Tujuh Langkah Atasi Dampak Impor Limbah
Berita

Tujuh Langkah Atasi Dampak Impor Limbah

Presiden Jokowi diminta memerintahkan jajarannya untuk melakukan investigasi terhadap kasus impor limbah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tumpukan limbah sampah di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi tumpukan limbah sampah di Jakarta. Foto: RES

Pengelolaan impor limbah di Indonesia dianggap mengkhawatirkan dan tidak terkendali. Masalah impor limbah ini hanya dapat diselesaikan pemerintah, misalnya mengekspor kembali sampah ilegal yang ada di Indonesia ke negara pengirim. Ke depan, pemerintah juga perlu menerbitkan kebijakan yang melarang impor limbah (sampah) seperti yang dilakukan Cina.

 

Demikian pandangan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mengawasi perdagangan limbah, seperti Basel Action Network (BAN), Ecoton, Walhi, dan nexus3. Organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu lingkungan hidup itu menyoroti pengiriman limbah ilegal dan terkontamintasi yang berlabuh di Indonesia.

 

Menyikapi persoalan itu, pemerintah berjanji untuk mengirim kembali limbah tersebut ke negara pengirim, seperti Amerika Serikat. Tapi faktanya pengiriman limbah ilegal itu dialihkan ke India, Vietnam, Thailand, Meksiko, Belanda, Kanada, dan Korea Selatan. Baca Juga: Pemerintah Diminta Perketat Impor Sampah Plastik

 

Wakil Ketua Nexus3 Yuyun Ismawati Drwiega menilai pemerintah seharusnya mengendalikan secara ketat ekspor ulang limbah ilegal sebagaimana mandat konvensi Basel. “Kenyataannya pemerintah tak hanya melanggar janji untuk mengembalikan limbah itu ke negara asal, tapi juga gagal memberi tahu negara penerima atau gagal memastikan peti kemas berisi limbah yang dikirim ke negara yang menjadi tujuan pengalihan itu akan dikelola dengan cara yang ramah lingkungan sebagaimana perintah konvensi Basel,” kata Yuyun ketika dikonfirmasi, Selasa (5/11/2019).

 

Ada 5 hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengekspor kembali limbah plastik ke negara penerima. Pertama, memberi tahu pemerintah negara penerima tentang pengiriman peti kemas yang direekspor termasuk gambaran tentang limbah yang terkontaminasi di dalamnya. Kedua, bekerja dengan negara asal untuk meminta mereka mengambil kembali limbah untuk diolah dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan, atau untuk memastikan pengelolaan tersebut di negara yang dialihkan.

 

Ketiga, menerima persetujuan dari negara pengimpor sebelum reekspor dilakukan. Keempat, memastikan di negara pengimpor, bahwa fasilitas penerima diketahui dan dikenal sebagai fasilitas daur ulang atau pembuangan yang berwawasan lingkungan. Kelima, secara pidana menuntut pihak yang terlibat dalam perdagangan limbah ini jika gerakan mereka dan pengelolaan akhir, tidak sesuai dengan kewajiban Konvensi.

 

Direktur BAN Jim Puckett mengatakan tanpa melibatkan negara asal (pengirim limbah) dengan benar atau mengambil langkah menuntut para pihak yang melanggar konvensi Basel, maka tindakan kriminal ini terus berlanjut. Bahkan jika tidak ada penegakan hukum yang tegas akan banyak peti kemas berisi limbah yang berdatangan untuk mencemari Indonesia.

 

Invasi limbah ke Indonesia dimulai setelah Cina melarang impor hampir semua limbah dua tahun lalu. Solusi Cina untuk polusi kini menjadi mimpi buruk Indonesia,” ungkapnya.

 

Peneliti Ecoton Daru Setyo Rini memaparkan limbah yang dikirim ke Indonesia itu sampai ke berbagai daerah, sehingga menumpuk dan sebagian besar dibakar. Limbah yang berasal dari Amerika Serikat, Eropa, dan Australia itu sebagian berupa plastik, kertas, dan elektronik. "Cina melarang barang-barang ini karena suatu alasan. Kita seharusnya melakukan hal yang sama,” usulnya.

 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan investigasi terhadap praktik impor limbah. "Kami menyerukan kepada Presiden untuk mencabut izin pencemar dan memberlakukan larangan total impor limbah,” tegasnya.

 

Dalam mengurai persoalan impor limbah ini, Koalisi merekomendasikan pemerintah untuk melakukan 7 hal. Pertama, segera memastikan limbah impor ilegal yang sudah dikirim ke Indonesia dikirim kembali ke negara asal sesuai dengan aturan konvensi Basel. Kedua, mengadopsi pembatasan impor yang sama seperti Cina untuk memastikan Indonesia tidak dilihat sebagai tempat sampah global baru.

 

Ketiga, pengiriman yang dialihkan melanggar perintah pemerintah dan ilegal serta dapat dikatakan sebagai penipuan. Tindakan tersebut harus dibawa ke pengadilan dan dikomunikasikan kepada negara-negara yang menjadi korban. Keempat, pemerintah harus meminta surat pengiriman asli yang menyertai pengiriman nomor kontainer tersebut (Bill of Ladings). Dokumen ini dapat diperoleh dari jalur pelayaran yang terlibat ataupun dari perusahaan yang melakukan reekspor.

 

Kelima, dokumen notififikasi dan tagihan muatan ekspor ulang perlu diumumkan kepada publik untuk memastikan transparansi. Keenam, otoritas berkompeten di negara asal (Konvensi Basel atau yang setara) serta masyarakat umum (diunggah di laman) perlu diinformasikan pada saat ekspor nomor peti kemas, kapal, dan rute, serta jadwal kedatangan (Estimated Time Arrival/ETA) pengembalian peti kemas.

 

Ketujuh, komite pemantau independen harus segera dibentuk untuk memastikan impor/ekspor limbah dan reekspor mematuhi semua peraturan dan perintah pemerintah.

 

Seperti diketahui, impor sampah plastik tengah menjadi sorotan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Baru-baru ini, pemerintah menemukan setidaknya 16 kontainer barang impor yang memuat sampah plastik di Surabaya dan Batam. Karena itu, pemerintah berencana melakukan kebijakan reekspor atau pengembalian sampah plastik ke negara-negara pengirim.

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK), Siti Nurbaya menegaskan pihaknya akan menindak tegas impor sampah plastik ilegal tersebut sekaligus menetapkan sanksi bagi pelanggarnya. "Sampah yang masuk ke Indonesia, yang ada plastik itu, pasti tidak legal. Pada dasarnya ketentuannya ada, oleh karena itu kita akan melakukan reekspor," kata Siti di Jakarta, Senin (10/6/2019) lalu.

 

Bahkan, Siti menyatakan masuknya sampah-sampah plastik secara ilegal ke Indonesia sebenarnya bukan baru pertama terjadi. Sebelumnya, Indonesia juga sempat melakukan reekspor puluhan kontainer pada 2015-2016. "Langkah-langkahnya (reekspor) sudah bisa dilakukan. Hari ini akan dirapatkan di tingkat Dirjen. Pasti kita akan rapat dengan Bea Cukai, Menko Ekuin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan (Menteri) Perdagangan," ujarnya.

 

Banjirnya produk sampah plastik ini juga terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018. Data menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen atau menjadi 283.152 ton. Jumlah itu merupakan puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir. Padahal, impor sampah plastik Indonesia sekitar 124.433 ton pada 2013. Selain itu, peningkatan impor sampah plastik ini tidak diikuti dengan ekspor yang justru menurun 48 persen menjadi 98.450 ton pada 2018.

Tags:

Berita Terkait