mencapai 3 persen. Fachmi menyebut lembaganya dapat meminimalkan potensi fraud karena telah melakukan sejumlah upaya, salah satunya memperketat pemeriksaan berkas klaim yang masuk.

Hasilnya, efisiensi hasil pemeriksaan pra klaim mampu menemukan Rp8,8 triliun klaim tidak sesuai ketentuan; efisiensi hasil verifikasi menemukan ada Rp1,3 triliun; dan efisiensi pasca verifikasi Rp400 miliar. “Tahun 2019 totalnya sekitar Rp10,5 triliun kami berhasil menyelamatkan uang negara dari pembayaran klaim yang tidak sesuai,” kata Fachmi dalam diskusi secara daring, Kamis (18/6/2020) lalu. (Baca Juga: Tiga Kementerian Diingatkan Tindak Lanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan)

Sebelumnya, KPK merekomendasikan beberapa alternatif solusi yang diyakini dapat menutupi defisit BPJS Kesehatan. Salah satunya, KPK mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud atau kecurangan di lapangan berupa administrasi atau pengembalian klaim, dalam lingkup perdata atau pemutusan kontrak kerja sama, dan pidana.   

Tags:

Berita Terkait