Kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture) adalah perbuatan yang sering dikeluhkan dan dilaporkan terjadi dalam proses penyidikan di kepolisian. Secara hukum, penyidik memiliki kewenangan upaya paksa. KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) mengatur tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam menjalankan kewenangan dan upaya paksa itu, sangat mungkin terjadi penyimpangan.
Upaya hukum apa yang dapat dilakukan seseorang jika menjadi korban penyiksaan atau kekerasan oleh aparat kepolisian? Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, menyayangkan bahwa KUHAP tak mengatur masalah penyiksaan ini. “Bagaimana perlindungan hukum akan diberikan terhadap tersangka atas penyimpangan tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik, khususnya apabila selama proses penyidikan terjadi tindakan-tindakan yang dikategorikan dengan violence (kekerasan) dan torture (penyiksaan) yang sangat mempengaruhi secara fisik dan psikis tersangka tersebut?” KUHAP, kata Indriyanto, tidak memberikan solusi atau alternatif penyelesaian apabila terjadi kekerasan dan penyiksaan selama proses penyidikan terhadap tersangka, baik berupa pencegahan dan penyelesaian maupun akibat hukumnya terhadap tersangka.
Meskipun demikian, Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP dapat dijadikan rujukan dalam kaitannya dengan kekerasan dan penyiksaan. Pasal 52 menyebutkan ‘dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim’. Apa maksud pasal ini? Dari memori penjelasan terungkap bahwa pasal ini dimaksudkan untuk menjauhkan tersangka/terdakwa dari rasa takut. Agar tersangka/terdakwa jauh dari rasa takut, maka harus ada rumusan yang menegaskan pemerian keterangan harus dalam suasana bebas.
Pasal 117 KUHAP malah sudah menggunakan kata ‘tekanan’. Ayat (1) menyebutkan keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan ‘tanpa tekanan’ dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun.