Unsur KY dalam Susunan Majelis Kehormatan MK Inkonstitusional Bersyarat
Terbaru

Unsur KY dalam Susunan Majelis Kehormatan MK Inkonstitusional Bersyarat

Agar tidak terjadi kekosongan (stagnan), Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari KY dengan unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi sidang pleno di MK
Ilustrasi sidang pleno di MK

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan unsur Komisi Yudisial (KY) dalam susunan Majelis Kehormatan MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Dalam Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh advokat Ignatius Supriyadi itu, majelis MK dalam amarnya mengabulkan sebagian permohonan pemohon yang menguji konstitusionalitas Pasal 27A ayat (2) huruf b UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK (UU MK).

“Menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial’ tidak dimaknai ‘1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun’,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan sebagaimana dikutip dari laman resmi MK, Senin (20/6/2022) kemarin. 

Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul saat membacakan pertimbangan putusan menyebutkan Mahkamah memandang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU UU MK, adanya anggota Majelis Kehormatan MK dengan salah satu komposisi anggota KY adalah tidak sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam putusan Mahkamah terdahulu.

“Karena dalam pertimbangan putusan tersebut di atas, Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan MK merupakan kekuasaan yang merdeka, sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain,” ujar Manahan.

Dengan kata lain, kata Manahan, pengawasan terhadap hakim konstitusi yang dilakukan oleh KY dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan MK sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan MK masih tetap melibatkan KY dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja hakim konstitusi pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY.

Padahal, dibentuknya MK berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun.

Menurut Mahkamah, keanggotaan Majelis Kehormatan MK tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU UU MK. Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan MK (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari KY adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan MK nantinya.

“Adanya penggantian komposisi tersebut Mahkamah dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan MK yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan MK diatur dalam peraturan MK,” papar Manahan.

“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.”

Pendapat Berbeda

Terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan seharusnya permohonan tersebut ditolak. Menurut Saldi, persoalan konstitusionalitas KY sebagai anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) sejatinya sangat bergantung bagaimana model pembentukan MKMK itu sendiri. Apabila MKMK dibentuk sebagai Majelis yang bersifat tetap dengan tugas dan fungsi sehari-harinya untuk mengawasi hakim konstitusi, maka keberadaan anggota dari unsur KY dalam MKMK tersebut menjadi bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006.

“Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan tersebut, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY,” ujar Saldi.

Namun, apabila model pembentukan MKMK bersifat ad hocyang hanya dibentuk sementara atau tidak tetap, yang intinya berfungsi menindaklanjuti laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, maka keberadaan unsur KY sebagai anggota MKMK dapat dikatakan tidak bertentangan dengan hakikat Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut.

Selama ini, MKMK selalu diposisikan dan dibentuk sebagai Majelis yang bersifat ad hoc. Karenanya, tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan unsur anggota KY dalam keanggotaan MKMK di dalamnya. Sebab, MKMK yang dibentuk secara ad hoc tersebut terbatas untuk melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Atas hasil pemeriksaan tersebut, MKMK hanya berwenang terbatas menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.

Tags:

Berita Terkait