Transformasi BPJS Harus Transparan
Berita

Transformasi BPJS Harus Transparan

Supaya proses transfromasi tidak merugikan peserta BPJS.

ADY
Bacaan 2 Menit
Transformasi BPJS Harus Transparan
Hukumonline
Beberapa hari menjelang bergulirnya BPJS, segala persiapan transformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS masih berproses. Dalam proses itu, presidium KAJS sekaligus koordinator bidang advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengingatkan agar transformasi dilakukan secara transparan dan mematuhi peraturan yang ada seperti UU SJSN dan BPJS. Jika proses transformasi itu dilakukan secara transparan maka masyarakat dapat memantau apakan ketentuan yang termaktub dalam UU SJSN dan BPJS dijalankan atau tidak.

Misalnya, Timboel melanjutkan, merujuk pasal 60 ayat (3b) UU BPJS seluruh pekerja PT Askes menjadi pekerja BPJS Kesehatan. Namun, Timboel melihat faktannya para petugas verifikator yang selama ini bekerja untuk PT Askes tidak secara otomatis menjadi pekerja BPJS Kesehatan. Menurutnya, PT Askes berdalih harus dilakukan proses seleksi ulang kepada para verifikator itu sebelum diangkat menjadi pekerja BPJS Kesehatan. Ujungnya, petugas verifikator yang tidak lulus tes tidak bisa menjadi pekerja BPJS Kesehatan. Padahal, para petugas verifikator itu sangat diperlukan BPJS Kesehatan.

Kemudian, Timboel mengingatkan PT Askes masih tersangkut masalah dalam hukum ketenagakerjaan. Yaitu perselisihan ketenagakerjaan antara PT Askes dan pekerjanya, Itop Reptianto. Dalam perkara tersebut Mahkamah Agung (MA) menghukum PT Askes untuk mempekerjakan kembali Itop. Namun, sampai sekarang putusan itu belum dipatuhi. Atas dasar itu Timboel mendesak agar PT Askes segera melaksanakan putusan tersebut sehingga BPJS Kesehatan tidak terbebani masalah ketenagakerjaan yang belum diselesaikan PT Askes.

“Seharusnya Direksi maupun Dewan Komisaris PT Askes saat ini lebih transparan dan mau mematuhi ketentuan Pasal 58 huruf (b) dan Pasal 60 ayat (3b) UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS sehingga permasalahan ketenagakerjaan ke depan tidak lagi menjadi masalah bagi BPJS Kesehatan,” kata Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (20/12).

Lalu, Timboel menandaskan, mengacu pasal 58 huruf (b) UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi harus menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Askes ke BPJS Kesehatan. Namun, dari pantauannya ketentuan itu belum dilaksanakan dengan baik. Sebab, selain prosesnya dirasa tidak transparan, Komisaris dan Direksi dianggap berusaha menjual aset PT Askes. Salah satunya PT InHealth. Bagi Timboel mestinya penjualan aset itu tidak dilakukan.

Timboel khawatir penjualan aset PT Askes itu akan merugikan BPJS Kesehatan. Apalagi jika dijual dengan harga murah, tidak mengacu harga pasar. Jika hal itu terjadi maka dapat mengurangi nilai aset BPJS Kesehatan. Untuk itu Timboel mengusulkan agar seluruh aset PT Askes tidak dijual, tapi dialihkan ke BPJS Kesehatan. Setelah itu, penjualan aset dapat dilakukan lewat keputusan Direksi dan Pengawas BPJS Kesehatan. “Seharusnya Direksi dan komisaris menyerahkan dulu seluruh aset kepada BPJS Kesehatan seperti amanat Pasal 58 huruf (b) tersebut,” urainya.

Selain itu Timboel menyoroti pembebanan pajak atas proses transformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS. Menurutnya, UU SJSN dan BPJS secara jelas menegaskan PT Askes dan Jamsostek bubar tanpa likuidasi. Sehingga seluruh aset dan kewajiban beralih ke BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Oleh karenanya proses itu tidak perlu dibebankan pajak peralihan nama karena PT Askes dan Jamsostek hanya bertransformasi ke BPJS. Serta menjalankan tugas dan fungsi yang sama. “Pengenaan pajak pada proses peralihan ini akan merugikan peserta karena biaya pajak tersebut sangat besar,” tandasnya.

Tak ketinggalan Timboel mengatakan proses transformasi BPJS akan terkendala karena peraturan pelaksana BPJS belum diterbitkan. Misalnya, gaji Direksi dan Dewan Pengawas BPJS harus ditetapkan oleh Peraturan Presiden (PP). Hal itu sebagaimana amanat pasal 44 ayat (8) UU BPJS. Bila PP tentang gaji itu belum diterbitkan sampai Januari 2014 maka Direksi dan Dewan Pengawas BPJS belum memliki upah atau gaji. “Pemerintah SBY harus secepatnya menyelesaikan seluruh regulasi operasional tersebut sehingga BPJS Kesehatan bisa berjalan di 1 Januari 2014 nanti,” tegasnya.

Terkait program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) PT Jamsostek yang dialihkan ke BPJS Kesehatan Timboel berpendapat hal itu tak luput dari kendala, khususnya operasional. Sebab, sejak November 2013 Timboel melihat PT Jamsostek tidak menerima peserta baru JPK. Alasannya, ada proses pengalihan JPK kepada PT Askes. Menurut Timboel hal itu mestinya tidak terjadi dan PT Jamsostek harus membuka pintu pendaftaran bagi peserta baru JPK. Sebab, mengacu pasal 57 huruf (d1) UU BPJS menyebut PT Jamsostek tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan JPK, termasuk menerima peserta baru sampai BPJS Kesehatan beroperasi.

Menanggapi hal tersebut Direktur Kepesertaan PT Jamsostek, Junaedi, secara singkat menjelaskan pada prinsipnya peserta baru JPK masih diterima sampai Desember 2013. Tapi karena program JPK harus dialihkan ke BPJS Kesehatan maka banyak calon peserta JPK yang menunda untuk mendaftar. Menurutnya, penundaan itu akan berakhir sampai peraturan pelaksana BPJS diterbitkan. “Sampai jelas RPP-nya,” ucapnya.

Sedangkan terkait proses transformasi BPJS, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Husni Situmorang, mengatakan dalam UU BPJS secara tegas dinyatakan PT Askes dan Jamsostek bubar tanpa likuidasi. Menurutnya, ketentuan itu menjelaskan bahwa PT Askes dan Jamsostek secara organisasi dibubarkan kemudian berubah status hukumnya. Tapi, hak dan kewajiban, aset dan liabilitasnya semua beralih ke BPJS.

Namun Chazali mengingatkan proses pembubaran PT Askes dan Jamsostek ke BPJS itu tidak mengacu UU Perseroan Terbatas. Sehingga pengalihan itu sifatnya memindahkan semua aset, resiko, termasuk untung dan rugi PT Askes dan Jamsostek ke BPJS. “Jadi pembubaran itu tidak seperti PT yang dilikuidasi lalu dihitung asetnya dan dikembalikan kepada owner-nya,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait