Tips Dari Lawyer Agar Tak Resah dan Latah Hadapi Legaltech
Utama

Tips Dari Lawyer Agar Tak Resah dan Latah Hadapi Legaltech

Lawyer tetap tak tergantikan. Perusahaan perlu membuat perencanaan terintegrasi dan terukur sebelum beralih menggunakan legaltech.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Narasumber diskusi pada peluncuran ASEAN LegalTech, Rabu, (14/8) di kantor firma hukum AHP. Kanan ke kiri Ibrahim Assegaf (AHP), Erni Widhyastari (DJKI), dan Raditya Kosasih (Gojek). Foto: NEE
Narasumber diskusi pada peluncuran ASEAN LegalTech, Rabu, (14/8) di kantor firma hukum AHP. Kanan ke kiri Ibrahim Assegaf (AHP), Erni Widhyastari (DJKI), dan Raditya Kosasih (Gojek). Foto: NEE

Setelah bisnis layanan keuangan konvensional digerus oleh fintech, prospek legaltech diprediksi banyak pengamat segera melakukan yang serupa pada layanan jasa hukum. Partner dari firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Ibrahim Assegaf menanggapi santai berbagai prediksi tersebut.

 

“Kita lihat dulu, sebenarnya pekerjaan lawyer itu apa saja sih? Pertanyaan berikutnya baru pekerjaan mana saja yang akan bisa digantikan oleh mesin?” katanya dalam diskusi peluncuran ASEAN LegalTech, Rabu (14/8).

 

Bersama dengan Raditya Kosasih selaku Associate General Counsel dari startup decacorn Gojek, Ibrahim berbagai tips menghadapi perkembangan legaltech. Terutama bagi klien perusahaan yang mulai beralih pada berbagai platform digital dalam bisnisnya.

 

“Menurut saya sebagian pekerjaan pasti tergantikan, tapi banyak bagian lain yang tidak akan pernah tergantikan,” ujarnya. Ibrahim menjelaskan bahwa sentuhan manusia dalam profesi lawyer tidak bisa dengan mudah digantikan teknologi.

 

Keyakinan Ibrahim ini bukan tanpa dasar. Sebagai bisnis jasa, layanan jasa hukum memang tidak sekadar menyajikan informasi atau hasil analisis hukum. Apalagi sekadar administratif pengelolaan dokumen hukum.

 

Jasa yang diberikan lawyer termasuk juga ruang interaksi dan konsultasi agar klien benar-benar yakin dengan nasehat hukum yang diberikan. Kemampuan ini dianggapnya akan bertahan hanya dapat diberikan oleh manusia.

 

Di sisi lain, Kosasih mengingatkan agar para lawyer tidak meremehkan perkembangan teknologi dalam bisnis jasa hukum. “Lawyers harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar mereka tidak out of business,” ujarnya.

 

Berbagai akses regulasi, administrasi, dan informasi hukum yang sudah terbuka lewat internet sudah bukan lagi pekerjaan yang bisa ditawarkan sebagai layanan jasa lawyer. “Mereka harus bisa memberikan nilai tambah yang lain,” kata Kosasih menambahkan.

 

Bagi Kosasih yang bekerja sebagai in house counsel di perusahaan berbasis teknologi, legaltech perlu disikapi dengan tepat. Ia menyatakan kehadiran teknologi apa saja termasuk legaltech tidak berarti pasti menjadi solusi terbaik untuk digunakan. Justru ia menilai penggunaan teknologi terbaru jarang berdasarkan roadmap yang jelas.

 

“Ketika akan menggunakan teknologi, isu apa yang mau diatasi? Solusi apa saja yang tersedia? Dana memadai? Infrastruktur mendukung? Pelatihannya bagaimana?” ia menjelaskan.

 

Kosasih mengamati bahwa tren penggunaan teknologi, termasuk legaltech, di perusahaan lebih sering reaktif tanpa perencanaan jelas dan perhitungan komprehensif. “Biasanya hanya karena ada penawaran menarik dari penyedia produk legaltech misalnya, lalu berminat dan langsung pakai,” ia menambahkan.

 

Baca:

 

Pengalamannya di Gojek menunjukkan bahwa penggunaan legaltech hanya dengan memastikan efisiensi dan efektifitas apa yang ingin dicapai. Tujuan utamanya pun sebatas untuk membantu tim in house counsel dalam melayani berbagai keperluan dari tim lainnya di perusahaan.

 

Pendapat ini dibenarkan oleh Ibrahim yang mengamati ada ekspektasi berlebihan dalam menempatkan teknologi sebagai solusi. “Sebenarnya kita sering salah mengerti, teknologi tidak bisa berfungsi tanpa mengubah budaya kerja,” ujarnya.

 

Ia mengingatkan bahwa pada akhirnya teknologi tetap sebatas menunjang cara manusia mengelola pekerjaan. Oleh karena itu solusi terbaik untuk mendapatkan layanan jasa hukum pun bukan sekadar dengan menggunakan legaltech tercanggih sebagai pengganti jasa lawyer. Apalagi jika pada akhirnya legaltech tersebut jarang digunakan. “Teknologi yang sangat canggih baru dikatakan membantu jika memang konsisten digunakan,” ujar Ibrahim.

 

Ibrahim menyoroti pentingnya mengubah cara berpikir dan budaya kerja sebelum melibatkan lebih banyak perangkat teknologi dalam pekerjaan. Termasuk dengan mengganti layanan jasa lawyer menjadi legaltech. “Identifikasi dulu persoalan apa yang mau diselesaikan,” ujarnya.

 

Sesi diskusi yang dilakukan bersama dengan peluncuran ASEAN LegalTech ini dihadiri pula oleh Erni Widhyastari selaku Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM. Erni mengakui tantangan yang sama ketika menggunakan teknologi di birokrasi yaitu mengubah budaya kerja. “Kalau tujuan kami adalah memotong jalur birokrasi administrasi, agar lebih cepat delam memberikan pelayanan publik,” Erni menjelaskan.

 

CEO Justika, Melvin Sumapung menyebutkan dalam sesi peluncuran ASEAN LegalTech bahwa telah ada 21 perusahaan legaltech di Indonesia. Pada skala regional Asia Tenggara, tercatat sekira 88 perusahaan legaltech yang telah beroperasi.

 

Indonesia berada di posisi kedua terbanyak setelah Singapura yang memiliki 25 perusahaan legaltech. Justika termasuk salah satu perusahaan legaltech di Indonesia. Produk legaltech yang disediakan Justika melalui justika.com adalah platform lokapasar jasa hukum yang mempertemukan calon klien dengan mitra advokat.

Tags:

Berita Terkait