Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (2): Pembahasan dari Hotel ke Hotel
Utama

Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (2): Pembahasan dari Hotel ke Hotel

Meskipun rapat kerja pertama RUU Kejaksaan baru dilaksanakan pada 9 September 2003, penyusunan drafnya justru sudah dimulai sejak 1999. Sejumlah hotel menjadi saksi bisu penyusunan dan pembahasannya. Dalam perkembangannya, ada dua versi RUU.

Mys
Bacaan 2 Menit
Undang-Undang Kejaksaan yang Baru (2): Pembahasan dari Hotel ke Hotel
Hukumonline

Seorang aktivis ornop yang selama ini sering memantau kasus-kasus korupsi menelepon wartawan yang ngepos di Kejaksaan Agung pada Jum'at (9/7) pekan lalu. Sang aktivis ingin memastikan apakah benar pada hari itu ada pembahasan intensif RUU Kejaksaan. Aktivis pemberantasan korupsi itu rupanya mendengar kabar bahwa tim perumus RUU sedang bekerja ekstra, mengejar target agar RUU Kejaksaan disahkan pada masa sidang Dewan sekarang.

 

Walaupun ngepos di Gedung Bundar–-sebutan umum untuk Kejaksaan Agung-– sang wartawan justru tidak mengetahui pasti adanya rapat pembahasan RUU. Namun setelah mendapatkan info sana sini, misteri rapat tersebut mulai terkuak. Berlangsung selama tiga hari dari tanggal 8-10 Juli (Kamis–Sabtu) di sebuah hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

 

Kesan bahwa penyusunan dan pembahasan RUU Kejaksaan dilakukan diam-diam memang sulit dihindari. Perkembangan pembahasannya tak banyak diketahui publik karena tempat pembahasan sering berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya. Kurang terbukanya pembahasan ikut berperan melahirkan asumsi bahwa Kejaksaan dan DPR sedang kejar target. Dalam arti, seolah-olah RUU Kejaksaan dibahas dalam waktu singkat dan terburu-buru agar bisa disahkan sebelum anggota DPR reses mulai 19 Juli.

 

Asumsi semacam itu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Berdasarkan catatan Badan Legislasi, rapat-rapat intensif membahas RUU Kejaksaan di tingkat Panitia Kerja (Panja) baru berlangsung sejak Februari 2004. Selama Februari, ada dua kali rapat yakni tanggal 5 hingga 7 di Hotel Sheraton Bandara Tangerang, dan tanggal 27 hingga 28 di Hotel Santika, Jakarta. Rapat Panja ketiga baru dilaksanakan lagi pada 28 Juni hingga 1 Juli lalu, berlangsung Hotel Novotel, Bogor.

 

Seminggu kemudian, draf RUU sudah berada di tangan Tim Perumus. Secara maraton, tim ini menggelar rapat pada 8-10 Juli lalu. Rapat inilah agaknya yang sempat tercium oleh aktivis ornop pemberantasan korupsi tadi. Anggota DPR Agun Gunandjar Sudarsa yang dihubungi hukumonline lewat telepon pada 9 Juli sore membenarkan adanya pembahasan RUU Kejaksaan.

 

Hanya berselang satu hari, itu pun karena hari libur Minggu, Tim Perumus langsung menyerahkan hasilnya ke Panitia Kerja. Pada hari itu juga (12/7) Rapat Kerja dengan Menteri Kehakiman & HAM serta Jaksa Agung digelar meskipun hingga malam hari. Eh, tiga hari kemudian RUU Kejaksaan sudah disahkan menjadi undang-undang.

 

Tetapi kalau mau menolah ke belakang, sebenarnya pembahasan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kejaksaan sudah lama dilakukan Pemerintah. Amrizal Syahrin, Kabag Rancangan dan Pertimbangan Hukum pada Biro Hukum Kejaksaan Agung, dalam sebuah tulisannya di Media Hukum-–media yang diterbitkan Persatuan Jaksa (Persaja)-–menulis bahwa draf pertama RUU Kejaksaan sudah disusun dan dibahas secara internal di Kejaksaan Agung pada akhir September hingga 4 Oktober 1999. Sebagai tindak lanjutnya, sebuah rapat konsinyering pun digelar selama tiga hari (18-20 Oktober) di Hotel Safari Garden, Puncak, Bogor.

 

Sayangnya, sepanjang tahun 2000 pembahasan RUU Kejaksaan seolah vakum. Satu-satunya kegiatan relevan yang dilaksanakan adalah seminar bertema Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan RI: Kemandirian Kelembagaan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum.

 

Barulah pada bulan Maret 2001 dibentuk Tim Pembuatan Naskah Akademis. Dua bulan bekerja, tim ini sudah berhasil menyusun dan mengirimkan draf RUU kepada presiden. Jaksa Agung pun mengirimkan surat kepada Menteri Kehakiman pada 18 Juni 2001, sebagai tindak lanjut surat Sekretaris Kabinet 23 Mei. Isinya meminta agar dalam pembahasan RUU Kejaksaan melibatkan Polri, advokat, MA, pakar hukum, akademisi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

 

Usia pensiun

 

Sebagai tindak lanjutnya, instansi-instansi tadi mengadakan rapat konsinyering pertama di Hotel Atlet Century Park Senayan pada 21-23 September 2001. Pertemuan sudah sampai membahas substansi dan kesepakatan atas beberapa klausul yang berubah dari Undang-Undang Kejaksaan 1991. Beberapa kali pertemuan lanjutan dilakukan di hotel ini, hingga menghasilkan draf RUU versi Oktober 2001.

 

Sementara itu, di internal Kejaksaan juga dilakukan beberapa kali rapat. Dalam pertemuan di ruang rapat Jaksa Agung pada 8 November 2001, misalnya, Persatuan Jaksa (Persaja) dan Persatuan Purnawirawan Jaksa (Pernaja) meminta agar pembahasan RUU Kejaksaan ditunda dulu karena kedua lembaga tadi berniat memberikan masukan tertulis. Hal yang mendapat sorotan Persaja dan Pernaja adalah usia pensiun jaksa.

 

Setelah ada masukan Persaja dan Pernaja, rapat-rapat pada akhir Desember 2001 di ruang rapat JAM Pembinaan menyepakati adanya sejumlah perbaikan draf yang sudah ada. Hingga akhirnya keluar draf Februari 2002. Itu pun belum cukup. Sepanjang Mei 2002, Tim Kejaksaan mengundang sejumlah senioren adhyaksa dan pihak Setjen DPR.

 

Rapat demi rapat diadakan untuk memantapkan berbagai beda pendapat dalam pembahasan, terutama masalah usia pensiun jaksa yang banyak menyita perhatian. Harapan akan adanya suatu Undang-Undang Kejaksaan yang baru mulai muncul setelah Menteri Kehakiman, pada 10 Juni 2002, memberikan surat pengantar RUU Kejaksaan kepada Presiden. Tak sampai sebulan, tepatnya 3 Juli, Presiden Megawati mengirimkan amanatnya kepada pimpinan DPR. Tetapi, rupanya Badan Legislasi DPR juga sudah menyiapkan naskah RUU.

 

Akibat adanya dua RUU, beberapa kali diadakan pembahasan antara Kejaksaan, Depkeh dan Komisi II DPR. Hingga, akhirnya lahirlah suatu RUU yang disahkan para Rapat Paripurna, Kamis pekan lalu.

Tags: