Tugas LPSK Bertambah untuk Lindungi Wartawan
Berita

Tugas LPSK Bertambah untuk Lindungi Wartawan

LPSK akan bentuk pedoman pemberitaan media yang melindungi saksi dan korban.

INU
Bacaan 2 Menit
Tugas LPSK Bertambah untuk Lindungi Wartawan
Hukumonline

Dalam waktu dekat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan menandatangani naskah saling kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pers. MoU itu menjadi dasar bagi LPSK guna melindungi jurnalis.

“Kami rencanakan akhir Oktober tahun ini,” tutur anggota Dewan Pers, Yoseph Ardi Prasetyo dalam acara sosialisasi LPSK di Jakarta, Jumat (18/10).

Melalui MoU ini, lanjut Stanley, begitu pria ini biasa disapa, Dewan Pers meminta LPSK melindungi jurnalis terkait tugas-tugasnya. Terutama jika jurnalis diancam oleh pihak-pihak yang merasa terganggu pemberitaan media.

Selama ini, perlindungan terhadap jurnalis dilakukan oleh Dewan Pers berdasarkan UU No.40 Tahun 1999. Namun, makin banyaknya ancaman pada jurnalis karena pekerjaannya, apalagi jika pemberitaan itu menguraikan tindak pidana. Sehingga Dewan Pers memandang perlu untuk bekerjasama dengan lembaga yang menjalankan undang-undang untuk melindungi saksi maupun korban.

Dia berharap pula pada jurnalis agar dalam melaksanakan tugasnya menggunakan common sense. Tidak hanya menafsirkan ketentuan secara mentah. Hal ini diperlukan agar kepentingan saksi dan korban sebagai narasumber juga dilindungi. Karena peran saksi dan korban penting untuk mengungkap kasus kejahatan.

Semisal wartawan wajib mengungkap kebenaran. Tapi, dengan membuka identitas narasumber karena keharusan memberitakan hal yang benar, keselamatan saksi maupun korban diabaikan. Ada kebenaran kecil dan besar, jurnalis wilayahnya hanya yang kecil sedangkan di pengadilan untuk ungkap kebenaran besar, ungkapnya.

Tindak lanjut dari MoU ini, urai Stanley, LPSK akan membuat pedoman bagi jurnalis tentang pemberitaan berprespektif perlindungan saksi dan korban. Pedoman itu menjadi sarana bagi LPSK untuk mengawasi apakah pemberitaan media sudah memiliki prinsip perlindungan saksi dan korban seperti diamanatkan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Humas LPSK, Maharani Siti Sophia pada kesempatan sama menjamin, pedoman ini bukan alat sensor baru bagi media massa. “Sama seperti Dewan Pers bukan untuk menghukum tapi membina jurnalis. Karena peran jurnalis dinilai penting untuk pengungkapan tindak pidana,” katanya.

Maharani sampaikan, organisasi pers dilibatkan untuk meberikan masukan akan pedoman ini. Menurutnya, pedoman akan melengkapi Kode Etik Jurnalistik dan UU 40 Tahun 1999 yang sudah ada. Seperti Pasal 7 KEJ, Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya.

Lalu pada Pasal 6 UU Pers, memuat pers nasional melaksanakan peranannya sebagai memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM. Serta mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Kemudian melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, juga memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), sejak Januari hingga Mei 2013, terjadi sedikitnya 25 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena negara terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya.

Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996.

Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997) dan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999).

Juga ada Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003) dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006).

Sementara Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Tags:

Berita Terkait