Keluhan terhadap layanan moda transportasi publik Transjakarta semakin menggunung. Kelompok penyandang cacat, dikenal dengan sebutan difabel, ikut mengeluhkan tidak ramahnya moda tersebut untuk mereka gunakan.
Jaka Ahmad, seorang penyandang tuna netra, mengatakan banyak layanan Transjakarta yang makin lama makin menyulitkan kaum difabel.
Meski mengapresiasi adanya keistimewaan bagi penyandang cacat untuk masuk dan mendapat tempat duduk di dalam bus Transjakarta, Jaka mengatakan pelayanan itu masih sangat minimal. Kebutuhan pelayanan lain masih sangat kurang dan hal itu menyulitkan orang-orang sepertinya. Ia mencontohkan, rekaman suara dan tampilan penunjuk halte di dalam bus transjakarta tidak lagi berfungsi.
“Mungkin hal ini persoalan sederhana bagi mereka yang memiliki kelengkapan indera. Namun bagi saya yang tidak bisa melihat, atau orang lain yang tuna rungu, rusaknya petunjuk halte itu sangat menyulitkan,” keluhnya dalam Dialog Publik Mendorong Transformasi dan Restrukturisasi Pengelolaan Transjakarta, di Hotel Ambhara, Jakarta, Kamis (12/5).
Hal lain, Jaka juga menyatakan kurangnya pemahaman petugas baik di halte maupun di bus Transjakarta tentang perlakuan terhadap kelompok difabel.
Keluhan Jaka ini disampaikan juga oleh Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Tulus, dari sisi infrastruktur transjakarta saat ini belum bisa memfasilitasi seorang difabel untuk menggunakan dengan nyaman.
Permasalahan ini bahkan bisa dilihat secara kasat mata. “Tidak perlu disurvei, lihat saja misalnya jembatan menuju halte transjakarta. Kebanyakan yang berupa tangga yang tidak didesain agar pengguna kursi roda bisa menggunakan,” katanya.