Hakim berperan penting dalam sistem peradilan. Putusan hakim berdampak langsung terhadap nasib para pihak yang berperkara. Banyak faktor yang mendukung hakim menghasilkan putusan yang berkeadilan, salah satunya kesejahteraan yudisial. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof Bagus Takwin mengatakan kesejahteraan yudisial atau judicial wellbeing terkait aspek positif dan negatif emosi baik kinerja dan kebahagiaan. Secara negatif, bagaimana menghilangkan halnya membuat tidak nyaman seperti tingkat stres.
Dari beberapa studi yang pernah dilakukan seperti tahun 2010-2020 menunjukkan tingkat stres hakim cenderung tinggi, terutama hakim perempuan. Tingkat stres hakim perempuan lebih tinggi karena terkait dengan beban tambahan di pundaknya. Misalnya, hakim perempuan perlu pindah wilayah kerja, sehingga berpotensi jauh dari keluarga. Peran perempuan dalam sebuah keluarga sangat penting, sebagai pemelihara keluarga. Berbeda dengan hakim pria yang relatif tidak ada beban ketika ditempatkan di daerah yang jauh dari keluarga.
“Faktor gender mempengaruhi tingkat stres karena peran sosial yang diemban perempuan,” kata Prof Bagus dalam seminar internasional yang diselenggarakan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) bertema "Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Hakim Perempuan Menuju Badan Peradilan yang Agung”, Jum'at (26/4/2024).
Baca Juga:
- Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia Gelar Seminar Internasional
- Keberadaan BPHPI Menjadi Momentum Penguatan Hakim Perempuan
- Para Perempuan Pengadil yang Dituntut Adil Jadi Ibu dan Istri
Prof Bagus mengusulkan mekanisme penempatan hakim ke daerah tertentu perlu mencermati faktor kenyamanan bagi hakim yang bersangkutan terutama bagi hakim perempuan. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi tingkat stres hakim. Faktor lain yakni lingkungan kerja dan budaya. Promosi terhadap hakim perlu terus didukung, dan juga faktor hubungan sosial juga penting diperhatikan.
Butuh dukungan sosial
Dalam kesempatan itu, Klerek Konselor Biro Kepegawaian MA, Moch Mirza, mengatakan pihaknya telah melakukan survei internal yang menyasar para hakim di tingkat pengadilan pertama sampai MA. Populasi yang digunakan sebanyak 1.700 hakim dengan tingkat partisipasi tertinggi secara berurutan yakni hakim di tingkat MA, pengadilan tinggi, dan pengadilan tingkat pertama. Penelitian dengan metode kualitatif ini menghasilkan data yang menunjukan ada perbedaan rata-rata tingkat stres hakim laki-laki dan perempuan.
“Tingkat stres hakim perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Penyebabnya kita tanya (dalam survei, red) apakah butuh psikolog? Jawabnya cenderung butuh psikolog,” ujar Mirza.