Transformasi BPJS Kedepankan Kesejahteraan Pekerja
Berita

Transformasi BPJS Kedepankan Kesejahteraan Pekerja

Manfaat jaminan sosial yang bakal diterima peserta tidak boleh berkurang dari sebelumnya.

IHW/Ant
Bacaan 2 Menit
Transformasi BPJS Kedepankan Kesejahteraan Pekerja
Hukumonline

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi masih melakukan pembahasan peraturan turunan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengggara Jaminan Sosial (BPJS) mengenai aspek peningkatan manfaat jaminan sosial bagi para peserta sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Muchtar Lutfie mengatakan dalam pembahasan peraturan pelaksanaan UU BPJS ini ada beberapa prinsip dasar yang menjadi patokan dan tak boleh dilanggar.

Prinsip-prinsip tersebut adalah manfaat jaminan sosial yang diterima peserta tidak boleh berkurang dari sebelumnya dan pelayanan jaminan sosial yang saat ini tengah berjalan tidak boleh berjalan atau berhenti.

Pembahasan peraturan pelaksanaan UU BPJS itu diperlukan sebagai payung hukum yang dibutuhkan dalam operasionalisasi BPJS ketenagakerjaan.

Pembahasan peraturan pelaksanaan tersebut akan menekankan aspek peningkatkan manfaat jaminan sosial bagi para peserta sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah menunjuk Muchtar Lutfie sebagai koordinator tim penyusunan peraturan pelaksanaan UU BPJS bidang ketenagakerjaan yang ditargetkan selesai pada 1 November 2013.

Muchtar mengatakan saat ini pemerintah di bawah koordinasi Menko Kesra terus melakukan pembahasan dan penyiapan secara intensif peraturan pelaksanaan UU BPJS dengan melibatkan para ahli dan pakar hukum serta kalangan akademisi.

"Saat ini aktuaris sedang menghitung dan membuat simulasi-simulasi nilai premi sekaligus manfaat dari program jaminan sosial yang diamanatkan undang-undang. Namun pada prinsipnya, peserta harus menikmati jaminan sosial yang lebih baik sehingga para pekerja bisa meningkat kesejahteraannya," kata Muchtar.

Tim penyusunan peraturan pelaksanaan UU BPJS bidang Ketenagakerjaan terdiri atas dua pokja (kelompok kerja) yaitu pokja pembiayaan, iuran dan manfaat yang dipimpin Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Kemnakertrans Muji Handaya. Dan pokja regulasi, transformasi kelembagaan dan program yang dipimpin Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemnakertrans R. Irianto Simbolon.

Tim penyusunan peraturan pelaksanaan UU BPJS bidang ketenagakerjaan saat ini tengah merancang secara intensif empat Peraturan Pemerintah (PP) dan tiga Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi peraturan pelaksanaan UU BPJS ini.

"Secara prinsip kita terus upayakan percepatan pembahasan namun tetap harus komprehensif. Pemerintah optimis dapat menjalankan dengan baik program kerja BPJS ketenagakerjaan yang akan mulai beroperasi paling lambat 1 Juli 2015," kata Muchtar menambahkan.

Kategori PBI
Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan hingga saat ini pemerintah belum memfinalkan regulasi operasional yang mengatur tentang jumlah kepesertaan dan nilai iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi rakyat fakir miskin.

Adanya beberapa lembaga yang mengusulkan nilai iuran PBI seperti Kemenkeu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hal ini memperjelas bahwa ada tarik-menarik kepentingan dalam menentukan nilai iuran PBI terkait dengan alokasi di APBN nantinya.

Kemenkeu yang mengusulkan nilai Rp10 ribu/orang/bulan sebagai anggaran PBI di APBN menunjukkan bahwa pemerintah ingin terus menekan alokasi APBN untuk kesehatan rakyat miskin. “Pemerintah SBY sangat pelit dan tidak punya kemauan politik untuk menyehatkan rakyat Indonesia,” kata Timboel lewat pesan pendek kepada hukumonline, Minggu (8/7). 

Sementara TNP2K mengusul angka Rp19 ribu/orang/bulan, DJSN mengusulkan angka Rp27 ribu/orang/bulan, dan IDI meminta iuran sebesar Rp41 ribu/orang/bulan. Terkait jumlah penerima PBI, DJSN sudah mengusulkan 89,4 juta jiwa, sementara Kemenkeu, TNP2K dan Kemenkes tetap di angka 76,4 juta jiwa.

“Kami meminta kepada Pemerintah untuk menghormati Pasal 7 ayat (3c) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yang menyatakan bahwa yang berwenang mengusulkan anggaran PBI (nilai iuran dan jumlah rakyat penerima PBI) adalah DJSN bukan lembaga seperti Kemenkeu, TNP2K ataupun IDI,” kata Timboel.

Terkait jumlah penerima PBI, lanjut Timboel, pemerintah diminta tidak memanipulasi data fakir miskin. “Faktanya jumlah fakir miskin jauh melebihi angka 76,4 juta jiwa bila menggunakan definisi Pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin. Kami meminta pemerintah konsisten menggunakan definisi di undang-undang tersebut.”

Tags: