Transparansi Sidang HUM, Ekspektasi yang Berujung Uji Materi
Fokus

Transparansi Sidang HUM, Ekspektasi yang Berujung Uji Materi

Advokat mempersoalkan ketertutupan proses pemeriksaan sidang uji materi di Mahkamah Agung. Aktivis buruh sudah pernah melakukan hal serupa. Pasca putusan atas Peraturan KPU, harapan atas keterbukaan kembali mencuat.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Muara dari perdebatan para ahli di sidang Mahkamah Konstitusi dinilai oleh majelis hakim konstitusi. Jika penilaian hakim menjadi kunci dari putusan yang dikeluarkan,  tidak salah jika Mahkamah Agung menyederhanakan proses panjang yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang selama ini sudah berlaku di Mahkamah Agung. “Itu sangat tidak efisien karena pada akhirnya yang akan menilai adalah para hakim karena segala argumentasi (ahli) itu opini,” lanjut Arsil.

Dalam memutus suatu perkara yang sedang ditangani, hakim berada dalam independensinya. Debat ahli yang dihadirkan dalam forum persidangan berpotensi mengarahkan opini hakim dalam melihat persoalan diluar ketentuan perundang-undangan. “Kalau mendatangkan ahli ini ahli itu, yang ada nanti bukan lagi persidangan hukum tapi suara mayoritas dan itu yang mau dihindari oleh pengadilan. Bukan suara mayoritas, hukum ada ukuran-ukurannya”.

Terkait ukuran ini, Komisi Yudisial menggarisbawahi esensi putusan hakim. Putusan sebagai mahkota hakim merupakan cermin dari profesionalitas dan integritas hakim. Lebih jauh, bahkan setiap putusan hakim kerap diasosiasikan dengan nilai-nilai dan cara berfikir hakim. “Melalui putusannya, seorang hakim bisa dinilai apakah berpikir positivis atau ikut juga menggali konten lain di luar aturan hukum positif,” terang juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi.

(Baca juga: Walau Ada Peluang, Sidang HUM Terbuka Sulit Diwujudkan).

Ketentuan pada Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebuah pertimbangan hukum dalam putusan hakim harus memuat “Alasan dan dasar hukum baik yang bersumber dari hukum positif maupun hukum tidak tertulis”. Makna dari hukum tidak tertulis di sini, sejalan dengan makna nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sekaligus kondisi yang secara sosiologis terjadi pada sebuah ruang dan waktu. Dalam  konteks Peraturan KPU ini, dorongan menghadirkan pemilu yang bersih menjadi satu hal yang juga mesti diperhatikan hakim.

Namun, bukan sikap yang tepat jika memfonis "benar atau salah," tentang putusan yang sudah diambil Mahkamah Agung dalam perkara ini. Hal yang perlu dibangun adalah bagaimana menghadirkan wajah dunia peradilan yang di saat bersamaan melihat kepada aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Menurut Farid, semangat larangan bagi terpidana korupsi untuk menjadi anggota legislatif adalah hal positif. Ini bisa dipandang sebagai upaya KPU mengahadirkan pemilu yang bersih. Namun di saat yang sama, putusan Mahkamah Agung mesti dipandang sebagai koreksi bagi mekanisme yang digunakan KPU.

Lepas dari putusan atas Peraturan KPU, diskursus yang perlu dikembangkan para pembentuk Undang-Undang, termasuk Mahkamah Agung, adalah menimbang untung rugi proses persidangan uji materi di Mahkamah Agung. Apakah jika dibuka lebih menguntungkan, atau sebaliknya jika tak dibuka seperti Mahkamah Konstitusi, tetap ada proses memberikan kesempatan yang sama kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Mahkamah Agung, dalam keterangannya, saat buruh menguji pasal-pasal yang berkaitan dengan HUM ke Mahkamah Konstitusi, beralasan bahwa pemeriksaan uji materi itu lebih bersifat administratif. Pertimbangan hakim lebih kepada materi perundang-undangan dan referensi. Mahkamah Agung sendiri sudah menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Tags:

Berita Terkait