Tinjau Ulang Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung
Berita

Tinjau Ulang Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung

Wacana uji periodik hakim agung ada sisi positif dan negatifnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Tinjau Ulang Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung
Hukumonline

Selalu muncul dugaan praktik transaksional anggota DPR dengan calon hakim agung saat proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan legislatif. Semisal dugaan praktik percaloan yang diungkap Komisi Yudisial (KY) dan peristiwa “toilet” DPR.

Meski masih sebatas dugaan, namun kewenangan DPR itu menjadi tanda tanya besar. Karena itu, sejumlah pihak meminta agar kewenangan itu ditinjau ulang. Bahkan, ada pihak mendesak agar kewenangan itu ditiadakan karena seringkali digunakan sebagai permainan politik.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur meminta agar kewenangan DPR untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan dalam seleksi CHA perlu ditinjau ulang. Sebab, kewenangan ini terlalu riskan untuk dsusupi permainan politik. Terlebih, jabatan hakim agung bukanlah jabatan eksekutif yang umumnya memerlukan persetujuan lembaga legislatif.

“Jabatan hakim agung kan independen yang masuk ranah yudikatif, sehingga tidak perlu uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Tetapi, saat ini memang  undang-undang mengharuskan adanya tahapan seleksi di DPR,” kata Ridwan saat dihubungi, Sabtu (21/9).

Hal senada juga disuarakan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang meminta perlu adanya kajian ulang terhadap kewenangan DPR untuk memilih hakim agung. Mengingat, terkuaknya dugaan praktik percobaan suap yang diduga dilakukan salah satu anggota Komisi III DPR. Belum lagi, melihat pertemuan anggota DPR dengan seorang CHA di toilet DPR beberapa waktu lalu.

“Karena itu, perlu kiranya untuk mengkaji ulang ikhwal pengangkatan pejabat publik (hakim agung) melalui DPR,” pinta Koordinator Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar.

Tidak Efektif
Terkait soal itu, Ridwan kembali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap wacana uji kelayakan hakim agung setiap lima tahun sekali oleh DPR yang akan dimasukkan dalam RUU MA. Wacana itu dinilai tidak efektif karena eliminasi terhadap hakim agung bermasalah biasanya akan terjadi berdasarkan ‘seleksi alam’.

Terlebih, kata Ridwan, jabatan hakim agung merupakan puncak karier para hakim yang sudah dirintis sejak awal. Selain itu, mencari hakim agung yang baik saat ini bukan perkara mudah. ”Cari hakim ad hoc (tipikor) saja dari 398 orang, yang terpilih hanya satu orang,” katanya.

Ridwan mengatakan secara kelembagaan pihaknya belum memberikan tanggapan resmi atas wacana uji periodik lima tahunan itu. Sebab, belum tercantum dalam draft RUU MA. ”Itu kan masih pendapat seseorang secara lisan saja,” katanya.

Disarankan Ridwan, lebih baik menguatkan fungsi pengawasan terhadap hakim agung jika tujuannya meningkatkan kualitas dan integritas mereka. Proses uji periodik lima tahunan juga dinilai akan memakan biaya tinggi dan waktu yang terbuang, padahal hasilnya diyakini belum tentu signifikan jika dikaitkan dengan tujuannya.

”Sekarang kalau tes berkala di DPR itu bagaimana? Hakim itu kalau sudah lima tahun pasti sudah menghasilkan ribuan putusan. Tiba-tiba dites di DPR satu jam terus ada salah ngomong dan diputus jelek. Bukan tidak fair, tetapi itu tidak efektif,” dalihnya.

Dirinya, bukan bermaksud meragukan kualitas para penguji di DPR, dikhawatirkan pengujian lima tahunan ini kental dengan unsur politisnya. ”Saya lebih cenderung kontrolnya ditingkatkan. Saat putusan dikontrol, lakukan saja eksaminasi atas tiap putusan yang dianggap kontroversial,” sarannya.

Menurutnya, eksaminasi putusan juga tidak dilakukan penuh DPR, tetapi harus melibatkan peran dari ahli hukum di luar lembaga peradilan. ”Itu pun hanya untuk putusan yang dinilai kontroversial atau menyalahi aturan.“

Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrahman Syahuri menilai rencana uji periodik lima tahunan terhadap hakim agung itu mengandung sisi positif dan negatif. ”Positifnya, semua pejabat publik kita kan lima tahunan. Nah, kalau pejabat publik itu lebih dari lima tahun negatifnya memang kalau misalnya ada yang jelek susah memberhentikan,” kata Taufiq.

Sementara sisi negatifnya adalah uji berkala ini rawan dipolitisasi. Bukan tidak mungkin terjadi bergaining politik dalam prosesnya. ”Jadi sebaiknya memang setiap lima tahun itu ditinjau ulang, tetapi bukan proses politik, melainkan proses dari sisi keilmuan,” sarannya.

Bisa saja, kata Taufiq, dibentuk lembaga khusus atau mengoptimalkan peran KY dengan melibatkan para ahli hukum untuk mengeksaminasi putusan kontroversial yang dihasilkan hakim agung. ”Kalau harus fit and proper test di DPR ini kurang bagus karena nuansanya politik terus. Jadi tidak perlu politik untuk evaluasi pengawasan itu.”

Menurut dia, persoalan ini ada ketidaksinkronan antara UU KY dan UUD 1945. Dalam UUD 1945, DPR hanya berwenang menyetujui CHA yang diusulkan KY, seperti pemilihan Kapolri. Sementara dalam UU KY,  lembaganya harus mengirimkan tiga CHA untuk satu jabatan hakim agung ke DPR. 

“Konstitusinya bilang persetujuan, DPR hanya setuju atau tidak terhadap CHA yang diusulkan KY. Makanya, ketentuan kuota pemilihan hakim agung ini lagi diujimaterikan di MK,” imbuhnya.

Tags: