Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna
Oleh: Imam Nasima *)

Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna

Dua pertanyaan mendasar yang sering muncul sehubungan dengan permasalahan eksekusi grosse akta sebenarnya cukup sederhana, yaitu apakah grosse akta dapat langsung dieksekusi dan bagaimana eksekusi grosse akta tersebut dilakukan.

Bacaan 2 Menit
 
Irah-irah ini, dalam perkembangan hukum di Indonesia cukup penting karena menyangkut landasan mendasar hukum, yaitu legitimasi. Pada tahun 1955, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bahkan secara resmi mengganti irah-irahnya dari berbahasa JawaPenget trang dawuh timbalan Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuwun Kangjeng Sultan ing Ngayogyakarta” (Peringatkanlah atas Perintah dari Sri Paduka Kangjeng Sultan Yogyakarta) menjadi “Atas Nama Keadilan” untuk menyesuaikan dengan irah-irah yang digunakan dalam putusan-putusan pengadilan yang berlaku di Republik Indonesia ketika itu ( Perda DIY No. 1/1955 tentang Perubahan Salinan Pertama (Grosse) Credietverband). Irah-irah “Atas Nama Keadilan” sendiri pada tahun 50-an sempat memenangkan persaingan dengan irah-irah “Atas Nama Negara Republik Indonesia”, dengan merujuk pada format putusan Mahkamah Agung, sebelum pada tahun 1970 ditetapkan berbunyi“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Pertanyaannya, lagi-lagi, mengapa bahkan nama Tuhan tidak lagi bermakna? 
        
Dari permasalahan yang digambarkan di atas, pertanyaan-pertanyaan turunan bakal muncul sehubungan dengan eksekusi grosse akta ini. Antara lain: (1) apa yang dimaksud dengan grosse (yang dalam terjemahan HIR di atas diartikan sebagai “surat asli”), serta meliputi surat atau akta apa saja; (2) apa persyaratan dari keabsahan grosse semacam ini; (3) bagaimana cara melakukan eksekusi sebagaimana layaknya eksekusi putusan hakim tersebut.
 
Dalam tulisan ini dua dari tiga pertanyaan tersebut akan dijawab secara ringkas berdasarkan hasil penelitian sementara yang terdiri dari penelitian berdasarkan peraturan, putusan hakim, serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan eksekusi grosse akta. Penelitian ini dilaksanakan oleh NLRP (National Legal Reform Program) bekerja sama dengan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia). Selama penelitian selama kurang lebih 4 bulan ini, berhasil ditelusuri setidaknya tiga puluh putusan, tiga puluh peraturan, serta puluhan karya akademis yang menyangkut eksekusi grosse akta atau memuat istilah grosse akta.
 
Untuk dapat mengenal apa yang disebut dengan “grosse akta”, maka kita harus membuka kembali ketentuan dalam KUH Perdata. Di sana disebutkan bahwa arti dari kata “grosse” atau “gross” adalah salinan pertama, sedangkan “grosse akta” berarti salinan pertama dari suatu akta yang dapat memberikan bukti yang sama dengan akta aslinya (Pasal 1889 KUH Perdata). Dalam konteks grosse akta notariil (dibuat di hadapan notaris) ataupun akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum, ketentuan ini harus dibaca bahwa salinan pertama akta tersebut, sebagaimana akta otentiknya, memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya (Pasal 1868 jo. 1870 KUH Perdata). Dulu, bentuk formalitas grosse akta diatur dalam Pasal 41 Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het notaris-ambt in Indonesië, Stb. 1860-3, 11 Januari 1980) yang antara lain mengatur penggunaan irah-irah, pencantuman kata-kata “diberikan sebagai grosse pertama”, serta penyebutan nama pihak penerima grosse tersebut. Dalam perkembangannya kemudian, pada prinsipnya tidak ada yang berubah dengan ketentuan ini, yaitu bahwa harus ada irah-irah, penegasan grosse pertama, dan pihak penerima grosse tersebut (Lihat Pasal 55 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris).
 
Ketentuan mengenai definisi grosse akta ini, pada umumnya diterima oleh para ahli, di antaranya pendapat J. Satrio dalam bukunya mengenai hak jaminan kebendaan (J. Satrio, SH., “Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan”, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 237, dst.). Dalam bukunya tersebut, J. Satrio mengulas pula bahwa tidak semua grosse akta adalah grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial, meskipun tidak mengurangi nilai pembuktian substansi yang terkandung dalam akta tersebut. Selain itu dapat pula ditemui adanya perdebatan mengenai tafsir atas pengertian “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, yaitu “pendapat sempit” dan “pendapat luas”(perdebatan ini pertama kali ditemukan dalam Mudofir Hadi, SH, "Grosse Akta", Majalah Varia Peradilan Tahun I, No.11, Agustus 1986).
 
Pendapat sempit dianut oleh Mahkamah Agung yang menafsirkan bahwa pengertian tersebut harus diartikan sebagai suatu pengakuan utang sepihak (lihat juga ketentuan mengenai akta pengakuan utang sepihak menurut Pasal 1878 KUH Perdata yang mensyaratkan dicantumkannya  sejumlah uang atau barang terutang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu yang tertuang dalam akta pengakuan utang” dalam akta terkait), sementara pendapat luas adalah pendapat para notaris pada umumnya yang mendasarkan pada Peraturan Jabatan Notaris bahwa “semua akta yang mengandung suatu kewajiban obligatoir dapat diberikan salinan dalam bentuk grosse”. Untuk saat ini, perbedaan pendapat tersebut diselesaikan dengan bunyi ketentuan Pasal 55 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris yang telah secara tegas menyebut “akta pengakuan utang”.
 
Selain menyangkut permasalahan “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, ruang lingkup grosse akta akan lebih menarik lagi, apabila kita telusuri pengertian “surat hipotik” menurut Pasal 224 HIR. “Surat hipotik” ini dulunya mencakup akta hipotek dan akta ikatan kredit, tetapi pada akhirnya harus ditafsirkan sebagai sertifikat hak tanggungan (yang memuat grosse akta hak tanggungan), serta akta hipotek kapal. Bagaimana perkembangannya sampai seperti itu, sebenarnya ceritanya cukup panjang.
Tags: