UGM: Jangan Anggap PTN sebagai Korporasi
Berita

UGM: Jangan Anggap PTN sebagai Korporasi

Tapi ahli dari pemohon tetap yakin UU Dikti menyingkirkan rakyat miskin.

ASH
Bacaan 2 Menit

Dia mengungkap fakta, Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi. Karena itu, perlu ada kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga negara untuk mengembangkan bakatnya. Apalagi, pendidikan tinggi sebagai investasi karena mempunyai rate of returns yang cukup besar sebagai modal kultural dan modal sosial ekonomi.

“Sangat mengherankan apabila Indonesia sebagai Negara berkembang justru enggan melakukan investasi dalam bentuk pendidikan tinggi. Lewat UU Dikti, Indonesia justru mempersempit akses bagi calon-calon pemimpinnya untuk dapat menikmati pendidikan yang berkualitas,” kata Tilaar.

Menurutnya, UU Dikti saat ini memberikan otonomi tata kelola termasuk tanggung jawab pendanaan kepada institusi pendidikan tinggi yang pada akhirnya berpotensi besar terhadap kenaikan biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa. Pendidikan tinggi sebagai investasi jangka panjang sudah selayaknya diselenggarakan dan wajib dibiayai oleh pemerintah.

Tilaar memperingatkan dampak buruk dari otonomi pengelolaan pendidikan tinggi jika perguruan tinggi mencari pendanaannya sendiri karena perguruan tinggi bebas bekerja sama dengan pihak koorporasi yang orientasinya mengejar profit. Selain itu, korporasi tentunya tidak bebas dari kepentingan tertentu yang hendak dicapainya demi kepentingannya semata.  

“Universitas yang mencari dananya sendiri akan terikat dengan pemberi dananya. Ikatan antara perguruan tinggi dan pemberi dananya ini, justru akan mengancam otonomi akademis perguruan tinggi itu sendiri,” kritiknya. 

Untuk diketahui, pengujian UU Dikti ini diajukan oleh Moh Junaedi (mahasiswa UI), Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (mahasiswa UGM), Aida Milasari (orang tua mahasiswa), dan aktivis Yogo Daniarto yang mengatasnamakan Komite Nasional Pendidikan Tinggi (KNP).

Para pemohon menguji seluruh UU Dikti yang telah mengatur hal-hal teknis, terutama pengelolaan keuangan pendidikan tinggi yang dinilai telah menghilangkan tujuan utama pendidikan tinggi dan melahirkan ketidakadilan bagi sejumlah anak bangsa.

Pasalnya, sejak beberapa perguruan tinggi negeri menjadi berbadan hukum berdasarkan UU Dikti, seperti UGM dan UI, telah melahirkan sejumlah kebijakan kampus yang ujung-ujungnya menambah beban pembiayaan pendidikan kepada mahasiswa.

Pemohon menilai otonomi pengelolaan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum yang terdapat di UU Dikti itu tak ubahnya seperti otonomi pengelolaan pendidikan formal dalam UU BHP yang telah dibatalkan MK. Karenanya, pemohon meminta MK membatalkan UU Dikti karena bertentangan dengan UUD 1945. 

Tags:

Berita Terkait