TPPU Wawan Tidak Terbukti, Bagaimana Aturan Predicate Crime Pencucian Uang?
Berita

TPPU Wawan Tidak Terbukti, Bagaimana Aturan Predicate Crime Pencucian Uang?

MK memutuskan tidak harus ada predicate crime dalam TPPU.

Aji Prasetyo
Bacaan 3 Menit
Tubagus Chaeri Wardana. Foto: RES
Tubagus Chaeri Wardana. Foto: RES

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempunyai persepsi yang sama dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengenai dakwaan pencucian uang Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan. PT DKI mengambil pertimbangan Pengadilan Tipikor bahwa harus ada predicate crime yang terperinci untuk membuktikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“(Putusan) adalah sudah tepat dan benar sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka oleh karena itu pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih menjadi pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding sendiri dalam memutus perkara banding, namun Majelis Hakim Tingkat Banding memandang perlu untuk mengadakan perbaikan sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa,” kata hakim tinggi dikutip dari salinan putusan yang diperoleh Hukumonline.

Majelis hakim Tipikor memang secara bulat menyatakan dua dakwaan penuntut umum mengenai pencucian uang yang dilakukan Wawan senilai Rp1,9 triliun tidak terbukti dan mengeluarkan ketetapan barang bukti terkait dengan dakwaan kedua dan ketiga dikembalikan dari mana barang bukti tersebut diperoleh. (Baca: Dua Sisi Putusan Tubagus Chaeri Wardana)

“Terkait tindak pidana asal yang berasal dari pengaturan penjualan tanah, penuntut umum tidak menguraikan kerugian negara tentang pengadaan tanah yang merugikan negara dan sampai saat ini terdawa tidak dilakukan pembuktian melakukan perbuatan dalam tindak pidana itu. Penuntut umum tidak bisa memformulasikan tuntutan tindak pidana sehingga unsur pasal tidak terbukti,” kata hakim anggota Rustiyono dalam pertimbangannya.

Pertanyaannya haruskah ada predicate crime dalam TPPU? Mari kita lihat putusan judicial review yang diajukan mantan Ketua MK Akil Mochtar beberapa waktu lalu. Akil adalah terpidana seumur hidup dalam kasus korupsi menerima hadiah atau janji dalam sengketa Pilkada dan juga pencucian uang. Nah perkara Akil ini juga berkaitan dengan Wawan, dan kakaknya Ratu Atut Chosiyah.

Dalam putusannya, mahkamah mengatakan frasa “patut diduga” atau “patut diduganya” yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU, khusus mengenai tindak pidana pencucian uang merupakan kewenangan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Jadi mengenai frasa tersebut diserahkan pada keyakinan hakim yang memutus perkara.

Kemudian Pasal 69 UU TPPU yang menyebut tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, menurut Mahkamah apabila pelaku tindak pidana asal meninggal dunia berarti perkaranya gugur yang berakibat si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut. “Adalah ketidakadilan seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari TPPU tidak diproses pidana,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Mahkamah memandang TPPU memang tidak berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang.

“Pasal 76 ayat (1), menurut Mahkamah penuntut umum merupakan satu kesatuan, apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau di KPK adalah sama,” lanjutnya.

Terkait Pasal 77 UU TPPU mengenai pembalikan beban pembuktian –sering disebut pembuktian terbalik-- oleh pihak terdakwa, menurut Mahkamah, apabila terdakwa beriktikad baik demi kepastian hukum tidaklah sulit baginya untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana. Sebaliknya, penuntut umum akan kesulitan membuktikannya, padahal aroma tindak pidananya sangat terasa.

“Pasal 95 UU TPPU menurut pemohon bukan kewenangan KPK menyidik dan menuntut TPPU, menurut Mahkamah kasus konkrit instansi mana yang berwenang bukanlah objek yang dapat dimohonkan pengujian,” tutur Suhartoyo.

Meskipun dalam putusan terdapat dissenting opinion dari hakim Awanto dan Maria Farida Indrati. Keduanya, berpandangan membuktikan TPPU seperti dimaksud Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU selalu dengan adanya tindak pidana asal yang hasilnya dijadikan objek TPPU. Frasa patut diduga dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU selain sulit diukur, juga membebankan warga negara agar patut diduganya, suatu harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.

“Yang bersangkutan bisa saja tidak tahu adanya tindak pidana tersebut atau belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Hal tersebut bertentangan dengan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum,” tutur Aswanto.

Menurutnya, apabila seseorang didakwa dengan TPPU tidak didasari telah terjadi dan terbuktinya adalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang termuat dalam Penjelasan Umum KUHAP dan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. “Dengan demikian, seharusnya permohonan pemohon yang berkaitan dengan keharusan adanya putusan tindak pidana asal sebelum memproses TPPU dikabulkan,” kata Aswanto.

 

Tags:

Berita Terkait