Top Tier Law Firm Indonesia Bersiaga Hadapi Dampak Covid-19, Seperti Apa?
Utama

Top Tier Law Firm Indonesia Bersiaga Hadapi Dampak Covid-19, Seperti Apa?

Strategi bertahan dipersiapkan setidaknya enam bulan ke depan. Pelepasan pegawai dihindari meski tetap menjadi opsi.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi dampak wabah covid-19 terhadap advokat. Ilustrator: BAS
Ilustrasi dampak wabah covid-19 terhadap advokat. Ilustrator: BAS

Sejumlah law firm papan atas Indonesia mulai melakukan strategi penyelamatan bisnis. Pemotongan gaji fee earners hingga mengurangi personel kantor tak bisa dihindari masuk sebagai opsi. Strategi mereka diupayakan untuk mengantisipasi hingga enam bulan ke depan. “Kalau situasi ini berlanjut sampai lewat bulan Mei akan sangat memusingkan,” ujar Andre Rahadian, Partner DentonsHPRP.

DentonsHPRP adalah firma afiliasi dari jaringan Dentons di Indonesia. Beredar kabar Dentons di Eropa dan Timur Tengah berencana memotong pembayaran partner dan para fee earner lainnya. Andre menjelaskan kebijakan itu tidak berlaku untuk semua afiliasi Dentons. “Soal itu diserahkan kepada masing-masing. Hanya saja struktur paling atas bersiap berkorban paling awal,” katanya kepada hukumonline.

Ia tidak menampik pemotongan gaji mungkin saja terjadi. Jika harus terjadi, dipastikan akan bertahap mulai dari equity partner, salary partner baru disusul yang lain. Sejauh ini DentonsHPRP bersiap dengan mengurangi pengeluaran yang tidak esensial. Perencanaan ulang jadwal pengeluaran juga dilakukan.

(Baca juga: Dentons HPRP Diluncurkan, Firma Hukum Indonesia Pertama Berlabel Global).

Bono Daru Adji, Managing Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) mengaku pihaknya mempersiapkan strategi hingga enam bulan mendatang. “Kami harus komprehensif dengan segala kemungkinan. Termasuk kondisi terburuk,” kata Bono.

Seperti DentonsHPRP, AHP menentukan secara mandiri langkah antisipasi tanpa terikat kebijakan law firm asing afiliasi mereka. Rajah Tann Asia hanya berbagi panduan hasil pengalaman mereka menghadapi wabah SARS belasan tahun silam.

(Baca juga: AHP Songsong MEA 2015 Lewat Aliansi dengan Rajah Tann Asia).

Teguh Irianto Maramis, Managing Partner Lubis Santosa & Maramis (LSM) pun mengungkapkan bahwa kebijakan Reed Smith sebagai afiliasi asing tidak mengikat mereka. Kabar sebelumnya Reed Smith akan memotong pendapatan bulanan sebesar 40 persen untuk equity partner selama lima bulan ke depan. Pada saat yang sama nonequity partners akan dipotong 15 persen selama tiga bulan ke depan.

“Kebijakan LSM dengan Reed Smith tidak harus sama. Hubungan kami juga nonekslusif sehingga secara manajemen terpisah,” kata Teguh. Pemotongan gaji diakuinya tetap menjadi opsi. Namun LSM belum memutuskan akan menggunakan cara itu. Penghematan di pos pengeluaran fasilitas operasional menjadi pilihan pertama.

(Baca juga: Bencana Covid-19, Sejumlah Law Firm Global Potong Gaji Hingga Putuskan Hubungan Kerja).

Hukumonline belum berhasil mendapatkan konfirmasi Ginting & Reksodiputro yang berafiliasi dengan Allen & Overy. Sementara itu Widyawan& Partners sebagai afiliasi Linklaters di Indonesia menolak upaya konfirmasi hukumonline. Sebelumnya Linklaters dan Allen & Overy di luar Indonesia juga dikabarkan telah mengambil langkah serupa dengan Reed Smith.

Mochamad Kasmali, Managing Partner Soemadipradja & Taher (S&T) mengungkapkan hal yang sama dengan Bono. “Kami harus mempersiapkan strategi menghadapi keadaan sulit ini untuk jangka waktu enam bulan,” katanya. Kasmali mengungkapkan bahwa pemotongan gaji masih menjadi opsi terakhir di S&T.

Bono menjelaskan pengeluaran terbesar law firm adalah gaji  dan sewa fasilitas operasional. “Komponen gaji pegawai meliputi pajak penghasilan dan asuransi. Total dari gaji dan sewa itu sudah 60 sampai 70 persen pengeluaran law firm,” Bono menambahkan. Kedua pos pengeluaran ini yang pasti diutak-atik dalam situasi sulit.

(Baca juga: Aliansi Strategis antara Allen & Gledhill dengan Soemadipradja & Taher).

Pada saat yang sama, law firm berupaya menagih pembayaran yang belum ditunaikan para klien. Tentu ini pun tidak mudah saat perusahaan klien juga terganggu bisnisnya akibat wabah Covid-19. “Tiap law firm punya tipe klien berbeda. Bagi yang bisnis kliennya sangat terdampak tentu sangat berpengaruh pemasukan law firm. Jadi strategi kami akan saling berbeda,” kata Bono.

Kasmali juga mengungkapkan bahwa terjadi penurunan klien yang signifikan sejak status pandemi Covid-19 diumumkan. “Selama dua minggu diharuskan working from home saja sudah banyak klien dari kalangan investor asing jauh berkurang,” katanya.

Para partner top tier law firm Indonesiai ini kompak mengaku sangat menghindari pemutusan hubungan kerja. “Kami belum terpikir itu dan semoga tidak. Di saat seperti ini seharusnya ada empati. Semua sedang mengalami dampak kesulitan,” kata Teguh menjelaskan sikap LSM saat ini. Meskipun akhirnya terpaksa diambil, pemutusan hubungan kerja akan menjadi pilihan paling akhir bagi law firm mereka.

Tak Dapat Insentif Pajak

Kondisi yang semakin memberatkan saat ini adalah pembayaran gaji bulan April, Mei, serta Tunjangan Hari Raya umat Islam dalam waktu dekat. “Kami tentu tidak akan mengabaikan kewajiban dalam peraturan perundang-undangan untuk pegawai. Meski sayangnya pembayaran ke law firm bukan pos prioritas bagi perusahaan,” Teguh menambahkan.

Beban lainnya yang dihadapi law firm adalah tidak dimasukkan dalam daftar penerima insentif pajak untuk wajik pajak terdampak. “Fokus insentif pemerintah pada industri real. Sektor industri jasa seperti law firm tidak termasuk,” Kasmali menjelaskan.

Ia merujuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.23 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona yang telah berlaku efektif sejak 1 April 2020. Pemerintah memberikan setidaknya empat insentif untuk meringankan beban wajib pajak perorangan dan badan usaha yang terdampak virus Corona.

Insentif perpajakan lainnya ada pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Persyaratan pekerja yang mendapat insentif harus merupakan karyawan pada 440 bidang industri tertentu dalam PMK No.23 Tahun 2020. Insentif juga diberikan pada perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Selain itu, pekerja juga harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Kasmali mengungkapkan upaya bersama top tier law firm yang hampir semua berada di Jakarta. “Kami melakukan komunikasi lintas law firm untuk mengupayakan keringanan perpajakan,” kata Kasmali. Ia mengatakan para managing partner telah intensif berkomunikasi sejak hari Minggu lalu. “Kami memahami pajak adalah pemasukan terbesar pemerintah terutama saat seperti ini. Tapi kami masih akan mencoba,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait