Tuangkan Semua Kesepakatan Kerja Dalam Satu Dokumen
Berita

Tuangkan Semua Kesepakatan Kerja Dalam Satu Dokumen

Jika berada dalam satu dokumen, akan lebih memudahkan para pelaku hubungan industrial. Selain itu, agar tidak ada pertentangan antara kesepakatan yang satu dengan kesepakatan yang lain.

IHW
Bacaan 2 Menit
Tuangkan Semua Kesepakatan Kerja Dalam Satu Dokumen
Hukumonline

Jika anda adalah pengurus serikat pekerja yang sedang merundingkan perjanjian kerja bersama (PKB) dengan pihak pengusaha, pastikan bahwa semua kesepakatan yang anda capai tertuang dalam PKB itu saja. Jangan tuangkan kesepakatan itu di dalam beberapa dokumen lain.

 

Mohammad Mustaqim, pengamat hubungan industrial mengemukakan, pada dasarnya terdapat dua norma dalam ketentuan hubungan industrial. Norma makro minimal dan norma mikro kondisional, kata Mustaqim, yang juga pengajar mata kuliah Hubungan Industrial di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, via telepon, Rabu (3/9).

 

Norma makro minimal, lanjut Mustaqim, adalah ketentuan normatif yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Makro minimal ini adalah Undang-undang Ketenagakerjaan dan peraturan pemerintah turunannya.

 

Sementara norma mikro kondisional biasanya tertuang dalam peraturan yang lebih teknis yang tercipta dalam hubungan kerja. Secara umum, norma mikro kondisional ini diatur dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama. Tiga jenis ketentuan itu, bisa kita sebut sebagai mikro kondisional umum.

 

Dalam konteks hukum perburuhan, norma makro minimal itu sering disebut dengan peraturan yang bersifat heteronom. Sedangkan ketentuan mikro kondisional lazim dikenal dengan peraturan otonom. Widodo Suryandono, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia pernah menyebutkan kalau peraturan otonom tidak boleh menyimpang dari ketentuan heteronom. Alasannya, secara filosofis ketentuan heteronom adalah bentuk 'intervensi' pemerintah untuk melindungi buruh.

 

Pada praktiknya, norma mikro kondisional itu hanya tertuang dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) dan PKB. Namun tak jarang juga para pelaku hubungan industrial menuangkan norma mikro kondisional itu ke dalam bentuk lain. Suatu peraturan yang berlaku di perusahaan di luar PK, PP dan PKB, termasuk juga ke dalam mikro kondisional, jelas Mustaqim.

 

Sebagai contoh Mustaqim menyebut code of conduct atau kode etik yang berlaku di suatu perusahaan. Kode etik ini juga masuk ke dalam mikro kondisional yang sifatnya khusus karena tidak semua perusahaan memilikinya.

 

Ketentuan mikro kondisional yang khusus ini, masih menurut Mustaqim, tidak perlu didaftarkan ke Depnakertrans terlebih dulu layaknya PP, PK dan PKB. Tapi kedudukannya sama dengan PP, PK dan PKB itu. Syarat materilnya juga sama. Tidak boleh bertentangan dengan makro minimal.

 

Lebih jauh Mustaqim menjelaskan kalau sebaiknya ketentuan mikro kondisional tidak tersebar ke dalam beberapa dokumen. Lebih baik di satu tempat saja lah, cetusnya. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan para pelaku hubungan industrial. Selain itu untuk menghindari adanya beda penafsiran atas satu mikro kondisional dengan mikro kondisional yang lain.

 

Kasus Bank Mandiri

Kekhawatiran Mustaqim tentang tidak dituangkannya mikro kondisional ke dalam satu dokumen saja terjadi dalam perkara PT Bank Mandiri Tbk melawan Budi Priyanggodo di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

 

Budi adalah pengurus Serikat Pegawai Bank Mandiri (SPBM) dengan jabatan Koordinator Bidang Kesejahteraan. Bank Mandiri menjatuhkan sanksi PHK kepada Budi karena dianggap aktif menyelenggarakan aksi unjuk rasa pada hari libur kerja di bulan Agustus 2007. Budi tidak sendiri. Ada Mirisnu Viddiana (Ketua SPBM) dan beberapa orang pengurus SPBM lain yang juga di-PHK.

 

Pada persidangan yang digelar Selasa (2/9) lalu, kuasa hukum Budi menghadirkan Mirisnu Viddiana sebagai saksi. Di dalam persidangan, Viddi –demikian Mirisnu Viddiana disapa–menuturkan bahwa pilihan unjuk rasa untuk menuntut kesejahteraan diambil setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas SPBM. Kalau Dewan Pengawas tidak mengizinkan, maka unjuk rasa itu tidak akan terwujud. Jadi bukan karena pengaruh saudara Budi ini. Saya saja yang ketua SPBM tidak bisa memutuskan tanpa persetujuan Dewan Pengawas, apalagi saudara Budi, papar Viddi.

 

Pihak Bank Mandiri sendiri tampaknya tidak terlalu peduli tentang siapa yang berhak mengambil keputusan di SPBM. Buktinya, tidak ada anggota Dewan Pengawas yang dijatuhkan sanksi serupa. Bank BUMN ini hanya menyesalkan mengenai bentuk pilihan tindakan yang diambil SPBM dalam menuntut haknya.

 

Di persidangan kuasa hukum Bank Mandiri berulang kali menegaskan, berdasarkan ketentuan di dalam PKB, jika ada perselisihan antara pekerja dengan manajemen, maka akan diselesaikan dengan peraturan yang berlaku. Ia menafsirkan frasa 'peraturan yang berlaku' hanyalah kepada UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI dan UU Ketenagakerjaan. Kalau mengacu ke dalam undang-undang itu, maka penyelesaian perselisihan hanya bisa ditempuh lewat mekanisme bipartit, mogok kerja, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan atau berujung ke PHI.

 

Bagi Bank Mandiri, pilihan SPBM untuk berunjuk rasa ke beberapa instansi pemerintahan, tidak sesuai dengan undang-undang. Dengan sendirinya, Bank Mandiri menilai SPBM telah melanggar ketentuan PKB.

 

Viddi tidak tinggal diam mendengar argumentasi Bank Mandiri. Ia menceritakan bahwa dirinya bersama dengan Budi dan beberapa koleganya adalah sebagai tim perunding penyusun PKB. Lebih lanjut ia menuturkan, saat perundingan PKB berlangsung sebenarnya ada beberapa kesepakatan. Kesepakatan antara SPBM dan manajemen itu ada yang dituangkan ke dalam PKB, dan ada juga yang di tempat lain. Kesepakatan yang tidak tertuang di dalam PKB itu, kita masukkan ke dalam gentlemen's agreement yang juga tertulis, tukas Viddi.

 

Di dalam gentlemen's agreement itu, kata Viddi, disebutkan mengenai upaya SPBM untuk memperjuangkan haknya. SPBM dibolehkan untuk melakukan mogok kerja dan upaya lain yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Nah ketentuan ini cuma ada di gentlemen's agreement, tidak di PKB. Waktu itu pihak manajemen berdalih kalau masalah mogok kerja dan upaya lain ini kan sudah diatur dalam undang-undang, jadi tidak perlu dimasukkan ke PKB. Kita waktu itu berprasangka baik saja dan mengikuti kemauan manajemen, Viddi bercerita.

 

Berbekal gentlemen's agreement itu, SPBM pun menganggap unjuk rasa bisa saja dilakukan sepanjang tidak melanggar undang-undang. Makanya kami memberitahukan Polda Metro Jaya terlebih dulu tentang rencana aksi unjuk rasa kami ini.

 

Terhadap perkara ini, Mustaqim angkat bicara. Menurutnya, pilihan berunjuk rasa maupun mogok kerja adalah hak buruh. Sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Kalau demo misalnya, ya harus melapor ke pihak berwajib terlebih dulu, imbuhnya. Jika unjuk rasa atau mogok kerja dilakukan secara sah menurut hukum, maka Mustaqim menegaskan, perusahaan tidak boleh membalasnya dengan sanksi PHK.

Tags: