Tuntutan Berlipat Edhy Prabowo
Terbaru

Tuntutan Berlipat Edhy Prabowo

Selain pidana penjara selama 5 tahun, Edhy Prabowo dikenakan uang pengganti sebesar Rp9 miliar dan pencabutan hak politik.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, di sidang Tipikor. Foto: RES
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, di sidang Tipikor. Foto: RES

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta menghukum mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp400 juta. Jika tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Penuntut meyakini Edhy terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang suap sebesar Rp25,7 miliar dari sejumlah pengusaha terkait dengan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) atau yang biasa disebut benur. Uang tersebut diterimanya melalui beberapa bawahannya yakni Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Budi Daya Lobster Andreau Misanta Pribadi, dan Safri selaku stasfus Edhy dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Iis Rosita Dewi, serta Sidwadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

“Dapat disimpulkan perbuatan terdakwa selaku menteri KP RI bersama-sama dengan Andreau Misanta Pribadi selaku stafsus, saksi Safri, saksi Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi menteri KP RI, saksi Ainul Faqih selaku sekrrtaris pribadi Iis Rosita Dewi anggota DPR RI atau istri terdakwa, dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK) dari saksi Suharjito dan pengusaha eksportir BBL lainnya telah menerima hadiah berupa uang sejumlah AS$77 ribu dan Rp24.625.587.250 (Rp24,6 miliar),” ujar penuntut umum KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/6).

Dalam memberikan tuntutan penuntut pada KPK juga mempertimbangkan hal meringakan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan Edhy berlaku sopan dan belum pernah dihukum serta sebagian aset telah disita. Sedangkan hal memberatkannya adalah Edhy dianggap tidak memberi teladan yang baik selaku menteri KKP. (Baca: Kontradiksi Edhy Prabowo: Kritik Kebijakan Susi Akibatkan Pengangguran, tapi Hidup Mewah)

Penuntut mengatakan uang AS$77 ribu didapat Edhy Prabowo dari Direktur PT DPPP, Suharjito. Diketahui Suharjito sudah lebih dulu divonis 2 tahun penjara terkait perkara ini. Hal itu berasal dari kesaksian Suharjito sendiri yang mengatakan ia menyerahkan uang melalui Safri dalam jumlah tersebut bersama Agus Kurniyawanto.

Adapun penerimaan uang Rp 24,6 miliar didapat Edhy dari pengusaha benur lainnya dalam bentuk biaya kargo dengan menggunakan perusahaan boneka. Menurut penuntut, Edhy membuat perusahaan boneka bekerja sama dengan perusahaan kargo PT ACK yang melakukan ekspor benur dengan cara mengumpulkan keuntungan melalui dua orang representasi dirinya agar terlihat uang yang diterima secara legal.

Dari sana terungkap fakta hukum keinginan Edhy mendapat keuntungan dari pengusaha eksportir BBL. “Untuk mewujudkan keinginan terdakwa, saksi Amiril yang merupakan sekretaris pribadi terdakwa mencari perusahaan boneka guna menampung, menerima uang dari Suharjito dan pengusaha lainnya,” jelas penuntut.

Pola yang dilakukan Edhy, kata penuntut yaitu dengan cara menaruh dua orang bernama Amri dan Ahmad Bahtiar yang dipinjam namanya oleh Edhy agar mendapat untung dari ekspor benur. Contohnya uang Rp24,6 miliar yang diterima di rekening BNI atas nama Amri dan melalui Ahmad Bahtiar. Sedangkan Rp5 miliar diterima di rekening Yudi Surya Atmaja sebagai representasi dari Siswadhi Pranoto Loe.

“Bahwa dengan penerimaan uang dari Suharjito dan perusahaan BBL lain dari PT ACK tersebut maka dapat disimpulkan proses penyerahan telah terjadi sempurna. Meskipun uang tidak diterima secara fisik kepada terdakwa, namun uang tersebut telah dinikmati pribadi dengan cara pemindahbukuan ke rekening beberapa orang terdekat terdakwa, sehingga terdakwa dan Siswadhi Pranoto Loe mudah menggunakan uang-uang tersebut,” terangnya.

Pidana tambahan

Penuntut juga mengatakan Edhy berperan aktif dalam memberi izin ekspor benur dan juga mengintervensi proses pemberian izin budidaya dan ekspor bbl kepada PT DPPP dan perusahaan eksportir lainnya. Caranya yaitu dengan memberi arahan agar Andreu Misanta selaku ketua tim uji tuntas dan Safri selaku Wakil Ketua Tim Uji Tuntas menjalankan arahan terkait ekspor Benur.

Selain itu, jaksa juga meyakini Edhy turut terlibat dalam memberikan izin budidaya dan ekspor benur. Walaupun Edhy telah menyerahkan sepenuhnya ke dirjen di bawahnya. Meskipun pemberian izin ekspor BBL bukan kewenangan terdakwa, namun dalam proses pemberiannya terlihat sangat kental ada campur tangan terdakwa, sehingga terlihat izin tersebut harus melalui terdakwa sementara dirjen hanya menjabat saja, maka terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban terkait suap ini.

Tak hanya pidana penjara, penuntut juga meminta majelis menjatuhkan pidana tambahan terhadap Edhy berupa membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.447.219 (Rp9,6 miliar) dan sebesar AS$77 ribu dengan ketentuan dikurangi seluruhnya dengan uang yang dikembalikan. Dan apabila ia tidak membayar uang pengganti tersebut dalam 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap maka harta bendanya akan disita jaksa dan dilelang untuk menutpi hal tersebut.

“Dalam hal jika terdakwa tidak mempunyai harta maka akan dipidana penjara selama 2 tahun,” jelas penuntut.

Selain itu penuntut juga meminta majelis menjatuhkan pidana tambahan lain berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatab publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya. Sebab perbuatan korupsi yang diduga dilakukan Edhy dilakukan pada saat ia menjabat sebagai menteri.

Dalam sidang ini pula, staf khusus dan sekretaris pribadi serta pemilik PT ACK juga dituntut bersama Edhy. Misalnya Andreau Misanta Pribadi dituntut 4 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan, Safri dituntut 4 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kemudian, Amiril Mukminin dituntut 4 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan, Ainul Faqih dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan dan terakhir Sidwadhi Pranoto Loe dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Atas dasar ini, Edhy Prabowo dkk diyakini melakukan tindak pidana sesuai dakwaan Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Tidak bersalah

Kepada wartawan usai sidang, Edhy sendiri merasa tidak salah dan tidak punya wewenang terhadap ekspor Benur yang sudah ia delegasikan sesuai dengan bukti persidangan. Meskipun mengklaim bukan salahnya, menurut Edhy ia tetap bertanggung jawab terhadap kejadian di kementerian yang ia pimpin dan tidak melarikan diri begitu saja.

“Tapi saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya karena saya lalai. Keputusan ini, tuntutan ini ajan saya jalani terus sampai besok tgl 9 kami mengajukan pembelaan setelah itu ada proses putusan,” terangnya.

Soesilo Ariwibowo, penasihat hukum Edhy mengatakan hal yang sama. Menurutnya, surat tuntutan itu agak dipaksakan sesuai dengan dakwaan meskipun fakta-faktanya bertentangan. Contoh misalnya soal kewenangan, ia menyebut penuntut seakan ambigu mengakui bahwa itu bukan kewenangan kliennya terkait dengan pengurusan izin ekspor dan budidaya karena itu sudah didelegasikan kepada para Dirjennya.

“Tadi dalam fakta persidangan tak ada satu saksi pun yang mengatakan bahkan secara terang benderang semua saksi mengatakan tidak tahu ada intervensi dari Pak Edhy termasuk Sespri maupun stafsusnya sendiri. Artinya Pak Edhy sebenarnya tidak dalam kewenangannya terkait dengan perizinan yang dituduhkan pada pak Edhy. Ini kan tuduhannya pak Edhy dianggap menerima uang hasil mempercepat proses perizinan lobster dan izin ekspor. Namun, di dalam faktanya tak terjadi seperti itu. Bahkan yang AS$77 ribu yang konon diakui oleh Safri tapi kan gak bisa terbukti atau ada petunjuk lain bahwa itu diterima oleh Pak Edhy,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait