Keadaan menjadi berubah, setelah wewenang praperadilan, setelah putusan PN Jakarta Selatan itu, merambah memeriksa dan memutus aspek matriil perkara. Hakim seorang diri apalagi yang jam terbangnya masih rendah dan tidak dibekali pengetahuan yang memadai mengenai perkara khusus seperti ihwal korupsi, diperkirakan mudah diintervensi baik dari luar maupun dari dalam badan kekuasaan kehakiman.
Upaya pemberantasan korupsi yang mendapat tantangan luar biasa di negeri ini, kini harus menghadapi tantangan baru yang menjelma melalui praperadilan. Apabila tidak cepat dibendung, para Tersangka tindak pidana korupsi dan kejahatan lainnya akan meghalalkan segala macam cara untuk memanfaatkan pintu praperadilan yang dilengkapi karpet merah itu.
Menjadi tanda tanya besar, bagaimana cara membendungnya? Bukankah Pasal 78 ayat (2) KUHAP telah menentukan bahwa praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal? Bukankah Pengadilan Jakarta Selatan mengamini langkah yang dilakukan Mahkamah Konstitusi walau bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP dan sekaligus merupakan putusan ultra petita sehingga memberi angin dan memberi amunisi baru kepada anasir-anasir anti pemberantasan korupsi di negeri ini?
Membiarkan pintu praperadilan terbuka lebar untuk para Tersangka membebaskan diri, sama artinya membiarkan bangsa dan Negara terus digerogoti oleh para pelaku kejahatan, khususnya di bidang tindak pidana korupsi sehingga merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib bangsa dan generasi penerus.
Menanti Mahkamah Agung
Mengingat Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua tingkat peradilan, adalah wajar manakala Mahkamah Agung diharapkan segera mengambil langkah untuk mencegah praperadilan dijadikan sarana untuk berkelit dari sangkaan sebagai Tersangka walau dua alat bukti yang sah telah ditemukan.
Harus diakui bahwa masalah yang dihadapi tidaklah sederhana. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel telah memperluas batas kewenangan praperadilan, tidak sekadar aspek formil perkara tetapi sudah merambah memasuki aspek materiil. Selain itu, tidak ditemukan kejelasan siapa sebenarnya yang memikul beban pembuktian (burden of proof), apakah yang mendalilkan hak seperti dalam hukum Perdata atau sebaliknya, Termohon yang telah menetapkan Tersangka?
Tidak pula ada kejelasan, apakah lembaga yang menyelidiki/menyidik/menuntut perkara perlu dibuktikan oleh Hakim keabsahannya dan apakah bukti yang perlu diperiksa oleh Hakim hanya sampai bukti permulaan yang menjadi dasar penetapan tersangka saja atau juga bukti lainnya yang justru harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum.