Total E&P Setuju Choice of Law Indonesia
Utama

Total E&P Setuju Choice of Law Indonesia

Pemerintah diminta menghormati kontrak yang sudah dibuat K3S. SKK Migas hanya mengawasi.

RIMBA SUPRIYATNA
Bacaan 2 Menit
Acara penandatanganan kontrak Rig antara TOTAL dan Apexindo. Foto: CR-14
Acara penandatanganan kontrak Rig antara TOTAL dan Apexindo. Foto: CR-14

Dalam rangka pengeboran Blok Mahakam, Total E&P Indonesie menandatangani kontrak rig dengan subkontraktor PT Apexindo Pratama Duta  (Apexindo). Usai penandatanganan itu, Proust mengatakan Total E&P akan mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia.

“Kami intinya menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas Pemerintah Indonesia mengenai aturan main yang akan dijadikan landasan dalam kontrak ataupun penyelesaian sengketa bagi para kontraktor, termasuk kami di dalamnya,” ujarnya menjawab pertanyaan hukumonline di sela acara penandatanganan dengan Apexindo, di Jakarta, Senin, (18/2) lalu.

Kendati demikian, yang paling penting, sambung Proust, ketika Pemerintah Indonesia menerbitkan sebuah aturan seharusnya tetap didasarkan pada penghormatan terhadap kontrak yang telah disepakati oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) dengan otoritas pengawasan, dalam hal ini SKK Migas. “Saya berharap ketika Pemerintah mengeluarkan peraturan tetap memperhatikan nilai dan esensi kesepakatan yang ada dalam sebuah kontrak,” tandasnya.   

Total E&P menyetujui pemilihan dan penggunaan hukum Indonesia (choice of law) dalam operasinya di sini. Head of Legal Operation Total E&P Balikpapan, Antonius Sibarani, menyatakan Total menyepakati penggunaan hukum Indonesia dalam setiap kontrak yang akan dijalankannya. Perusahaan asal Perancis itu juga setuju Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai badan penyelesaian sengketa di bawah jurisdiksi Republik Indonesia (lex fori).    

“Dalam kontrak kita akan menggunakan hukum Indonesia. Jadi untuk choice of law-nya tetap akan berlaku hukum Indonesia, sedangkan pilihan penyelesaian sengketanya melalui BANI,” terangnya kepada hukumonline.

Sibarani menambahkan pilihan hukum dan pilihan forum itu sejalan dengan kebijakan SKK Migas agar hukum Indonesia dikedepankan dalam setiap kontrak.

Total E&P memilih hukum Indonesia dan forum penyelesaian sengketa BANI yang ada di wilayah jurisdiksi Indonesia karena domisili dan wilayah kerja operasional Total berada di wilayah kesatuan Republik Indonesia. “Operasi kami lakukan di wilayah Indonesia, ya sudah seharusnya hukum yang digunakan adalah hukum yang berlaku di wilayah Indonesia,” tandas Sibarani.

Menutup celah sengketa
Selalu ada kemungkinan muncul sengketa dalam setiap kontrak. Demikian pula kontrak Total E&P dengan Apexindo. Tetapi Sibarani memastikan proses penyusunan kontrak sudah disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan kedua belah pihak. Dengan kata lain, kedua pihak berusaha menutup semua peluang yang menciptakan celah hukum yang bisa berakibat pada perbedaan tafsir atas kontrak.

“Satu hal yang pasti dari track record kerjasama antara kami (Total E&P dan Apexindo) selama ini belum pernah satupun kejadian sengketa yang terjadi dengan Apexindo. Trend selama 20 tahun melakukan kerjasama dengan Apexindo kami tidak pernah ribut,” ujarnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, salah satu sengketa kontrak berkaitan dengan rig terjadi antara PT Saptasarana Personaprima dengan ConocoPhilips Indonesia. Sapta dan Conoco bersengketa mengenai kontrak pengadaan rig (rig management service). Pada 2007 silam, Pertamina juga pernah digugat PT Calmusindo Anjaya gara-gara pembayaran penyediaan peralatan rig.

Sekretaris SKK Migas, Gde Pradnyana, menegaskan SKK bertugas mengawasi dan memediasi K3S. Mengenai isi kontrak, sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian.

Dalam hal pilihan hukum dan forum penyelesaian kontrak yang akan diadopsi oleh para kontraktor, Gde Pradnyana melanjutkan, diserahkan sepenuhnya kepada para pihak mengingat landasan regulasi yang tertuang dalam Pedoman Tata Laksana Kontrak memperkenankan untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan dan forum penyelesaian sengketa mana yang akan ditunjuk.

Senada dengan Antonius Sibarani, SKK Migas secara institusional lebih menyarankan para kontraktor untuk menggunakan pilihan hukum yang ada di Indonesia dan badan penyelesaian sengketa yang berdomisili di Indonesia. Ia menjelaskan, hal ini berkaitan dengan kemudahan proses penyelesaian sengketa ataupun permasalahan lain yang muncul dari kontrak tersebut.

Selain itu, dalam kontrak para pihak juga harus mempertimbangkan teritorial tempat mereka melakukan kegiatan operasional, lembaga atau institusi yang mengawasi kegiatan produksi yang berasal dari otoritas negara. “Maka, secara etika harusnya menggunakan hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada di wilayah Indonesia,” pungkasnya kepada hukumonline.       

Tags: