UNCLOS Tak Tuntas Atur Artificial Island dan MOA, Kemungkinan Muncul Negara Baru?
Berita

UNCLOS Tak Tuntas Atur Artificial Island dan MOA, Kemungkinan Muncul Negara Baru?

Ketiadaan hukum yang mengatur soal keabsahan non-state actors tanpa melalui otoritas Negara dalam pembentukan AI hingga absensi aturan soal kepemilikan MOA berpotensi memunculkan negara baru bentukan korporasi, bahkan individu.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Seminar Internasional bertema “UNCLOS and The Question of Artificial Island beyond National Jurisdiction, di FH UNPAD, Rabu (21/11). Foto: HMQ
Seminar Internasional bertema “UNCLOS and The Question of Artificial Island beyond National Jurisdiction, di FH UNPAD, Rabu (21/11). Foto: HMQ

Tak hanya dalam batas yurisdiksi negara, bermunculannya artificial island -AI- (pulau buatan) hingga menjangkau wilayah laut lepas (high seas) atau di luar yurisdiksi negara memang menjadi topik hangat yang patut dituntaskan pengkajiannya untuk menyempurnakan ketentuan UNCLOS 1982 (Pengganti perjanjian internasional tentang Hukum Laut 1958).

 

Pasalnya, ketentuan mendetail soal artificial island seperti definisi yang masih mengambang, batasan kebebasan pembuatan AI di laut lepas, keterlibatan non-state actors dalam pembuatan AI, inkonsistensi aturan dalam UNCLOS 1982 hingga ‘absennya’ pengaturan soal mid-ocean archipelago (MOA) masih menjadi tanda tanya besar bagi pegiat hukum laut di berbagai negara.

 

Terlebih lagi, ketiadaan hukum yang mengatur soal keabsahan non-state actors tanpa melalui otoritas negara dalam pembentukan AI hingga absensi aturan soal kepemilikan MOA bahkan ditaksir oleh peneliti pada Indonesian Center for the Law of the Sea (ICLOS) FH Unpad, Gusman Siswandi, memunculkan negara baru bentukan korporasi bahkan individu. Betapa tidak? Konsekuensi pindahnya penduduk suatu negara menuju suatu ‘pulau tak berkedaulatan’ hingga ‘beranak-pinak’ adalah status kewarganegaraan mereka yang serta merta dibawa apakah turut membawa kedaulatan negara mereka secara tidak langsung? Bagaimana jika beragam warga negara berkembang biak dalam satu AI atau MOA?

 

Untuk diketahui, berdasarkan article 87.1 UNCLOS 1982, memang dibuka ‘kebebasan’ di wilayah laut lepas untuk mengkonstruksi suatu AI yang secara hukum internasional itu diperbolehkan dengan batasan tertentu, seperti diatur pada article 87.2, 88 dan 89 UNCLOS 1982.

 

Di antara batasan yang baru diatur UNCLOS meliputi kebebasan dengan memperhatikan kepentingan, hak-hak serta aktivitas Negara lain di area tersebut (A87.2), pembentukan AI pada laut lepas harus dilakukan untuk tujuan damai (A88) dan tak ada satupun negara yang mengklaim kedaulatan pada bagian manapun di laut lepas (A89).

 

“Jadi saat negara kita misalnya memutuskan membangun pulau buatan di laut lepas, kita harus tetap menghormati hak-hak negara lain dan memperhatikan bahwa kegiatan kita dilakukan untuk tujuan damai. Itu yang membatasi,” terang Gusman dalam Seminar Internasional bertema “UNCLOS and The Question of Artificial Island Beyond National Jurisdiction", di FH UNPAD, Rabu (21/11).

 

Lantas apakah batasan itu sudah cukup? Gusman menjawab masih diperlukan beberapa penyesuaian, khususnya soal konsistensi UNCLOS dalam mengatur soal kedaulatan negara atas pulau buatan di laut lepas. Di satu sisi, kata Gusman, UNCLOS menjamin hak setiap negara untuk membangun instalasi atau pulau buatan di laut lepas, tetapi di sisi lain UNCLOS juga mengatur bahwa negara tak boleh mengklaim bagian dari laut lepas sebagai bagian dari kedaulatannya.

 

Logikanya, lanjut Gusman, jika negara membangun pulau buatan di laut lepas, tidak akan meninggalkan instalasi itu begitu saja. Pasti akan mengatur kegiatan-kegiatan yang berlangsung atau terkait di pulau buatan itu.

 

“Nah, pengaturan kegiatan itu apakah bukan berarti negara itu melaksanakan kedaulatan atau bahkan yurisdiksinya terhadap pulau buatan? Jadi agak kontradiktif,” tukas Gusman.

 

Nexus antara negara pendiri AI dengan AI di laut lepas juga masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk diklarifikasi dalam UNCLOS. Akhirnya, kedaulatan hanya dibatasi sebagai kedaulatan yang bersifat fungsional, dalam arti hanya mengatur soal AI tapi bukan berarti mengklaim AI sebagai bagian dari kedaulatan wilayah.

 

Akan tetapi, nexus antara non-state actors baik sebagai pendiri AI maupun sebagai penikmat sumber daya AI masih belum jelas diatur dalam UNCLOS. Di tengah ketidakjelasan kedudukan non-state actors dalam UNCLOS, peneliti pada Centre for International Law National University of Singapore, Youna Lyons, mengungkapkan saat ini berbagai aktivitas AI di luar yurisdiksi negara banyak dilakukan oleh private entities.

 

Posisi non-state actors dalam UNCLOS, kata Youna, hingga saat ini hanya dapat ditentukan berdasarkan asumsi-asumsi bahwa individu maupun badan privat bisa memperoleh keuntungan dari kebebasan pembangunan AI di laut lepas (UNCLOS A87) di bawah otoritas negara. Namun Youna menyayangkan tak ada ketegasan aturan dalam UNCLOS soal kewajiban atau larangan bahwa non-state actors harus bertindak di bawah otoritas negara atau dapat bertindak sendiri. Jika ini dibiarkan, maka bukanlah hal yang tidak mungkin private entities pada titik tertentu dapat menghasilkan sebuah koloni baru.

 

“Ketiadaan ketegasan aturan soal posisi non-state actors inilah yang akibatkan banyaknya AI di luar yurisdiksi negara yang dibentuk dan dikelola sumber dayanya oleh badan-badan privat,” pungkas Youna.

 

UNCLOS Absen Atur MOA

Sedangkan untuk MOA, memang UNCLOS masih absen dalam mengatur soal itu. Bahkan seorang peneliti asal Jepang (National Defense Academy of Japan), Yurika Ishi mengkritisi muatan UNCLOS dalam Konferensi Internasional bertajuk “UNCLOS & Artificial Island Beyond National Jurisdiction” yang diselenggarakan FH UNPAD, Rabu, (11/21).

 

Kritik Yurika khususnya terfokus pada article 7 dan 47 yang dianggapnya tak merefleksikan kondisi geografi pulau-pulau terkini. Dalam temuannya, terungkap ada beberapa pulau yang terpisah jauh dari daratan utamanya (mid-ocean archipelago/MOA), namun tak ditemukan satupun pasal dalam UNCLOS yang mengatur soal itu.

 

Contoh perbandingan bentuk wilayah negara kepulauan dengan MOA:

Hukumonline.com

Sumber: Materi presentasi Yurika Ishii (ICLOS 2018)

 

Article 7 UNCLOS bahkan membatasi archipelago pada pulau yang terletak di sepanjang pinggiran pantai dan sekitarnya, sedangkan article 47 hanya mengatur soal negara yang terdiri dari banyak pulau (archipelagic state) seperti Indonesia, belum menjangkau soal MOA.

 

Baik konsekuensi dari eksistensi MOA maupun lahirnya suatu AI, Yurika mempertanyakan apakah MOA yang berada jauh dari daratan utama dapat diklaim kepemilikannya oleh suatu negara? Jika tidak lantas siapa yang dapat menempati dan mengendalikan aktivitas maritim di situ? Untuk AI, apakah negara-negara yang membangun AI kemudian memiliki yurisdiksi untuk mengendalikan aktivitas maritim di pulau tersebut termasuk navigasi di dalam zona maritim yang dikelilingi pulau buatan itu?

 

“Itulah yang tidak tuntas diatur dalam UNCLOS 1982,” tukas Yurika.

 

Kemungkinan Revisi Ketiga UNCLOS?

Dengan segala keterbatasan pengaturan AI maupun MOA dalam UNCLOS, bahkan dengan segala kemungkinan munculnya koloni baru di laut lepas, apakah juga akan terbuka kemungkinan adanya revisi ketiga dari UNCLOS?

 

Gusman menyebut untuk merevisi suatu konvensi akan dirasa sulit. Ini diamini oleh Guru Besar Hukum Laut FH Unpad, Etty R Agoesman. Kepada hukumonline, Etty juga mengungkapkan tidak akan mudah untuk melakukan revisi ketiga atas UNCLOS, mengingat memang ada pasal yang menyebutkan bahwa untuk melakukan perubahan harus ada usul dari ‘sekian jumlah’ negara yang telah meratifikasi perjanjian ini. Sementara untuk mendapatkan usul hingga persetujuan untuk revisi suatu konvensi tidaklah mudah.

 

Alhasil, upaya yang sudah pernah dilakukan Negara-negara saat ini adalah membentuk semacam perjanjian turunan untuk mengklarifikasi serta mengatur hal-hal yang belum diatur dalam UNCLOS. Upaya ini disebut Gusman sudah pernah dilakukan pada 1994, yakni menghasilkan perjanjian atau persetujuan imlpementasi untuk mengatasi keterbatasan aturan yang saat itu belum jelas soal penambangan di dasar laut dalam.

 

“Jadi dilakukanlah klarifikasi atas pasal-pasal yang masih perlu dijelaskan lebih lanjut, sehingga tak perlu dilakukan revisi UNCLOS,” tukas Gusman.

 

Tags:

Berita Terkait