Upaya Meminimalisir Vexatious Litigation di Indonesia
Oleh: Hendra Setiawan Boen

Upaya Meminimalisir Vexatious Litigation di Indonesia

Harus diakui bahwa saat ini perkembangan hukum di Indonesia telah berada pada titik yang menggembirakan. Mengapa penulis mengatakan demikian?

Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, beberapa kejadian menghebohkan akhir-akhir ini yang menjadi konsumsi publik juga sangat membantu pembelajaran melek hukum. Misalnya kasus Lumpur Lapindo Brantas yang dilanjutkan dengan pengajuan gugatan oleh WALHI dan YLBHI.

 

Keempat, yang jelas tidak dapat dipungkiri adalah usaha tidak kenal lelah dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, terutama YLBHI, dengan program bantuan hukum strukturalnya yang bertujuan membangkitkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, terutama kaum marjinal dan kaum yang terpinggirkan. Ada banyak lembaga lain sejenis yang memberikan advokasi hukum sehingga masyarakat semakin sadar akan hak-hak dan kewajiban hukumnya.

 

Penulis mencermati dari tahun ke tahun semakin banyak warga negara yang mendaftarkan gugatan ke pengadilan, posita atau dasar mengajukan gugatan pun bermacam-macam serta bervariasi. Mulai dari gugatan sederhana seperti perceraian biasa hingga yang lebih rumit seperti class action terhadap keputusan publik pemerintah. Pijakan jenis gugatan yang diajukan belum tentu kuat. Memang, ada yang memiliki dasar hukum kuat. Tetapi ada juga terkesan yang hanya ingin menciptakan gangguan (nuisance) semata-mata terhadap pihak lawan tanpa mempedulikan ada atau tidaknya dasar hukum untuk mengajukan gugatan. Penggugat tidak mempedulikan apakah dia akan menang atau tidak, yang penting tergugat menjadi direpotkan dengan adanya gugatan tersebut.

 

Senjata andalan yang digunakan oleh orang yang hanya bermaksud menggunakan lembaga peradilan untuk ‘mengganggu' pihak lawan adalah Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini mengatur bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan alasan belum ada hukumnya. Pengadilan harus senantiasa memeriksa perkara yang dihadapkan kepadanya, terlepas ada tidaknya dasar hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan. Anehnya, dengan pertimbangan hukum yang tidak dapat dimengerti oleh akal sehat penulis, seringkali majelis hakim yang memeriksa gugatan semacam ini malah menerima dan mengabulkan.  

 

Contohnya, kasus pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum mengenai ujian nasional (UN) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh salah satu LSM di Indonesia terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Penggugat beralasan pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum karena kebijakannya menyelenggarakan ujian nasional. Analisis yang dilakukan oleh pemerhati hukum yang paling awam sekalipun seharusnya sudah mengetahui bahwa Pengadilan Negeri --terutama yang menangani perkara perdata -- tidak berwenang menilai keputusan Pemerintah yang didasarkan pada kewenangannya di ranah hukum publik, dan  bukan dalam kedudukannya sebagai badan hukum privat. Yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun demikian, keputusan pemerintah yang boleh dieksaminasi  pun sebenarnya dibatasi oleh undang-undang.

 

Pendapat di atas didukung Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg.No. 229 K/Sip/1975 tertanggal 18 Mei 1977 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/Pemb/0159/77 tanggal 25 Februari 1977. Kedua yurisprudensi ini menegaskan bahwa dalam perkara gugatan terhadap pemerintah, pengadilan bawah harus mencermati apakah pemerintah telah bertindak berdasarkan hukum publik atau melakukan perbuatan sebagai badan privat.

 

Jujur saja, sampai sekarang penulis masih tidak dapat memahami jalan pikiran dari majelis hakim yang memutuskan untuk mengabulkan gugatan. Mengingat, seperti dikatakan seorang perancang gugatan kepada penulis -- sebelum mereka mendaftarkan gugatan, penggugat sendiri sudah tahu bahwa PN tidak berwenang memeriksa putusan pejabat publik. Dengan kata lain, penggugat sebenarnya sedang melakukan perjudian atau iseng-iseng berhadiah ketika mendaftarkan gugatan, dan tentu saja karena Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, maka pengadilan harus memeriksa perkara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: