Tukang Gigi Uji UU Praktik Kedokteran
Berita

Tukang Gigi Uji UU Praktik Kedokteran

Majelis panel menyarankan pemohon agar pasal batu uji tidak perlu banyak, tetapi yang terpenting tepat.

Ash
Bacaan 2 Menit
MK akan uji Undang-Undang No.  29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: Sgp
MK akan uji Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: Sgp

Pengurus Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan H. Hamdani Prayogo (tukang gigi) memohon pengujian pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 Undang-Undang No.  29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Mereka merasa dirugikan atas berlakunya kedua pasal yang mengatur larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang melakukan praktik seolah-olah seperti dokter atau dokter gigi.

“Norma kedua pasal itu bersifat multitafsir, tidak jelas dan tegas, bisa diartikan sangat luas. Jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan atau kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah melakukan praktik kedokteran,” kata hukum pemohon, A Wirawan Adnan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Kamis (10/5).

Selengkapnya, pasal 73 ayat (2) menyatakan, ”Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau izin praktek.”   

Pasal 78 merumuskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta rupiah.”

Adnan menilai frasa “setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain” bisa diartikan sama/mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut patah tulang, tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik, penjual jamu, dukun beranak. Semuanya dilarang karena dianggap menggunakan alat atau metode yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter.

Sebagai tindak lanjut atas pasal tersebut, Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 1871/Menkes/Per/X/2011 tentang Pencabutan Permenkes No. 339/Menkes/Per/V/1989 yang membolehkan pekerjaan profesi tukang gigi. Pemohon menilai berlakunya pasal Undang-Undang tidak hanya mengancam tukang gigi yang mencapai 75 ribu orang, juga mengancam profesi lain yang sejenis.

“Pasal itu jelas-jelas melanggar hak konstitusional tukang gigi yang jumlah 75.000 orang sebagai tumpuan hidup keluarga seperti dijamin Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,” katanya.

Adnan mengatakan apabila hanya tukang gigi yang dilarang untuk melakukan pekerjaannya, sementara profesi yang sejenis tetap dapat menjalankan profesi, hal ini bersifat diskriminatif. Hal melanggar juga melanggar pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Jika pekerjaan tukang gigi ini lebih menekankan perhiasan atau bersifat assesoris seperti penggunaan gigi palsu atau behel (kawat gigi) dilarang, hal ini bentuk perampasan rejeki,” tambahnya.

Karena itu, pemohon meminta MK agar pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Atau, pasal 73 ayat (2) dan 78 itu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali sepanjang dimaknai alat, metode, atau cara lain tersebut bersifat tradisional, atau diakui secara turun-temurun, dan atau telah lazim diterima secara umum, bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi,” tuntutnya.

Anggota majelis panel hakim, Akil Mochtar mempertanyakan batu uji pasal yang dimohonkan, yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, sedangkan Pasal 28I ayat (1) hak hidup.

“Pasal batu uji itu tidak terkait dengan hak pekerjaan tukang gigi. Pasal batu uji itu tidak perlu banyak-banyak, yang penting tepat. Menurut saya yang paling fundamental pasal hak bekerja dan memperoleh penghasilan,” saran Akil. “Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 soal diskrimasi juga apa cocok? karena diskriminasi tidak berkaitan dengan materi permohonan Saudara.”

Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon agar lebih fokus pada hak profesi tukang gigi saja dalam permohonannya. ”Jangan melebar ke tukang pijat dan profesi lainnya. Anda fokus pada tukang gigi saja,” sarannya.

Majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan.

Tags: