Tudingan Nazaruddin Mirip Kriminalisasi Bibit-Chandra
Utama

Tudingan Nazaruddin Mirip Kriminalisasi Bibit-Chandra

Sejak kasus Nazaruddin terendus KPK akhir 2010, Chandra menghentikan hubungannya dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Tudingan Nazaruddin mirip kriminalisasi Bibit-Chandra. Foto: SGP
Tudingan Nazaruddin mirip kriminalisasi Bibit-Chandra. Foto: SGP

Setelah beberapa lama bungkam, akhirnya Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah buka suara. Ia membantah tudingan Nazaruddin bahwa dirinya telah menerima uang dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu. Ia pun menantang tersangka suap Sesmenpora itu untuk membuktikan tuduhannya.

 

“Silakan dibuktikan kalau saya pernah menerima uang. Selama di KPK saya hanya makan gaji dari KPK saja. Bahwa saya tidak bisa dibeli dan tidak akan bisa dibeli dengan uang untuk perdagangkan kasus,” kata Chandra di kantornya, Jumat (23/9).

 

Chandra mengatakan pola tudingan Nazaruddin mirip dengan upaya kriminalisasi terhadap dirinya dan Wakil Ketua KPK lainnya Bibit S Rianto pada akhir 2009 lalu. Terlebih tudingan-tudingan mengenai penerimaan uang serta terdapatnya rekaman Closed Circuit Television (CCTV). “Tuduhan saya terima uang itu fitnah yang terulang kembali, ingat kasus kriminalisasi saya, lihat polanya,” katanya.

 

Meski begitu, ia mengakui pernah empat kali bertemu dengan Nazaruddin. Tapi, pertemuan tersebut sebelum KPK mengendus dugaan keterlibatan Nazaruddin dalam kasus yang diselidiki KPK. Menurut Chandra, kasus yang melibatkan Nazaruddin pertama kali tercium pihaknya pada 14 Desember 2010.

 

Penciuman KPK itu terlihat dari ekspos pertama kali yang dilakukan pihaknya. Yakni, dalam kasus korupsi PLTS di Kemenakertrans. Sebelum naik ke tahap penyidikan, KPK melihat ada nama Nazaruddin sebagai pemilik PT Mahkota Negara. “Ekspose pertama ini menjadi titik awal penyidikan,” ujar Chandra.

 

Mengenai pertemuan dengan Nazaruddin pertama kali, lanjut Chandra, terjadi pada tahun 2008. Saat itu, ia dikenalkan Nazar dengan politikus Partai Demokrat Saan Mustopa. Ia mengaku kenal Saan saat masih menjadi aktivis mahasiswa sekitar tahun 1980-an. Menurutnya, pertemuan pertama kali tersebut terjadi karena undangan Saan. Selain Nazaruddin, dalam pertemuan tersebut juga ada Anas Urbaningrum.

 

Pertemuan kedua, lanjut Chandra, juga karena undangan Saan. Pertemuan yang terjadi pada tahun 2009 itu berlangsung di sebuah kafe di Jakarta. Sama dengan pertemuan yang pertama Saan yang berinisiatif menghubungi dirinya. Pertemuan juga dihadiri dengan Nazaruddin dan Anas. “(Pertemuan) lebih nostalgia,” katanya.

 

Untuk pertemuan ketiga, terjadi di rumah Nazaruddin. Chandra mengaku, Nazaruddin menghubunginya melalui Blackberry Messenger (BBM). Saat itu Nazaruddin mengatakan bahwa Ketua Komisi III DPR Benny K Harman ingin bertemu dirinya. Saat bertemu, Benny ingin mendengar langsung persoalan kriminalisasi dirinya dengan Bibit Samad Rianto. “Pada pertemuan ini saya ceritakan ke Benny soal kriminalisasi yang saya alami.”

 

Pertemuan keempat terjadi usai Lebaran 2010. Sama dengan pertemuan sebelumnya, Nazaruddin yang menghubungi Chandra dengan mengatakan Benny ingin bertemu. Pembicaraan dalam pertemuan itu bersifat umum. “Suasana lebaran sekaligus silaturahmi ada undangan dari Benny Komisi III. Pembicaraan umum soal pemberantasan korupsi, tidak ada yang spesial,” katanya.

 

Chandra mengaku usai pertemuan keempat itu dirinya melaporkan ke salah satu pimpinan KPK. Tak lama setelah pertemuan keempat, dirinya pun menghentikan hubungan dengan Nazaruddin. Hal ini dikarenakan adanya indikasi bahwa Nazar terlibat dalam kasus yang tengah diselidiki KPK.

 

“Lalu Nazar kirim BBM beberapa kali setelah ini (pertemuan keempat) dan tidak saya jawab karena sudah teridentifikasi keterlibatan Nazar dalam kasus (PLTS Kemenakertrans) yang saya tangani.”

 

Seperti diketahui, beberapa kali Nazaruddin mengatakan bahwa Chandra telah menerima uang darinya. Pemberian uang tersebut berkaitan dengan pengurusan perkara yang tengah diintai KPK. Yakni pengadaan baju hansip dan e-KTP. “Proyeknya Rp7 triliun, dan proyek itu sempat disupervisi KPK,” ujar Nazaruddin. Mengenai dua kasus yang disebutkan Nazaruddin, Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi menegaskan di KPK tak pernah ada surat perintah penyelidikannya.

Tags: