Uji Formil UU Cipta Kerja, Pemohon Minta Hakim MK Independen dan Obyektif
Berita

Uji Formil UU Cipta Kerja, Pemohon Minta Hakim MK Independen dan Obyektif

Yang Mulia hakim MK diminta tidak perlu takut terhadap Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menilai secara objektif semua masalah dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES

Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang perdana uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimohonkan Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (karyawan/mantan pekerja PKWT); Novita Widyana (pelajar SMK); Elin Dian Sulistiyowati (mahasiswa); Alin Septiana (mahasiswa); Ali Sujito (mahasiswa). Sidang digelar secara daring, Kamis (12/11/2020).    

Mereka menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja sejak pembahasan, persetujuan bersama, hingga pengesahan oleh Presiden pada 2 November 2020 melanggar Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur Pasal 5 huruf c, huruf f, huruf g, dan Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seperti diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (UU P3) sebagai amanat Pasal 22A UUD 1945.

Seperti asas kejelasan tujuan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan; dan berubah-ubahnya UU Cipta Kerja baik sisi jumlah halaman maupun diduga substansinya. Menurut pemohon, adanya perubahan substansi RUU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.  

“Kami memohon Hakim MK bisa melihat dan menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja secara independen dan objektif tanpa merasa takut untuk melepaskan diri dari jeratan tanggung jawab moral politik kepada Presiden,” kata salah satu kuasa pemohon Jovi Andrea Bachtiar dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Arief Hidayat beranggotakan Wahiddudin Adams dan Manahan MP Sitompul. (Baca Juga: Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK)

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan, “Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.” Pasal 72 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, “Penyampaian RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waku paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.”

Jovi pun menyinggung penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden Jokowi yang disematkan kepada beberapa hakim konstitusi, Rabu (11/11/2020) kemarin. Untuk itu, dia berharap penghargaan itu tidak mempengaruhi independensi hakim MK ketika memeriksa dan mengadili permohonan ini secara objektif.

"Yang Mulia hakim MK juga tidak perlu takut terhadap Dewan Perwakilan Rakyat untuk menilai secara objektif semua masalah yang ada dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Sebab, hakim MK sesungguhnya punya tanggung jawab moral lebih besar kepada masyarakat Indonesia untuk memastikan kesejahteraan mereka terpenuhi,” katanya.

Seperti diketahui, ada enam hakim konstitusi yang telah menerima penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden Joko Widodo, Rabu (11/11/2020) di Istana Negara, Jakarta. Ketiga hakim konstitusi menerima penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana yakni Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama.

Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Hakim Panel Arief Hidayat menanyakan apakah pernyataan tersebut ingin dimasukkan dalam permohonan. Sebab, pernyataan tersebut tidak ada dalam permohonan. Koordinator tim kuasa hukum para pemohon, Viktor Santoso Tandiasa menjawab hal tersebut tidak termasuk dalam permohonan.

"Dianggap tidak ada ya, pernyataan itu? Anda prejudice itu berarti tidak boleh. Tapi kalau mau masuk permohonan silakan, enggak apa-apa," ujar Arief.

Viktor mengatakan pernyataan itu di luar permohonan seharusnya tidak disampaikan di dalam sidang. Viktor berupaya mengklarifikasi ungkapan rekannya sekaligus menyampaikan permohonan maaf kepada majelis. Ia merasa bersalah karena tidak mengingatkan di awal persidangan.

"Seperti kita tahu yang disampaikan adalah isu yang berkembang di luar persidangan. Jadi mungkin Saudara Jovi terbawa suasana itu dan memang kesalahan saya, saat mendekati sidang tadi saya tidak briefing bahwa hal-hal itu tidak perlu disampaikan dalam persidangan, yang dibacakan cukup materi permohonan," kata Viktor.

Dia melanjutkan dalam sidang perbaikan selanjutnya akan bertambah beberapa pemohon yakni 1 orang akademisi yang juga pakar hukum tata negara; 1 organisasi pekerja; 2 organisasi masyarakat adat. Jadi total Pemohon akan menjadi 9 pemohon. Selain itu, untuk memperkuat tim kuasa hukum akan bergabung juga beberapa lawyer yang cukup disegani sepak terjangnya di dunia Advokat dan Ketatanegaraan.

“Hal ini tentunya akan semakin memperkuat subyek hukum yang akan maju sebagai pemohon, dan memperkuat Perbaikan Permohonan yang akan di daftarkan setelah sidang pendahuluan ini,” tambahnya.

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait