Uji 4 Langkah: Menilai Orisinalitas Karya Generative AI
Kolom

Uji 4 Langkah: Menilai Orisinalitas Karya Generative AI

Untuk membuktikan status pencipta dan kepemilikan hak cipta atas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI dapat menggunakan Uji 4 Langkah dengan menjawab 4 pertanyaan yang dikembangkan dari ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta.

Bacaan 7 Menit
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa

Dalam penelitian untuk tesis saya yang membahas mengenai pengaruh generative Artificial Intelligence (AI) terhadap pelindungan hak cipta, saya menemukan permasalahan yang menjadi diskusi di banyak negara adalah mengenai status pencipta (authorship) dan kepemilikan hak cipta (ownership) dari karya yang dihasilkan dengan menggunakan generative AI. Hal tersebut pada dasarnya berhubungan erat dengan konsep orisinalitas sebuah karya.

Pencipta dan Ciptaan

Menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), yang dimaksud dengan “Pencipta” adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu Ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan pengertian “Ciptaan” adalah hasil karya cipta yang diciptakan dari pikiran, inspirasi, kemampuan, imajinasi, keterampilan, kecekatan, atau keahlian, di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Merujuk pada pengertian tersebut, jelas yang dapat dikualifikasi sebagai “Pencipta” menurut UU Hak Cipta adalah manusia yang secara kodrati sebagai subyek hukum, sehingga generative AI sebagai produk teknologi tidak dapat dianggap sebagai pencipta. Ciptaan juga harus memiliki sifat khas dan pribadi dari Penciptanya sebagai perwujudan dari prinsip orisinalitas. Agar mendapat perlindungan hak cipta, suatu karya haruslah “asli” atau terlihat memiliki “keaslian” sebagai pemenuhan prinsip orisinalitas, yang mengacu pada konsep penciptaan yang mandiri (independent creation). Ini berarti karya tersebut bukan hasil penggandaan atau hasil adaptasi dari karya pihak lain yang telah ada sebelumnya.

Meski tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU Hak Cipta mengenai “sifat khas dan pribadi” tersebut. Namun, berdasarkan yurisprudensi, Putusan MA No. 056 PK/Pdt.Sus/2010 dan Putusan MA No. 141 K/Pdt.Sus-HaKI/2013, diketahui apabila seseorang dapat menjelaskan alasan penciptaan dari karyanya, atau menjelaskan bagaimana cara kerja suatu karya berupa program komputer, maka Ciptaan tersebut dapat dianggap memiliki sifat khas dan pribadi dari orang tersebut. Apabila Ciptaan tidak memiliki sifat khas dan pribadi dari Penciptanya, maka prinsip orisinalitas tidak terpenuhi, sehingga orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai Pencipta dari suatu Ciptaan.

Baca Juga:

Karya Generative AI

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengenai siapa yang dapat dianggap sebagai Pencipta atas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI. Muncul juga pertanyaan mengenai kepemilikan hak cipta atas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI.

UU Hak Cipta memang tidak mengatur secara spesifik berkenaan dengan ciptaan yang dihasilkan melalui bantuan komputer (computer generated works) atau ciptaan yang dihasilkan dengan bantuan generative AI. Namun, dalam UU Hak Cipta terdapat ketentuan yang dapat mengakomodir bantuan pihak lain atau penggunaan alat bantu dalam menghasilkan sebuah ciptaan yaitu ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta.

Dalam Pasal 34 UU Hak Cipta diatur disebutkan dalam hal Ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka yang dianggap Pencipta adalah orang yang merancang Ciptaan tersebut. Yang dimaksud dengan “dibawah pimpinan dan pengawasan” menurut UU Hak Cipta adalah dengan bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang memiliki rancangan Ciptaan tersebut.

Dari ketentuan tersebut, dapat dibuat ilustrasi sebagai berikut: apabila seseorang ingin membuat sebuah patung berbahan kayu, tetapi orang tersebut tidak memiliki keahlian memahat patung, maka orang tersebut dapat menyuruh seorang pematung yang memiliki keahlian memahat patung untuk membuatkan sebuah patung berbahan kayu. Orang yang ingin membuat patung tersebut tentu harus membuat rancangan gambar patung yang ingin dibuatnya dan memberikannya kepada sang pematung.

Sang pematung dengan alat pahatnya kemudian mengerjakan pembuatan patung sesuai dengan rancangan yang diberikan kepadanya. Selama proses pengerjaan patung, orang yang menyuruh membuat patung itu mengawasi proses pengerjaan patung untuk memberikan arahan atau koreksi agar patung yang sedang dikerjakan itu sesuai dengan rancangan yang diberikan kepada sang pematung.

Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta, maka orang yang menyuruh sang pematung untuk membuatkan patung berbahan kayu tersebut adalah pencipta dari patung tersebut. Hal ini karena orang yang menyuruh sang pematung tersebut telah membuat rancangan gambar patung tersebut, dan mengawasi proses pengerjaan patung tersebut dengan memberikan arahan atau koreksi kepada sang pematung agar patung yang dikerjakan sesuai dengan rancangannya. 

Begitu pula apabila seseorang ingin membuat film dengan adegan yang diambil gambarnya dari udara, maka dia akan menghubungi seseorang yang dapat menggunakan drone untuk mengambil gambar dari udara. Orang yang membuat film tersebut membuat skenario untuk diberikan kepada orang yang akan mengendalikan drone agar memiliki gambaran dalam mengambil gambar dari udara. Selama proses pengambilan gambar tersebut, orang yang ingin membuat film tersebut mengarahkan orang yang mengendalikan drone untuk mengambil gambar pada sudut-sudut pengambilan gambar yang sesuai dengan skenario yang dibuatnya, serta melakukan proses pengeditan gambar tersebut untuk dijadikan film utuh.

Dengan demikian, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta, maka orang yang dianggap penciptanya adalah orang yang ingin membuat film tersebut, karena orang tersebut telah membuat rancangan berupa skenario, dan mengawasi proses pengambilan gambar tersebut dengan memberikan arahan kepada orang yang mengendalikan drone tersebut, serta melakukan pengeditan terhadap gambar tersebut. 

Apabila orang menggunakan generative AI, seperti aplikasi ChatGPT untuk membuat karya tulis. Pada dasarnya orang itu telah meminta bantuan OpenAI sebagai pengembang ChatGPT untuk menghasilkan karya tulis. Prompt atau instruksi kepada ChatGPT dapat dianggap sebagai rancangan ciptaannya. Hal ini karena pada dasarnya aplikasi ChatGPT tersebut adalah alat bantu yang sama halnya dengan alat pahat yang dipakai pematung, dan drone yang dipakai untuk mengambil gambar dari udara.

Alat pahat dipakai dan diarahkan sedemikian rupa oleh pematung untuk memahat patung, dan drone yang terlihat melayang sendiri di udara sebenarnya dikendalikan dan diarahkan sedemikian rupa melalui remote control oleh orang di darat untuk mengambil gambar. Demikian pula aplikasi generative AI, seperti ChatGPT, yang diprogram dengan serangkaian kode komputer dan algoritma oleh pengembang generative AI untuk menghasilkan karya sesuai instruksi yang diberikan.

Apabila alat pahat berfungsi sesuai dengan kehendak pematung, dan drone terbang di udara dengan dikendalikan remote control oleh orang di darat, maka aplikasi generative AI menjalankan instruksi sesuai dengan serangkaian kode komputer dan algoritma yang telah diprogram oleh pengembang generative AI.   

Dengan begitu, ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta dapat diberlakukan untuk menentukan apakah orang yang menggunakan aplikasi generative AI tersebut dapat dianggap sebagai pencipta atas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI tersebut. Hal ini karena orang yang menggunakan generative AI tersebut pada dasarnya telah meminta bantuan pengembang generative AI tersebut untuk menghasilkan suatu karya dengan generative AI sebagai alat bantunya. 

Uji 4 Langkah

Untuk menguji apakah orang yang menggunakan aplikasi generative AI untuk menghasilkan karya dapat dikualifisir sebagai Pencipta menurut UU Hak Cipta, dan karya yang dihasilkan aplikasi generative AI adalah Ciptaan yang dilindungi hak cipta, maka dapat dilakukan “Uji 4 Langkah”. Untuk menjawab 4 pertanyaan yang dikembangkan dari ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta sebagai berikut:

Pertama, apakah orang tersebut membuat sendiri rancangan ciptaannya? Dalam menggunakan generative AI untuk menghasilkan suatu karya, seseorang harus membuat prompt atau instruksi yang jelas agar hasilnya sesuai dengan keinginan. Prompt atau instruksi tersebut pada dasarnya dapat dianggap sebagai rancangan ciptaan sebagaimana dimaksud Pasal 34 UU Hak Cipta, sepanjang dapat mencerminkan pikiran, inspirasi, kemampuan, imajinasi, keterampilan, kecekatan, atau keahlian, dari orang yang membuatnya. Namun, akan lebih baik lagi apabila ada pengaturan lebih lanjut dari otoritas yang berwenang mengenai kriteria prompt atau instruksi seperti apa yang dapat dianggap sebagai rancangan ciptaan.  

Kedua, apakah orang tersebut melakukan koreksi atau revisi terhadap karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI tersebut? Perlu dilihat seberapa besar peran aktif orang yang memiliki rancangan ciptaan tersebut dalam melakukan koreksi atau revisi terhadap karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI. Apabila tidak ada proses koreksi atau revisi tersebut, maka tentu saja orang yang menggunakan generative AI tersebut tidak dapat memenuhi kualifikasi sebagai Pencipta. Namun, akan lebih baik lagi jika otoritas yang berwenang membuat pengaturan lebih lanjut mengenai seberapa substansial koreksi atau revisi yang dilakukan seseorang terhadap karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI agar dapat dianggap sebagai Pencipta menurut ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta.       

Ketiga, apakah karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI termasuk karya yang dilindungi hak cipta? Suatu generative AI dapat menghasilkan teks, gambar, atau suara, yang belum tentu dapat dilindungi hak cipta. Meskipun hak cipta pada dasarnya melindungi karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, namun menurut Pasal 41 UU Hak Cipta terdapat beberapa karya yang tidak mendapat pelindungan hak cipta yaitu antara lain karya berupa ide, sistem, prosedur, prinsip, metode, konsep, temuan atau data, walaupun telah diungkapkan, dijelaskan, digambarkan, dinyatakan atau digabungkan, dalam sebuah Ciptaan.

Keempat, apakah karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI tersebut memiliki sifat khas dan pribadi dari orang yang menggunakan generative AI tersebut? Ini pertanyaan paling penting dalam menilai orisinalitas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI, mengingat data latih yang digunakan dalam pengembangan generative AI dapat bersumber dari ciptaan milik pihak lain yang memiliki sifat khas dan pribadinya sendiri.Ciptaan yang memiliki sifat khas dan pribadi menjadi syarat bagi seorang Pencipta untuk membuat klaim atas suatu karya sebagai ciptaannya. Meski dalam UU Hak Cipta tidak ada penjelasan mengenai sifat khas dan pribadi, namun berdasarkan yurisprudensi, sifat khas dan pribadi dari seorang pencipta dapat dinilai dari alasannya dalam membuat suatu ciptaan, atau kemampuan seorang pencipta menjelaskan cara membuat dan/atau cara kerja suatu ciptaan yang berupa program komputer.

Selain itu, dapat dipertimbangkan juga yurisprudensi di Uni Eropa berkenaan dengan penilaian sifat khas dan pribadi dari suatu ciptaan yaitu dengan menilai apakah seorang pencipta memiliki pilihan bebas dan kreatif (free and creative choices) dalam menciptakan karyanya. Berdasarkan yurisprudensi tersebut dijelaskan apabila seorang pencipta memiliki pilihan-pilihan bebas dan kreatif dalam menciptakan karyanya, maka pencipta tersebut dapat membuat klaim bahwa karya tersebut diciptakan dengan sentuhan pribadinya.

Penutup

Pada dasarnya, untuk menguji orisinalitas suatu karya yang diduga dihasilkan dengan bantuan generative AI dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi, seperti aplikasi Turnitin dan Google Lens. Namun, apabila terjadi perselisihan mengenai status pencipta (authorship) dan kepemilikan hak cipta (ownership) atas karya yang dihasilkan dengan bantuan generative AI, untuk membuktikannya dapat digunakan “Uji 4 Langkah” dengan menjawab 4 pertanyaan yang dikembangkan dari ketentuan Pasal 34 UU Hak Cipta itu.      

 

*) Ari Juliano Gema, Partner di kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners bidang Hukum Kekayaan Intelektual dan entertainment. Pernah menjabat sebagai Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi di Badan Ekonomi Kreatif (2015-2019) dan Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi (2020-2022).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait