Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU
Utama

Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU

Karena konstitusi tak mengatur secara jelas soal peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU. Akibatnya, peraturan yang ada tidak bisa menjamin efektivitas hasil peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU yang berkualitas. MK semestinya melengkapi keterbatasan norma konstitusi yang ada dalam hal peran serta masyarakat dalam pembentukan UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Suasana webinar bertema 'Pembentukan UU Pasca Amanademen UUD 1945', Kamis (8/4/2021). Foto: RFQ
Suasana webinar bertema 'Pembentukan UU Pasca Amanademen UUD 1945', Kamis (8/4/2021). Foto: RFQ

Pengaturan proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejak era kemerdekaan hingga kini terus mengalami perbaikan. Salah satunya, memberi ruang peran serta masyarakat atau partisipasi publik dalam proses pembentukan UU. Tapi praktiknya, peran serta masyarakat atau partisipasi publik dalam proses pembentukan perundang-undangan di DPR tak seperti yang tertuang dalam aturan.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura menilai dalam praktik pembuatan UU, peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam memberikan masukan sebatas di atas kertas. Praktiknya, dalam beberapa pembentukan UU keterlibatan masyarakat malah diabaikan. Seperti dalam proses revisi UU No.UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dan revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia melihat kalaupun melibatkan peran serta masyarakat, hal ini hanya sebatas menjustifikasi (formalitas). Padahal masukan masyarakat tak diakomodir pembuat UU dan praktik ini seringkali berulang. Akibatnya, kualitas produk UU yang dihasilkan jauh dari harapan. Pengaturan peran serta masyarakat memang tak diatur jelas dalam konstitusi. Sekalipun ada diatur dalam konstitusi, hal itu perlu ditafsirkan. (Baca Juga: Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK)

Seperti rumusan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Menurutnya, Pasal 27 ayat (1) itu mengatur soal equality before the law. Sementara Pasal 27 ayat (3) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”

Kalaupun istilahnya bela negara agak militeristik, kalau diterjemahkan lebih luas partisipasi juga bagian bela negara,” ujar Charles Simabura dalam sebuah webinar bertajuk “Pembentukan UU Pasca Amanademen UUD 1945”,Kamis (8/4/2021). (Baca Juga:

Selain itu, Pasal 28 UUD Tahun 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Begitupula Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

Charles mengakui dua pasal dengan empat ayat itu tak mengatur gamblang soal peran serta masyarakat dalam pembuatan UU. Namun bila ditarik lebih luas, maka peran serta masyarakat dalam memajukan bangsa dan negara dapat melalui keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan UU sebagaimana mengacu dua pasal dengan empat ayat konstitusi itu.

“Tapi tidak jelas apakah ini kewajiban atau hak peran serta publik dalam pembuatan UU. Tapi sepertinya, partisipasi publik dalam pembentukan UU tidak menjadi kewajiban, hanya hak publik. Padahal semestinya menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara dalam membuat aturan,” kata dia.

Dia menerangkan pengaturan peran serta masyarakat hanya diatur Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga pengaturannya minim. Ironisnya, dalam praktik dari kelima tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan tidak melibatkan masyarakat.

“Terlebih, Pasal 188 Peraturan Presiden (Perpes) No.87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 itu mereduksi peran serta masyarakat sebagai konsultasi publik,” lanjutnya.

Pengaturan partisipasi publik ternyata juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Begitupula dalam Peraturan DPR No.2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undangan.

Dalam kedua beleid itu terdapat tiga tahapan yang dimungkinkan adanya keterlibatan peran serta masyarakat. Pertama, membuka konsultasi publik dalam penyusunan naskah akademik. Kedua, konsultasi publik dalam tahap penyusunan RUU. Ketiga, konsultasi publik dalam tahap pembahasan. Dalam Permenkumham 11/2021 itu menggunakan istilah “konsultasi publik”. Akibatnya bergantung dari kebutuhan pembuat UU soal perlu atau tidaknya masukan publik.

Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Fitriani Ahlan Sjarif melanjutkan partisipasi publik dalam penyebaran Program Legislasi Nasional (Prolegnas) berupa RUU dan UU pada semua tahapan diatur dalam Pasal 88 UU 12/2011. Kemudian penyebarluasan naskah rancangan Prolegnas ke publik diatur dalam Pasal 170-173 Keppres 87/2014. 

Selanjutnya, penyebarluasan naskah RUU diatur dalam Pasal 174-176 Perpres 87/2014. Sedangkan penyebarluasan UU diatur dalam Pasal 176-179 Perpres 87/2014. Dari sekian aturan yang ada, pengaturan teknis partisipasi publik tak diatur dalam aturan turunan tersebut. “Partisipasi masyarakat hanya diatur dalam Pasal 96 UU 12/2011,” ujarnya.

Sejak era reformasi 1999, terdapat 3 pedoman pembuatan UU yakni Keppres No.44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangan dan Bentuk RUU, Raperda, dan Rancangan Keputusan Presiden. Kemudian UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan UU 12/2011 sebagaimana telah diperbaharui UU 15/2019. Dia mengakui ada perkembangan yang lebih baik sistem hukum dan peraturan perundangan-undangan Indonesia.

Dalam UU 10/2004 mulai dibuat pengaturan partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU. Meskipun pengaturannya hanya pada Pasal 53 secara sederhana. Setidaknya adanya pengaturan partisipasi masyarakat menjadi bentuk yang lebih baik. “Jadi UU 10/2004 menjadi dasar kita saat itu punya naskah akademik yang ada partisipasi masyarakat serta adan hierarki peraturan perundang-perundangan,” ujarnya.

Titik lemah partisipasi publik

Charles yang juga peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSaKO) menilai terdapat kelemahan praktik partisipasi publik dalam proses pembuatan UU. Pertama, masyarakat tidak dapat memastikan masukan atau sarannya diakomodir pembuat UU. Kedua, belum adanya parameter kualitatif dan kuantitatif yang menjadi indikator pembentuk UU telah partisipatif dari aspek jumlah maupun waktu pembahasan.

Menurutnya, paremeter kualitatif seperti berapa banyak organisasi buruh, misalnya, yang perlu diundang dalam proses menyerap masukan dalam pembuatan UU terkait bidang ketenagakerjaan. “Hal ini tak ada parameternya. Akibatnya, bentuk partisipasi semau-maunya anggota dewan. Ini akan berbahaya,” lanjutnya.

Ketiga, partisipasi seringkali tidak representatif yang memunculkan partisipasi semu. Keempat, partisipasi masyarakat tidak mengikat, sehingga sulit dijadikan dasar alasan dalam pengujian UU di MK. Kelima, informasi publik sebagai kunci partisipasi seringkali dipertanyakan validitas dan terjadi disharmoni. Terhadap hal itu, pengadilan menjadi ajang dialog konstitusional antara pembentuk UU dengan masyarakat dalam perwujudan partisipasi demokratis yang tak boleh dikungkung dengan keterbatasan norma yang ada.

Baginya, MK semestinya mampu melengkapi keterbatasan norma konstitusi yang ada dalam hal peran serta masyarakat (partisipasi publik). Seperti kuantitatif dan kualitatif, sehingga dapat menilai dan menentukan kadar partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU. MK pun dapat memberi ruang constitutional complaint terhadap pembentuk UU yang tidak partisipatif serta membuka ruang selebar-lebarnya bagi warga sebagai pemohon.

Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra enggan berkomentar soal partisipasi publik dalam proses pembentukan UU. Sebab, partisipasi publik sedang menjadi objbek pengujian di MK. Secara etik, hakim MK dilarang membicarakan sesuatu terkait dengan kasus-kasus yang sedang diuji di MK. Sebab, dalam banyak hal, sebelumnya hakim MK malah mengomentari putusan yang telah dibuat MK.

“Saya mohon maaf, saya tidak bisa masuk ke wilayah itu, karena partisipasi publik menjadi objek pengujian di MK,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu mengatakan dirinya harus membatasi diri  secara ketat tak membahas hal yang sedang menjadi objek pengujian di MK. Dia tak ingin terperosok ke dalam pelanggaran etik lantaran komentarnya terhadap objek yang sedang diuji di MK.  Namun demikian, dia bersepakat agar ada perbaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan di parlemen.

“Kita jangan pernah berhenti memperbaiki manajemen pembentukan UU di DPR,” katanya.

Tags:

Berita Terkait