Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (4): Jaminan Dulu, Berobat Kemudian
Utama

Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (4): Jaminan Dulu, Berobat Kemudian

Tersangka atau terdakwa tidak bisa sembarangan lagi menghindari proses hukum dengan dalih berobat ke luar negeri. Tersangka harus menyerahkan uang jaminan sebesar nilai kerugian yang timbul. Jika pelaku kabur dan tak kembali satu tahun, uang tersebut otomatis masuk ke kas negara.

Mys
Bacaan 2 Menit
Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (4): Jaminan Dulu, Berobat Kemudian
Hukumonline

 

Ternyata izin berobat ke luar negeri banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka atau terdakwa untuk menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan, ungkap  Jaksa Agung di depan Komisi II DPR, 12 Mei lalu. Baru sadarkah jajaran kejaksaan?

 

Mestinya tidak. Sebab kejadian serupa sudah berulang-ulang. Sejatinya, Jaksa Agung pun sudah membuat semacam warning kepada seluruh jajaran kejaksaan lewat Surat Edaran (SE) No. SE-001/A/J.A/03/2004 tanggal 31 Maret 2004. Isinya tentang syarat-syarat dan prosedur pemberian izin berobat ke luar negeri bagi tersangka atau terdakwa perkara pidana. Antara lain disebutkan bahwa harus ada jaminan dari keluarga bahwa tersangka atau terdakwa akan kembali ke Indonesia setelah ada keterangan rumah sakit luar negeri yang menyebut yang bersangkutan bisa dirawat di dalam negeri.

 

Surat Edaran itu menjadi antisipasi yang dilakukan Kejaksaan. Untunglah, syarat-syarat yang makin ketat bila mau berobat ke luar negeri itu kian dikokohkan alas hukumnya. Bukan lagi sekedar Surat Edaran Jaksa Agung. Sebab, masalah krusial ini akhirnya masuk ke dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru. DPR dan Kejaksaan sepakat bahwa tersangka atau terdakwa tidak bisa sembarangan lagi menghindari proses hukum karena lasan sakit.

 

Pasal 36 RUU yang telah disetujui menjadi undang-undang 15 Juli lalu, menegaskan bahwa tersangka yang akan berobat ke luar negeri harus mendapat izin dari Jaksa Agung. Bisakah kewenangan itu dilimpahkan ke Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri? Pasal 36 ayat (2) tegas menyebutkan hanya diberikan oleh Jaksa Agung.

 

Keadaan tertentu dan uang jaminan

Seyogianya, izin perawatan kepada tersangka atau terdakwa hanya diberikan untuk rumah sakit di dalam negeri. Tapi pasal 36 ayat (1) RUU Kejaksaan membuat pengecualian, yakni dalam hal-hal tertentu perawatan dapat dilakukan di rumah sakit luar negeri. Maksud frase itu sangat mungkin menimbulkan perdebatan.

 

Untuk itulah pada saat pembahasan di Tim Perumus, anggota tim tampaknya sepakat untuk membuat rambu-rambu. Pembuat undang-undang menjelaskan bahwa klausul dalam hal-hal tertentu baru berlaku apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.

 

Jika rambu tadi terpenuhi,  masih harus melengkapi tiga persyaratan lain. Pertama, adanya surat rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri. Sayangnya, tidak dijelaskan dokter mana yang berhak mengeluarkan rekomendasi itu. Apakah dokter pribadi tersangka juga boleh? Ataukah harus dokter kejaksaan?

 

Syarat kedua, tersangka juga harus menyertakan jaminan dari keluarga bahwa tersangka tidak akan melarikan diri. Tetapi yang tak kalah penting adalah syarat ketiga berupa jaminan uang dari tersangka atau keluarganya sejumlah nilai kerugian negara yang timbul akibat perbuatan terdakwa. Misalnya, jika potensi kerugian negara bernilai Rp15 miliar, maka tersangka harus menyediakan uang jaminan sebesar Rp15 miliar. Jika ternyata tersangka kabur dan tidak kembali salam waktu satu tahun, maka uang sebesar Rp15 miliar itu otomatis menjadi milik negara.

 

Lalu, apakah aturan baru ini kelak akan efektif? Mudah-mudahan bisa efektif, kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman, penuh harap. Begitu pula harapan semua pihak.

 

Ketika rapat kerja dengan jajaran Kejaksaan Agung, Anggota Komisi II DPR Mutammimul ‘Ula pernah mengungkapkan keprihatinannya atas kasus semacam ini. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mensinyalir bahwa lolosnya seorang tersangka dengan dalih berobat merupakan trik dan permainan orang kejaksaan sendiri. Diduga, pihak kejaksaan sengaja membiarkan tersangka lolos dengan dalih sakit. Sebab, yang mengeluarkan izin berobat adalah orang kejaksaan juga.

 

Sebagai contoh, tengoklah kasus Samadikun Hartono. Kejaksaan pernah tiga kali mengajukan permohonan larangan bepergian ke luar negeri bagi mantan Presiden Komisaris Bank Modern itu. Toh, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus akhirnya tetap memberi izin berobat bagi Samadikun.

 

Belakangan terungkap bahwa izin dari Jampidsus didasarkan pada tiga surat ‘jaminan'. Pertama, surat jaminan dari Ny Nelly Chandra, isteri Samadikun sendiri, yang menyatakan bahwa suaminya tidak akan kabur. Kedua, surat dari R. Awamoto, Sekretaris Bagian Kardiologi dan Katarisasi Kamamura General Hospital, Jepang. Ketiga, surat dari dr Yamin dan dr Kunardi Budiharjo dari RS Honoris Tangerang.

 

Tetapi apa yang terjadi? Alih-alih memenuhi eksekusi penjara empat tahun, keberadaan Samadikun pun hingga kini tidak diketahui. Beritanya lenyap perlahan-lahan, dan suatu saat nanti akan hilang begitu saja seperti kasus kaburnya Edy Tansil.

Kenyataan membuktikan masih ada kritik-kritik tajam dan sorotan negatif dari masyarakat terhadap kinerja kejaksaan, lebih khusus lagi dalam menangani pemberantasan KKN.

 

Pengakuan tulus itu diungkapkan Jaksa Agung M.A Rachman di depan ratusan jaksa peserta Rapat Kerja Kejaksaan di Jakarta, 27 Mei tahun lalu. Saat itu, isu pembaharuan korps adhyaksa menjadi tema utama rapat kerja. Kritikan masyarakat atas berbagai langkah kejaksaan dalam penanganan korupsi menjadi bahan pembicaraan saat itu. Salah satu yang mendapat sorotan tajam adalah seringnya tersangka atau terdakwa lolos ke luar negeri dengan dalih berobat.

 

Belum lagi mereka yang karena alasan sakit bisa keluar dari balik jeruji penjara. Sejarah hukum Indonesia mempunyai sejumlah catatan buruk mengenai hal ini. Tersangka berpura-pura sakit agar bisa menghindari proses hukum, baik di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Aparat hukum seperti tak jera padahal sudah banyak tersangka yang mengibuli petugas. Aparat begitu mudah  memberikan izin berobat ke luar negeri hanya berbekal selembar coret-coretan dokter. Lebih celaka lagi jika sang dokter bekerja di rumah sakit yang sahamnya dimiliki oleh tersangka bersangkutan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: