Uni Eropa Tangguhkan Kebijakan Energi yang ‘Memangkas’ Kelapa Sawit
Berita

Uni Eropa Tangguhkan Kebijakan Energi yang ‘Memangkas’ Kelapa Sawit

Tahun 2030, pelarangan tidak hanya menyasar sawit tapi juga semua vegetable oil yang diproduksi secara masal.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Perkebunan kelapa sawit. Foto: MYS
Perkebunan kelapa sawit. Foto: MYS

Uni Eropa telah menangguhkan kebijakan yang menghapus minyak sawit (Crude Palm Oil) sebagai bahan dasar energi berkelanjutan (biofuel) pada 2021. Penangguhan terjadi setelah ada kesepakatan antara Indonesia dengan Uni Eropa. Berdasarkan informasi yang diperoleh  Komisi Eropa telah melakukan pertemuan dengan Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa pertengahan Juni lalu, pertemuan mana mencapai kesepakatan peningkatan penggunaan energi terbarukan secara signifikan di Eropa.

Isi kesepakatan tersebut antara lain, pertama, tidak ada rujukan khusus atau eksplisit untuk minyak sawit dalam perjanjian ini; kedua, hasilnya sama sekali bukan larangan atau pembatasan impor minyak sawit atau biofuel berbasis minyak sawit; dan ketiga, pasar Uni Eropa tetap terbuka untuk impor minyak sawit.

Meski demikian, kesepakatan 14 Juni tersebut terlebih dahulu harus disetujui Perlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa. Setelah disahkan oleh kedua lembaga dalam beberapa bulan mendatang, Arahan Energi Terbarukan yang telah diperbaharui (Renewable Enegy Directive II) akan dipubliskasikan dalam jurnal resmi Uni Eropa sehingga mulai berlaku 20 hari kemudian, pasca publikasi. Sebagai tindak lanjut, negara-negara Uni Eropa harus mengadopsi sejumlah ketentuan baru dari Renewable Energy Directive II (RED II) tersebut untuk dijadikan bagian dari Undang-Undang Nasional sekurang-kurangnya 18 bulan sejak tanggal mulai berlaku.

(Baca juga: Negara Bebaskan Pilihan Para Pihak dalam Sengketa Perkebunan Sawit).

Informasi ini memberikan angin segar bagi industri Crude Palm Oil (CPO) Indonesia yang selama ini menjadikan Uni Eropa sebagai pasar ekspor minyak sawit terbesar kedua. Pada 2017, impor Uni Eropa atas produk kelapa sawit Indonesia mengalami kenaikan secara signifikan sebesar 28%. Indonesia termasuk negara penghasil produk kelapa sawit terbesar dunia. Indonesia telah melakukan serangkaian lobi diplomasi ke Eropa untuk mengubah pandangan terhadap kelapa sawit asal Indonesia.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Danang Girindrawardana kepada hukumonline menyampaikan apresiasinya atas kesepakatan yang terbangun antara Uni Eropa dan pihak Indonesia. Danang menilai, kesepakatan yang tercapai cukup signifikan mengingat rencana awal Uni Eropa menghapus CPO sebagai bahan dasar biofuel pada 2021 mendatang.

Ia berharap dengan adanya penangguhan terhadap kebijakan yang menghapus CPO sebagai bahan dasar biofuel dapat memberi kesempatan bagi petani dan perkebunan sawit Indonesia untuk melakukam pembenahan ke dalam. Danang berharap angin segar ini dapat direspon secara tepat oleh petani dan perkebunan sawit di Indonesia. “Kita tidak memungkiri mungkin ada proses yang kurang baik dilakukan oleh petani sawit kita, para perusahaan perkebunan kita dimasa lalu, nah ini yang harus kita respon dengan perbaikan-perbaikan secepatnya,” ujar Danang.

(Baca juga: Korporasi Indonesia Diserang, Pemerintah Bersuara).

Danang berharap ke depan CPO mendapatkan perlakuan yang sama dengan vegetable oil lainnya. Mengingat saat ini yang kerap dipermasalahkan hanya CPO sementara vegetable oil lain yang juga diproduksi secara masal luput dari perhatian. Mestinya hal ini menjadi perhatian dalam proses penyusunan skema bauran energi di masa depan. Untuk itu dalam pembahasan RED II dan revisinya, penting untuk tidak menempatkan sawit secara diskriminatif. “Proses sertifikasi di sawit itu justru yang paling maju, paling modern, sementara sertifikasi kepada vegetable oil yang lain itu tidak dilakukan sama sekali. Padahal sawit keempat bahkan sepuluh kali lipat lebih efisien dalam penggunaan lahan,” terangnya.

Danang juga meminta Pemerintah mengdepankan isu keberlanjutan usaha dan lingkungan (sustainability). Jangan sampai mengorbankan petani sawit yang telah ada selama ini. Dengan melakukan perbaikan ke depan, ia berharap kekurangan industi sawit dapat dilihat sebagai keterlanjuran bisnis masa lalu. “Mau diapain kalau sudah berjalan 20-30 tahun? Undang-Undang Agraria juga mengamantkan yang 20-30 tahun itu bisa diputihkan,” tambahnya.

Selain itu, menurut Danang, di lapangan masih banyak terjadi benturan implementasi antara UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seringkali timbul persoalan dalam menangani persoalan tata ruang lingkungan hidup, termasuk isu perkebunan sawit. “Masih terjadi begitu banyak benturan di lapangan terkait dengan alokasi kawasan hutan dan non hutan dan alokasi tata ruang yang sudah dirancang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah,” terang Danang.

(Baca juga: Ada yang Perlu Diwaspadai dalam CEPA Indonesia-Uni Eropa).

Andi Muttaqin dari Elsham, kepada hukumonline mengatakan, terkait perbaikan tata kelola sawit di Indonesia seharusnya Pemerintah tidak perlu menunggu keputusan Uni Eropa. Langkah penyelamatan terhadap lingkungan menjadi kebutuhan yang sifatnya mendesak sehingga tidak perlu menunggu keputusan Uni Eropa. “Dia harus sesegera mungkin karena makin banyak kerusakan lingkungan, peralihan kawasan hutan menjadi kebun sawit.Nah itu akan makin banyak menyisahkan permasalahan lingkungan,” terang Andi.

Ia justru menyayangkan mundurnya pelaksanaan kebijakan biofuel Uni Eropa. Andi berharap implementasi kebijakan yang melarang penggunaan vegetable oil sebagai bahan dasar biofuel tidak harus menunggu tahun 2030 sebagaimana kesepakatan trilog.

Andi mengingatkan bahwa pada tahun 2030, kebijakan pelarangan tersebut tidak hanya menyasar sawit tapi juga semua vegetable oil yang diproduksi secara masal. “Per 2030, dia tidak hanya menyasar sawit, tapi semua bahan bakar dari minyak nabati yang tidak berkelanjutan itu akan dihapus. Gak boleh masuk. Bunga matahari dan kedelai kena semua,” ujar Andi.

Selain itu, pihaknya juga memberi masukan kepada Uni Eropa untuk ikut memperhatikan isu sosial selain aspek lingkungan yang selama ini mengemuka. Banyak konflik sosial di lapangan yang timbul juga perlu diperhatikan agar semua pihak dapat melihat persoalan ini secara utuh. “Harusnya petimbangan sosial pun harus diperhatikan. Ada konflik tanah, kasus-kasus buruh sawit yang mengemuka harusnya juga jadi perhatian. Kalau kedua hal itu menjadi peritmbangan bisa melihat permasalahan lebih utuh,” pungkas Andi.

Tags:

Berita Terkait