TKI Perlu Dibekali Keahlian dan Pengetahuan
Berita

TKI Perlu Dibekali Keahlian dan Pengetahuan

Agar pelanggaran hak dan kekerasan kepada TKI bisa diantisipasi.

Ady/IHW
Bacaan 2 Menit
TKI perlu dibekali keahlian dan pengetahuan. Foto: Sgp
TKI perlu dibekali keahlian dan pengetahuan. Foto: Sgp

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Peribahasa itu mungkin tepat dialamatkan kepada Suswanti, perempuan 30 tahun asal Cilacap Jawa Tengah yang mengadu nasib menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di Singapura. Alih-alih mencari peruntungan di negeri orang, Suswanti malah terpaksa kabur dari rumah majikannya ketika baru bekerja 5,5 bulan dari kontraknya selama dua tahun.

Kaburnya Suswanti bukan tanpa alasan. Ia mengaku mendapat perlakuan keji dari majikan dan bekerja di luar yang diperjanjikan. Soal jam kerja misalnya. Ia bekerja sejak pukul lima pagi hingga pukul satu dini hari. Tiap tiga kali seminggu ia juga disuruh membersihkan jendela luar di lantai empat tanpa peralatan keamanan yang memadai. Selama bekerja, gajinya belum pernah dibayarkan. Akhirnya ia kabur ke Kedubes RI di Singapura dan lalu dipulangkan ke Indonesia.

Kisah Suswanti juga banyak dialami oleh para TKI lain. Sofiyati misalnya. Mantan PRT yang pernah bekerja di Arab Saudi lebih dari tujuh tahun ini juga memiliki pengalaman serupa. Seperti bekerja di luar yang telah diperjanjikan, jam kerja yang bahkan mencapai 22 jam tiap hari. Ia pun akhirnya bisa kabur dari rumah majikan dan kembali ke kampung halamannya di Surabaya, Jawa Timur.

Koordinator Jaringan Kerja Layak PRT (Jala PRT), Lita Anggraeni mengatakan kondisi kerja PRT di luar negeri cenderung tidak layak. Ironisnya, berdasarkan data ILO tahun 2009, sebagian besar PRT adalah kaum perempuan, jumlahnya lebih dari 100 juta orang. Sedangkan data BNP2TKI, menyebut jumlah TKI yang menjadi PRT di luar negeri jumlahnya 92 persen.

Tiap tahun, lanjut Lita, pelanggaran hak dan tingkat kekerasan terhadap TKI terus meningkat. Dibandingkan dengan Hong Kong, intensitas tindak kekerasan yang menimpa TKI lebih besar di Arab Saudi dan Malaysia. Melansir data BNP2TKI tahun 2010, Lita menyebut terdapat 2400 kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi.

Tingginya angka kekerasan dan pelanggaran hak para TKI itu dinilai sebagai akibat minimnya pembekalan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan terhadap calon TKI. Oleh karenanya, TKI kesulitan menghadapi budaya, sistem hukum dan sosial yang ada di negara tujuan. Sehingga terjadilah tindakan pelanggaran yang merugikan TKI.

Ironisnya, pemerintah dinilai absen dalam memberi perlindungan kepada TKI yang tersangkut masalah. Misalnya, tidak ada peraturan yang secara komprehensif mengatur tentang pendidikan dan pelatihan sebelum keberangkatan, lanjut Lita.

Kurikulum pendidikan dan pelatihan sebelum keberangkatan yang ada saat ini menurut Lita hanya menitikberatkan pada keahlian pelayanan dan tidak berprespektif HAM. Akibatnya, perlindungan terhadap TKI PRT terpinggirkan. “Pemerintah seharusnya melindungi,” kata Lita dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Kamis (14/6).

Sofiyati membenarkan hal itu. Ia mengaku tidak mendapat pendidikan dan pelatihan apapun sebelum diberangkatkan untuk bekerja di Riyadh. Alhasil, selama dua bulan bekerja dia kebingungan untuk memahami bahasa dan budaya di salah satu kota terbesar di Arab Saudi itu. Parahnya lagi dia kerap disiksa karena tidak menjalankan perintah majikan secara benar.

Dari pengalamannya itu Sofiyati mengatakan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif bagi TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan kerja, sangat penting. Terutama pemahaman bahasa dan budaya. “Di sini diajarin masak nasi rawon, soto, tapi pas sampai di sana keinginan majikan beda,” Sofiyati membeberkan.

Pada kesempatan yang sama pengurus KAPAL Perempuan, Budhis Utami, menambahkan bahwa rentang waktu yang digunakan untuk pendidikan dan pelatihan TKI sebelum diberangkatkan, khususnya ke wilayah Timur Tengah tergolong sebentar. Sehingga bekal pengetahuan yang dibawa TKI ke negara tujuan tidak cukup untuk menjawab persoalan yang dihadapi.

Selain itu Budhis menilai modul pendidikan dan pelatihan yang selama ini digunakan harus diubah agar mampu memberi informasi yang jelas mengenai hak TKI. Selain itu harus ada regulasi yang tegas dan mengutamakan pentingnya pendidikan dan pelatihan yang berperspektif HAM dan Gender. “Perbaikan modul harus disertai peraturan tegas yang mengutamakan pendidikan,” kata Budhis.

Sementara, Kepala Subdit Pengembangan Standardisasi Kompetensi Dirjen Binalattas Kemenakertrans, Eko Widayanto, mengatakan secara umum regulasi yang diterbitkan pemerintah sudah lengkap. Mulai dari perekrutan TKI, syarat pendirian Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), pengiriman TKI dan lainnya.

Salah satunya Permenakertrans No PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Kerja Bagi Calon TKI. Namun, dalam pelaksanaannya Eko mengakui terdapat penyimpangan. Oleh karenanya, mulai 1 Mei 2012 Eko menjelaskan pemerintah mulai membenahi kelemahan dengan cara menggunakan sistem online pada setiap kegiatan pengelolaan TKI. “Untuk mencegah penyelewengan,” kata dia.

Mengenai pengawasan terhadap BLK, Eko menyebut hal itu adalah kewenangan Disnakertrans Kabupaten/Kota. Jika terdapat lembaga pelatihan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka dapat ditutup.

Sedangkan, lembaga yang menilai kompetensi TKI sebelum diberangkatkan adalah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang diawasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jika tidak memenuhi standar kompetensi yang disyaratkan maka TKI tersebut tidak dapat dikirim ke luar negeri, lanjut Eko.

Persoalan yang sering dihadapi TKI yang tersangkut masalah di luar negeri menurut Eko diakibatkan oleh minimnya informasi yang di dapat oleh calon TKI. Sehingga dia tidak mengetahui persyaratan yang harus dilewati sebelum bekerja ke luar negeri. Oleh karenanya Eko mendukung langkah yang dilakukan sejumlah LSM yang fokus terhadap pekerja migran, karena memberi informasi dan advokasi terhadap para pekerja migran.

Tags: