Tren Peningkatan Jumlah Konten Hoaks Jelang Pencoblosan Pada 17 April
Berita

Tren Peningkatan Jumlah Konten Hoaks Jelang Pencoblosan Pada 17 April

Dari 453 hoaks, terdapat 130 hoaks politik yang antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, menjelang hari pencoblosan 17 April 2019, jumlah hoaks, kabar bohong, berita palsu dan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat terus meningkat.

 

“Di bulan Agustus 2018 hanya 25 informasi hoaks yang diidentifikasi,  September 2018 naik menjadi 27 hoaks, sementara pada Oktober dan November 2018 masing-masing di angka 53 dan 63 hoaks. Di bulan Desember 2018, jumlah info hoaks terus naik di angka 75 konten,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, dalam siaran persnya yang dirilis Senin (1/4).

 

Peningkatan jumlah konten hoaks sangat signifikan, menurut Ferdinandus, terjadi pada bulan Januari dan Februari 2019. Sebanyak 175 konten hoaks yang berhasil diverifikasi oleh Tim AIS Kementerian Kominfo. “Angka itu naik dua kali lipat di Februari 2019 menjadi 353 konten hoaks. Angka tersebut menjadi 453 konten hoaks selama Maret 2019,” ujarnya.

 

Menurut Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo itu, dari jumlah 453 hoaks yang diidentifikasi selama Maret 2019 tersebut, selain terkait isu politik, juga menyasar isu kesehatan, pemerintahan, hoaks berisikan fitnah terhadap individu tertentu, terkait kejahatan, isu agama, internasional, mengarah ke penipuan dan perdagangan serta isu pendidikan.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kominfo

 

“Dari 453 hoaks tersebut, terdapat 130 hoaks politik. Sehingga total hoaks politik yang diidentifikasi dan diverifikasi oleh Kementerian Kominfo menjadi 311 hoaks. Hoaks politik antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu,” ungkap Ferdinandus.

 

(Baca Juga: Daftar Konten Hoax yang Curi Perhatian Publik di 2018)

 

Ia menyebutkan, Tim AIS Kemkominfo dibentuk oleh Menteri Kominfo Rudiantara pada Januari 2018 untuk melakukan pengaisan, verifikasi dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di cyber space Indonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian, maupun konten negatif lainnya. Saat ini Tim AIS berjumlah 100 personil didukung oleh mesin AIS yang bekerja 24 jam, 7 hari seminggu tanpa henti.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kominfo

 

“Kementerian Kominfo mengimbau warganet yang menerima informasi elektronik yang patut diduga diragukan kebenarannya dapat menyampaikan kepada kanal pengaduan konten melalui email: [email protected] atau akun twitter @aduankonten,” tukas Ferdinandus.

 

Sebelumnya Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menyatakan bahwa beragam bentuk percakapan di media sosial yang dilakukan oleh pribadi, bukan tim atau calon atau akun resmi calon, tetap diperbolehkan. "Kalau percakapan bentuk daripada kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang dasar. Jadi yang batasi sekarang adalah iklan," kata Semuel pada Senin (25/3).  

 

Dirjen Aptika menjelaskan bahwa Kementerian Kominfo tidak akan melakukan penutupan media sosial. Hal itu disampaikan sebagai klarifikasi atas hoaks yang beredar mengenai penutupan media sosial selama masa tenang. "Kalau ada hoaks tentang Kominfo akan menutup sosial media 3 hari selama masa tenang itu saya pastikan hoaks-nya kebangetan," tutur Dirjen Aptika.  

 

Pelarangan dan pembatasan, menurut Dirjen Aptika juga berlangsung di dunia nyata dan media massa umumya.  "Tidak mungkin kita menutup yang namanya sosial media apalagi hanya karena masa tenang tentu tidak. Pembatasan iklan karena di dunia nyata juga dibatasi yang namanya iklan di TV, iklan di koran, jadi platform digital pun diatur," jelas Semuel.  

 

Dirjen Aptika menunjukkan komitmen Kementerian Kominfo untuk melindungi kebebasan masyarakat dalam berpendapat. "Untuk masyarakat kebebasannya dilindungi tapi kalau masyarakatnya pasang iklan nah yang berbayar itu yang dilarang,” ungkapnya. 

 

Menurut Dirjen Aptika, dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak, Kementerian Kominfo bukan yang berada di depan. "Kami adalah teknisnya, tentang konten umpamanya, konten-konten yang kami temukan sebelumnya itu ada 1.756, itu setelah dilakukan screening oleh KPU hanya 10%, itu yang kita tindaklanjuti, yang kita lakukan take down atau pemblokiran," jelas Semuel.  

 

Kementerian Kominfo menunggu verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasn Pemilihan Umum (Bawaslu). "Jadi sekali lagi kami tidak dalam posisi yang menentukan secara independen. Jadi laporan itu langsung ada yang dari masyarakat dan juga mesin pengais kami, kita kasih lagi kepada KPU dan Bawaslu untuk dilakukan verifikasi benar nggak ini melanggar," tegasnya.

 

Tags:

Berita Terkait