Tinjauan Hukum Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas
Kolom

Tinjauan Hukum Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas

​​​​​​​Secara eksplisit belum ada pengaturan Hak atas Paten sebagai Barang Milik Negara pada tingkatan Peraturan Menteri.

Bacaan 2 Menit
Stanislaus F. Lumintang. Foto: Istimewa
Stanislaus F. Lumintang. Foto: Istimewa

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) mempunyai karakteristik yang khusus, yaitu high risk, high capital, dan high technology. Karakteristik khusus ini terjadi akibat tingginya risiko yang dapat diakibatkan oleh pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Migas seperti blow out (high risk), besarnya investasi biaya kapital yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan usaha hulu migas (high capital), dan juga dibutuhkan teknologi khusus dan dalam beberapa kasus seperti kegiatan hulu migas lepas pantai juga dibutuhkan teknologi termutakhir untuk mencari dan menemukan cadangan migas (high technology).

 

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berdasarkan Kontrak Kerja Sama wajib untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu migas dengan kaidah-kaidah keteknikan yang baik, di mana kewajiban tersebut harus senantiasa dilaksanakan, walaupun menemui kendala-kendala teknis di lapangan.

 

Kadang kala, untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan teknis yang terjadi di lapangan, KKKS melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk dapat mencari solusi pemecahan masalah yang menghambat jalannya Kegiatan Usaha Hulu Migas yang dilakukan oleh KKKS tersebut. Dari kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh KKKS tersebut, dapat diperoleh suatu produk atau proses baru yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dari segi teknis dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi KKKS tersebut.

 

Terhadap suatu produk atau proses baru yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan KKKS tersebut, terdapat hal yang menarik dan perlu dilakukan kajian lebih lanjut, yaitu terdapatnya potensi pendaftaran Paten atas produk atau proses baru yang memecahkan permasalahan teknis dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas oleh KKKS tersebut.

 

Di sisi yang lain, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukannya suatu kajian terkait dengan pengaturan Paten dalam kaitannya dengan pengaturan Kegiatan Usaha Hulu Migas.

 

Ketentuan Dasar Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas

Untuk mengetahui mengenai pihak mana yang berhak untuk menjadi subyek hukum dalam bidang paten dalam kegiatan usaha hulu migas, yaitu Inventor dan Pemegang Paten, maka perlu dilihat terlebih dahulu mengenai pengaturan kegiatan usaha hulu migas dan pengaturan mengenai Paten itu sendiri.

 

Pasal 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) dalam mengatur bahwa Kegiatan Usaha Hulu Migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit memuat persyaratan:

  1. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
  2. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana (sekarang SKK Migas);
  3. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

 

Dengan melihat pada ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa selama sumber daya alam belum melewati titik penyerahan maka sumber daya alam tersebut masih menjadi milik pemerintah dan pemerintah juga tetap mempunyai kewenangan manajemen melalui SKK Migas.

 

Kewenangan manajemen pada SKK Migas tersebut membawa pola kemitraan yang unik sebagaimana diatur dalam Kontrak Kerja Sama, di mana KKKS bertindak sebagai Operator yang melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sedangkan SKK Migas berperan sebagai manajemen. Selain itu KKKS juga wajib untuk menyediakan terlebih dahulu segala dana dan mengadakan segala barang yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan usaha hulu migas tersebut, di mana barang-barang tersebut akan menjadi barang milik negara. KKKS juga harus menanggung semua risiko yang ada dan dana yang ada hanya akan dikembalikan jika terdapat produksi dari kegiatan usaha hulu migas yang dijalankan KKKS tersebut.

 

Pengaturan lebih lanjut terdapat dalam Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP 35/2004) mengatur bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas yang dibeli KKKS menjadi milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana (sekarang SKK Migas).

 

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Pemerintah yang memiliki sumber daya alam sampai di titik penyerahan, SKK Migas yang memiliki kewenangan manajemen dan barang yang diadakan oleh KKKS menjadi barang milik negara. Konsekuensi dari ditetapkannya barang yang diadakan oleh KKKS menjadi barang milik negara adalah berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai barang milik negara.

 

Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004) mengatur bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 27/2014) juga mengatur bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 ayat (1) PP 27/2014).

 

Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah antara lain adalah barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 2 ayat (2) PP 27/2014).

 

Pengaturan dalam UU 17/2003 dan PP 27/2014 di atas sejalan dengan pengaturan Barang Milik Negara dalam Angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (PMK 89/2019) yang mengatur bahwa barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor yang selanjutnya disebut BMN Hulu Migas adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh Kontraktor dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta sisa operasi dan sisa produksi sebagai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama antara Kontraktor dengan Pemerintah.

 

Dalam perkembangannya, terdapat juga benda bergerak tidak berwujud yang berasal dari Kegiatan Usaha Hulu Migas seperti Hak atas Paten dari berbagai invensi yang dihasilkan dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas. Hal ini menjadikan pengertian barang milik negara Hulu Migas menjadi lebih luas dari yang sebelumnya terdapat dalam PMK 89/2019 karena yang dapat dijadikan sebagai BMN Hulu Migas tidak hanya benda berwujud namun juga benda tidak berwujud (intangible asset) seperti Hak atas Paten. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas.

 

Dasar-Dasar Pengaturan Paten

Selanjutnya perlu dilihat mengenai pengaturan mengenai Paten itu sendiri, di mana telah diundangkan pengaturan terbaru dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU 13/2016). Pasal 1 angka 1 UU 13/2016 mengatur bahwa Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

 

Paten di atas diberikan terhadap invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Langkah inventif tersebut mempunyai arti jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 7 ayat (1) UU 13/2016). Pihak yang berhak memperoleh Paten tersebut adalah Inventor atau Orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.

 

Namun UU 13/2016 juga mengatur mengenai dimungkinkannya Inventor untuk memberikan hak atas Paten tersebut kepada pihak lain, seperti dalam hal Paten atas invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan kerja, Pemegang Patennya adalah pihak yang memberikan pekerjaan (Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 6 UU 13/2016).

 

Pasal 1 Angka 14 UU 13/2016 mengatur Royalti sebagai imbalan yang diberikan untuk penggunaan Hak atas Paten. Dalam Pasal 13 UU 13/2016 memang mengatur mengenai Paten serta Royalti yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan dinas dengan instansi pemerintah, namun dalam Penjelasan Pasal 13 UU 13/2016 dijelaskan bahwa Inventor yang dimaksud adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan instansi pemerintah yang dimaksud diatur terbatas pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

 

Selanjutnya yang menjadi poin penting adalah pengaturan Pasal 59 ayat (3) UU 13/2016 yang mengatur bahwa Hak atas Paten merupakan benda bergerak tidak berwujud. Ketentuan Pasal ini yang menjadi penghubung antara ketentuan Paten dalam UU 13/2016 dengan ketentuan mengenai Barang Milik Negara dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

 

Hak atas Paten Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

Dengan melihat pada ketentuan pengaturan Barang Milik Negara dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas serta pengaturan mengenai Paten itu sendiri maka terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain dasar hukum Paten sebagai Barang Milik Negara serta pengaturan Royalti bagi Paten sebagai Barang Milik Negara.

 

Belum terdapat dasar hukum yang jelas bagi pengaturan Paten sebagai Barang Milik Negara, namun dari ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diketahui bahwa telah terdapat jalan bagi Hak atas Paten untuk dapat dimasukan sebagai Barang Milik Negara.

 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (3) UU 13/2016, Hak atas Paten merupakan benda bergerak tidak berwujud (intangible asset), sehingga jelas bahwa Hak atas Paten dapat dikategorikan sebagai benda/barang.

 

Selanjutnya, UU 1/2004 dan PP 27/2014 telah memberikan pengaturan yang jelas bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, antara lain adalah barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Kontrak Kerja Sama berdasarkan UU 22/2001.

 

Namun kendala bagi pengaturan Hak atas Paten sebagai Barang Milik Negara terdapat pada tingkat pengaturan teknis, dimana PMK 89/2019 belum mengatur mengenai Paten sebagai benda bergerak tidak berwujud.

 

Ketentuan Pasal 2 PMK 89/2019 hanya mengatur sebagai berikut:

  1. BMN Hulu Migas yang dibeli atau diperoleh KKKS dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
  2. BMN Eks Terminasi; dan
  3. BMN Hulu Migas yang merupakan sisa/limbah hasil dari proses operasi/produksi.

 

BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b di atas meliputi:

  1. Tanah, harta benda modal, harta benda inventaris, dan material persediaan pada masa eksplorasi dan/atau produksi; dan
  2. Barang yang berasal dari Kontrak Kerja/Contract of Work (CoW) dan berada dalam tanggung jawab Kontraktor.
  3. BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas meliputi Limbah Sisa Operasi perminyakan dan Limbah Sisa Produksi yang tidak termasuk sebagai produk sampingan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, yang berada dalam tanggung jawab dan pengamanan Kontraktor.

 

Dari pengaturan Pasal 2 di atas, dapat diketahui bahwa secara eksplisit belum ada pengaturan Hak atas Paten sebagai Barang Milik Negara pada tingkatan Peraturan Menteri, walaupun peraturan setingkat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah telah memberikan jalan untuk memasukan Hak atas Paten sebagai Barang Milik Negara.

 

Dengan demikian perlu dibuat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur secara jelas mengenai Hak atas Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas sebagai Barang Milik Negara.

 

Selanjutnya salah satu faktor penting yang perlu diatur adalah pengaturan Pemegang Paten Royalti bagi Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang diatur dalam Pasal 13 UU 13/2016 hanyalah pengaturan Royalti yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan dinas dengan instansi pemerintah, namun ketentuan Penjelasan Pasal 13 UU 13/2016 telah menjelaskan bahwa pengaturan Royalti dimaksud hanya bagi ASN dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

 

Sedangkan jelas bahwa Kontraktor Hulu Migas bukan merupakan ASN dan pihak yang ada dalam Kontrak Kerja Sama juga bukanlah pemerintah pusat secara langsung namun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dengan demikian, ketentuan Pasal 13 UU 13/2016 tidak dapat diterapkan bagi Hak atas Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

 

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketentuan UU 1/2004 dan PP 27/2014 telah mengatur bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, termasuk yang diperoleh berdasarkan Kontrak Kerja Sama dari Kegiatan Usaha Hulu Migas dan yang melakukan Pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari Kontrak Kerja Sama tersebut adalah SKK Migas, berdasarkan UU 22/2001 dan PP 35/2004.

 

Oleh karena itu, jelas bahwa Hak atas Paten yang diperoleh berdasarkan Kontrak Kerja Sama dari Kegiatan Usaha Hulu Migas merupakan Barang Milik Negara, sehingga pengelolaannya juga harus dilakukan oleh Negara, melalui pengaturan yang menjadikan Pemerintah Republik Indonesia cq. SKK Migas sebagai Pemegang Paten, agar Hak atas Paten tersebut bisa dimanfaatkan oleh seluruh Kontraktor di bawah SKK Migas dalam melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu Migas agar dapat mendatangkan manfaat yang maksimal bagi Negara.

 

Pengaturan Pemegang Paten menjadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq. SKK Migas tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara apabila ada pihak di luar Kegiatan Usaha Hulu Migas yang ingin menggunakan Hak atas Paten tersebut. Dengan adanya pengaturan Hak atas Paten menjadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq. SKK Migas, maka Hak Negara atas Paten menjadi terlindungi dan segala pendapatan Royalti yang timbul sehubungan dengan penggunaan Hak atas Paten akan menjadi penerimaan Negara.

 

Diharapkan ke depannya, terdapat dasar hukum yang mengatur lebih lanjut mengenai Hak atas Paten dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas agar membawa kepastian hukum dan melindungi Hak Negara atas Paten untuk kepentingan negara pada umumnya dan untuk kepentingan Kegiatan Usaha Hulu Migas pada khususnya.

 

*) Stanislaus F. Lumintang, S.H., M.H. adalah Legal Counsel & Pengamat Hukum Migas.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait