Tragedi Stadion Kanjuruhan, Pengamat: Diduga Ada Kelalaian Penyelenggara
Terbaru

Tragedi Stadion Kanjuruhan, Pengamat: Diduga Ada Kelalaian Penyelenggara

Adanya ancaman pidana bagi penyelenggara yang mengabaikan kewajiban memenuhi persyaratan teknis dan keselamatan, serta kesehatan sebagaimana diatur dalam UU Keolahragaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Aparat kepolisian tengah menembakkan gas air mata. Foto Ilustrasi: RES
Aparat kepolisian tengah menembakkan gas air mata. Foto Ilustrasi: RES

Pertandingan sepak bola antara Arema Malang melawan Persebaya pada Sabtu (1/10/2002) Stadion Kanjuruhan Malang berujung tragedi kemanusiaan yang menelan banyak korban. Penggunaan gas air mata dan pengendalian massa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya jatuh korban jiwa mencapai 130-an dan ratusan luka-luka. Terlebih, adanya duggaan kelalaian dan ketidakprofesionalan Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai penyelenggara soal penentuan waktu pertandingan.

“Kapolri harus ambil langkah cepat dan menyelesaikannya, karena hal ini akan kembali menguji kredibilitas Polri yang akan dipertanyakan kembali oleh publik,” ujar dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra melalui keterangannya, Senin (3/10/2022).

Menurutnya pelaksanaan penyelenggaran pertandingan haruslah sesuai amanah ketentuan UU No.11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Yakni penyelenggara wajib memenuhi ketentuan persyaratan tehnis keamanan dan keselamatan serta kesehatan. Namun sayangnya, penyelenggara tidak memenuhi kewajiban tersebut dapat mengakibatkan penyelenggara dipidana.

Baca Juga:

Pasal 52 UU 11/2022 menyebutkan “Penyelenggara kejuaraan Olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik”. Sedangkan Pasal 103 ayat (1) UU 11/2022 menyebutkan, “Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dia berpendapat penyelenggara dan pengelola patut diduga lalai dan tidak menyiapkan jalur evakuasi, pintu-pintu yang siap sedia dibuka, pengumuman pengeras suara yang terdengar seantera stadion untuk memandu evakuasi. Setidaknya, perintah keluar begitu polisi memberi tahu pihak pengelola stadion bakal ada tindakan menembakkan gas air mata ke tribun. Termasuk safety light yang dapat digunakan sebagai acuan upaya menuju pintu keluar yang dapat terlihat dari balik asap gas air mata.

Menurutnya, insiden yang memilukan persepakbolaan Indonesia itu membuktikan penyelenggara tidak memenuhi prinsip keselamatan dan keamanan berolahraga. Bagitu pula mengacu pada aturan lain yang mewajibkan standar penyelenggara dalam menjamin dan mempersiapkan mitigasi terhadap keamanan serta keselamatan setiap orang yang hadir dalam pertandingan. “Karenanya hal ini perlu dievaluasi total,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum (Alpha) itu berpendapat adanya kelalaian serta ketiadaan mekanisme standar operasional prosedur jelas dalam penanggulangan dan pencegahan kericuhan. Termasuk belum dilaksanakan sinronisasi pengoperasionalan antara aturan Fédération Internationale de Football Association (FIFA) dengan aturan kepolisian dan UU keolahragaan. Ironisnya, dalam aturan FIFA menegaskan larangan polisi membawa senjata api maupun gas air mata pengendali kerumunan di stadion.

Polri harus segera mengusut keterlibatan apakah disebabkan kelalaian terkait pengamanan oleh aparat, serta tidak tepatnya penggunaan gas air mata dalam pengendalian suporter bola sebagaimana larangan dalam Pasal 19 Stadium Safety and Security Regulations FIFA. Menurutnya, pertanggungjawaban keamanan pertandingan dan penanggung jawab wilayah setempat mesti diperiksa Divisi Propam Polri soal prosedur penggunaan gas air mata.

Karenanya, pemeriksaan terhadap Kapolda Jawa Timur dan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat yang bertanggung jawab dalam mengendalikan pengamanan pada pertandingan antara tuan rumah Arema FC Malang melawan Persebaya Surabaya perlu dilakukan. “Insiden ini jika dikaji dalam konstruksi Hukum Pidana, dapat dikualifikasi sebagai kelalaian yang menyebabkan kematian, sehingga penanggung jawab keamanan, organisasi induk olahraga termasuk panitia pelaksana harus dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa ini,” katanya.

Segera memeriksa

Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menduga, penggunaan kekuatan berlebihan dengan melepaskan gas air mata dalam pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban berjatuhan. Dia menilai penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur berakibat suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan saling bertabrakan.

Bahkan diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari. Kondisi tersebut membuat seluruh pihak yang berkepentingan harus melakukan upaya penyelidikan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap pertandingan ini. Isnur menilai tindakan aparat bertentangan dengan sejumlah peraturan kapolri (Perkapolri).  Yakni Perkapolri No.16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa, Perkapolri No.1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Kemudian, Perkapolri No.8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI, Perkapolri No.8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-Hara, dan Perkapolri No.2 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Huru-hara.

“Mendesak Propam Polri dan POM TNI untuk segera memeriksa dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota TNI-Polri yang bertugas pada saat peristiwa tersebut,” katanya.

Terpisah, anggota Komisi X DPR Ledia Hanifah meminta Kepolisian dan Kemenpora agar berkoordinasi dalam mengusut tuntas tragedi tersebut. Serta memastikan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya tragedy stadion Kanjuruhan mendapat sanksi. Baginya, pengusutan haruslah berlandaskan kejujuran, transparansi, dan keadilan dan mencakup seluruh pihak. Mulai dari pihak penyelenggara, penonton atau suporter yang melakukan tindakan anarkis, maupun pihak pengamanan dari aparat kepolisian.

Soal penyelenggaraan kegiatan, terdapat UU 11/2022 yang menyantumkan kewajiban bagi penyelenggara kejuaraan olahraga, hak dan kewajiban penonton, suporter, serta sanksi pidana atas penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang tidak memenuhi syarat keamanan dan ketertiban umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 103. Begitu pula terkait dugaan kesalahan prosedur pengamanan oleh pihak aparat kepolisian harus diusut secara transparan.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta Kemenpora berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar membuat perbakan sistem penyelenggaran kejuaraan olahraga. Termasuk upaya antisipasi bentrok antar suporter maupun kepastian penegakan standar operasional prosedur pengamanan kegiatan keolahragaan yang benar sejak sebelum, saat, hingga usai kegiatan berlangsung. Menurutnya, insiden Kanjuruhan menjadi tragedi terburuk dalam sejarah olahraga dan persepakbolaan di tanah air.

“Olahraga yang seharusnya menjadi ajang penunjang kesehatan, kebugaran dan hiburan justru berakhir pada kericuhan, kekerasan dan kematian. Masyarakat harus dibina, disosialisasi dan diingatkan akan hak dan kewajiban mereka sebagai penonton maupun suporter, sementara pemerintah harus memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait