Tuntutan Buruh di May Day 2013
Berita

Tuntutan Buruh di May Day 2013

Mulai dari pelaksanaan jaminan sosial, outsourcing sampai perlindungan pekerja migran.

ADY
Bacaan 2 Menit
Tuntutan Buruh di <i>May Day</i> 2013
Hukumonline

Ratusan ribu pekerja memadati jalan sepanjang HI sampai Istana Negara pada perayaan MayDay 2013 di Jakarta. Bermacam serikat pekerja yang tumpah ruah di jalan mengusung berbagai isu ketenagakerjaan seperti pelaksanaan BPJS, Outsourcing, tolak upah murah dan perlindungan pekerja migran.

Presidium Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Indra Munaswarmenuturkanmasih banyak agenda ketenagakerjaan yang belum dituntaskan pemerintah. Oleh karenanya, ketika bertemu Presiden SBY dua hari lalu, sejumlah pimpinan serikat pekerja sudah menyampaikan apa saja di bidang ketenagakerjaan yang perlu dilakukan pemerintah.

Ketika menanggapi usulan serikat pekerja itu Indra mengatakan Presiden SBY merespon positif dan sepakat. Misalnya, memperbaiki Perpres tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes)dan PP tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), memberesi masalah outsourcing danmemperbaiki sistem pengupahan agar menyejahterakan pekerja.

Bila Presiden SBY sepakat untuk membenahi peraturan pelaksana BPJS, sekarang tinggal bagaimana kementerian terkait melaksanakannya. Dalam rangka perbaikan peraturan itu Indra menyebut serikat pekerja punya draf tentang peraturan pelaksana tersebut untukdijadikanbahan sandingan pemerintah.

Untuk itu, momentum Mayday kali ini MPBI tak hanya menyambangi Istana Negara tapi Kementerian terkait seperti Kemenakertrans, Kemenkes, Kemenkokesra dan Kemenkeu. Hal itu ditujukan agar pemerintah serius merevisinya karena BPJS Kesehatan mulai beroperasi tahun depan. “Minimal Juli harus selesai revisinya,” katanya kepada hukumonline di tengah massa aksi di depan Istana Negara, Rabu (1/5).

Selain revisi Perpres Jamkes dan PP PBI, Indra melanjutkan, pemerintah dituntut untuk segera menerbitkan 2 PP dan 2 Perpres tentang pengelolaan BPJS. Menurutnya, peraturan itu sangat krusial karena menyangkut bagaimana BPJS menjalankan kegiatannya. Tanpa peraturan itu Indra berpendapat BPJS tak akan berjalan.

Presidium MPBI lainnya, Said Ikbal, menyebut selain pentingnya merevisi dan membentuk peraturan pelaksana BPJS dengan segera, pemerintah juga harus meningkatkan jumlah peserta yang dicakup BPJS. Menurutnya, tidak tepat jika pemerintah membatasi jumlah peserta PBI hanya 86,4 juta orang. Pasalnya, UU SJSN dan UU BPJSmengamanatkan bahwa Jamkes itu ditujukan untuk semua masyarakat. “Pesan kita jelas, jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat pada 1 Januari 2014, bukan bertahap pada tahun 2019," tegasnya.

Soal outsourcing, Ikbal mengatakan, pemerintah harus memberesi pelaksanaan outsourcing, terutama di perusahaan BUMN. Menurutnya, BUMN tak perlu untuk menggunakan pekerja outsourcing dan mereka layak untuk dialihkan statusnya menjadi pekerja tetap. Pasalnya, BUMN harus menjadi contoh pelaksanan sistem ketenagakerjaan yang baik dan menyejahterakan pekerja. Said berpendapat sebagai perusahaan negara, BUMN harus menjadi contoh bagi perusahaan lain untuk tidak menerapkan sistem outsourcing.

Masih menyangkut kesejahteraan pekerja, Ikbal mengatakan serikat pekerja menolak penerapan upah murah. Misalnya, upah minimum berfungsi sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja. Sehingga, upah minimum disebut sebagai jaring pengaman karena melindungi pekerja agar tak terjerumus ke jurang kemiskinan.

Oleh karenanya, Ikbal berpendapat tidak tepat jika penangguhan upah minimum dilakukan. Mengingat terjadi penangguhan yang dilakukan perusahaan di berbagai daerah dan mekanisme penangguhan yang digunakan dianggap melanggar aturan, maka serikat pekerja sudah mengajukan gugatan kepada Gubernur di daerah bersangkutan. Gugatan tersebut dilakukan karena penerbitan izin penangguhan itu dilakukan oleh Gubernur.

Pekerja migran
Tak ketinggalan, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengingatkan pemerintah untuk serius menuntaskan masalah seputar pekerja migran. Sebab, dari tahun ke tahun, perlindungan untuk pekerja migran dirasa tak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya, sampai saat ini masih banyak dijumpai pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) dilanggar hak-haknya. Ironisnya, perlindungan yang diberikan pemerintah tergolong minim. Misalnya, jam kerja tidak jelas, pelecehan seksual, penyiksaan dan terancam hukuman mati.

Sampai tahun 2013 Migrant CARE mencatat sedikitnya 420 pekerja migran terancam hukuman mati, 99 diantaranya sudah divonis hukuman mati dan 2 orang telah dieksekusi mati di Arab Saudi. Dalam rangka melindungi pekerja migran, Anis berpendapat pemerintah sudah membentuk Satgas Anti Hukuman Mati. Sayangnya, Satgas itu tak diperpanjang masa kerjanya. Menurutnya, hal tersebut meninggalkan pekerjaan rumah yang cukup serius bagi pemerintah.

Oleh karenanya Anis menyebut Migrant Care mendesak agar pemerintah maksimal membela dan membebaskan pekerja migran yang terjerat kasus. Seperti membebaskan 5 PLRT yang saat ini menunggu eksekusi di Arab Saudi. “Mereka adalah Satinah Binti Jumadi, Siti Zaenab, Tuti Tursilawati, Aminah Binti Budi dan Darmawati. Rentetan kasus-kasus yang dialami buruh migran tersebut selama ini menjadi catatan hitam era pemerintah presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait