Tuntut Hak, Petani Berjalan Kaki Jambi-Jakarta
Berita

Tuntut Hak, Petani Berjalan Kaki Jambi-Jakarta

Menuntut pemerintah menuntaskan masalah agraria.

ADY
Bacaan 2 Menit

Terpisah, anggota Komnas HAM, Dianto Bachriadi, mengatakan secara umum konflik agraria di Indonesia sedikitnya terdiri dari tiga penyebab. Pertama, banyak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang cenderung memudahkan akses penggunaan tanah untuk perusahaan. Baik itu di lahan berstatus kehutanan atau budidaya kehutanan. Khusus untuk budidaya kehutanan, Dianto mencatat jumlahnya sangat besar, lebih dari 60 persen dari seluruh daratan di Indonesia. Di area budidaya kehutanan itulah konflik agraria kerap terjadi.

Kedua, adanya indikasi manipulasi penerbitan izin tersebut oleh pemerintah pusat atau daerah. Dengan kemudahan dunia usaha untuk mengakses tanah, menyebabkan penerbitan izin tersebut marak. Ujungnya, lahan yang biasa digarap masyarakat sering diserobot. Misalnya, digunakan untuk bisnis perkebunan dan pertambangan.

Ketiga, secara historis, di Indonesia terjadi ketimpangan kepemilikan tanah sejak masa kolonial Belanda. Sampai saat ini, Dianto melihat jurang pemisah antara pemilik tanah dan orang yang tak punya tanah semakin lebar. Sejalan dengan itu, jumlah petani tak bertanah dan petani kecil atau petani yang punya lahan kurang dari setengah hektar, menjadi bertambah. Mengingat minimnya peran pemerintah menyelesaikan persoalan itu, akhirnya para petani tersebut melakukan upaya yang dilakukan secara individu atau berkelompok untuk menduduki tanah.

Pendudukan yang dilakukan para petani tak bertanah itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara tanah yang diduduki tersebut, Dianto melanjutkan, mulai dari perkebunan terlantar, perkebunan aktif dan kehutanan. Alhasil, ketika lahan yang sudah digunakan petani itu digarap untuk kegiatan bisnis, maka meletuslah konflik. Tentu saja konflik itu melibatkan aparatur pemerintah dan pihak pengusaha.

Untuk menyelesaikan konflik agraria, Dianto berpendapat, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Yang utama, pemerintah harus punya kemauan politik untuk menyelesaikan konflik agraria secara komprehensif. Kemudian, rakyat yang tak punya tanah menjadi prioritas utama pemerintah untuk dituntaskan permasalahannya terkait agraria. Misalnya, selama ini dalam menghadapi konflik agraria di masyarakat, dalih yang selalu digunakan kepada masyarakat tak bertanah adalah faktor legal seperti kepemilikan sertifikat tanah dan lainnya.

Jika mekanisme itu digunakan, Dianto yakin mayoritas rakyat yang tak bertanah akan kalah. Oleh karenanya, Dianto menyarankan agar pemerintah mengalokasikan sebagian tanah yang disengketakan itu kepada rakyat atau petani yang sudah menggunakannya. Kemudian, sebagian tanah lain, barulah dikelola untuk kepentingan pemerintah atau bisnis. Menurutnya, cara itu lebih manusiawi ketimbang mementingkan langkah legal formal.

Bagi Dianto, jika pemerintah sudah memberikan tanah kepada petani atau warga tak bertanah, barulah Indonesia dapat melangkah pada tahap legal formal. Namun, sebaliknya, jika pemerintah tak mampu menuntaskan konflik agraria secara komprehensif, maka Indonesia tidak dapat beranjak menuju situasi agraria baru. Yaitu melihat kepemilikan tanah secara legal formal. “Berikan dulu petani itu tanah, setelah itu baru ngomong soal penegakan hukum,” ucapnya kepada hukumonline lewat telepon, Selasa (22/1).

Tags: