Tingkat Stres Hakim Perempuan Lebih Tinggi, MA Rumuskan Kebijakan Afirmatif
Utama

Tingkat Stres Hakim Perempuan Lebih Tinggi, MA Rumuskan Kebijakan Afirmatif

Hakim perempuan punya peran sosial yang lebih besar dibanding hakim laki-laki yakni sebagai pemelihara keluarga. MA akan merumuskan kebijakan promosi dan mutasi bagi hakim perempuan yang lebih baik.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Klerek Konselor Biro Kepegawaian MA Moch Mirza; Dekan Fakultas Psikologi UI Prof Bagus Takwin (tengah) dalam seminar internasional bertajuk 'Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Hakim Perempuan Menuju Badan Peradilan yang Agung', Jumat (26/4/2024). Foto: Tangkapan Layar Youtube MA
Klerek Konselor Biro Kepegawaian MA Moch Mirza; Dekan Fakultas Psikologi UI Prof Bagus Takwin (tengah) dalam seminar internasional bertajuk 'Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Hakim Perempuan Menuju Badan Peradilan yang Agung', Jumat (26/4/2024). Foto: Tangkapan Layar Youtube MA

Hakim berperan penting dalam sistem peradilan. Putusan hakim berdampak langsung terhadap nasib para pihak yang berperkara. Banyak faktor yang mendukung hakim menghasilkan putusan yang berkeadilan, salah satunya kesejahteraan yudisial. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof Bagus Takwin mengatakan kesejahteraan yudisial atau judicial wellbeing terkait aspek positif dan negatif emosi baik kinerja dan kebahagiaan. Secara negatif, bagaimana menghilangkan halnya membuat tidak nyaman seperti tingkat stres.

Dari beberapa studi yang pernah dilakukan seperti tahun 2010-2020 menunjukkan tingkat stres hakim cenderung tinggi, terutama hakim perempuan. Tingkat stres hakim perempuan lebih tinggi karena terkait dengan beban tambahan di pundaknya. Misalnya, hakim perempuan perlu pindah wilayah kerja, sehingga berpotensi jauh dari keluarga. Peran perempuan dalam sebuah keluarga sangat penting, sebagai pemelihara keluarga. Berbeda dengan hakim pria yang relatif tidak ada beban ketika ditempatkan di daerah yang jauh dari keluarga.

“Faktor gender mempengaruhi tingkat stres karena peran sosial yang diemban perempuan,” kata Prof Bagus dalam seminar internasional yang diselenggarakan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) bertema "Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Hakim Perempuan Menuju Badan Peradilan yang Agung”, Jum'at (26/4/2024).

Baca Juga:

Prof Bagus mengusulkan mekanisme penempatan hakim ke daerah tertentu perlu mencermati faktor kenyamanan bagi hakim yang bersangkutan terutama bagi hakim perempuan. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi tingkat stres hakim. Faktor lain yakni lingkungan kerja dan budaya. Promosi terhadap hakim perlu terus didukung, dan juga faktor hubungan sosial juga penting diperhatikan.

Butuh dukungan sosial

Dalam kesempatan itu, Klerek Konselor Biro Kepegawaian MA, Moch Mirza, mengatakan pihaknya telah melakukan survei internal yang menyasar para hakim di tingkat pengadilan pertama sampai MA. Populasi yang digunakan sebanyak 1.700 hakim dengan tingkat partisipasi tertinggi secara berurutan yakni hakim di tingkat MA, pengadilan tinggi, dan pengadilan tingkat pertama. Penelitian dengan metode kualitatif ini menghasilkan data yang menunjukan ada perbedaan rata-rata tingkat stres hakim laki-laki dan perempuan.

“Tingkat stres hakim perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Penyebabnya kita tanya (dalam survei, red) apakah butuh psikolog? Jawabnya cenderung butuh psikolog,” ujar Mirza.

Menariknya, ketika menjawab pertanyaan lanjutan, apa yang paling dirasakan? Dari hasil survei itu Mirza mengatakan para hakim perempuan menjawab yakni konflik antara keluarga dan pekerjaan. Ada peran ganda yakni sebagai hakim di lingkungan kerja dan sebagai ibu sekaligus istri di lingkungan keluarga. Faktor yang mempengaruhi tingkat stres hakim terkait juga adanya potensi ancaman dan dari lingkungan.

Terakhir, Mirza menjelaskan dari hasil riset itu menunjukan hakim perempuan yang relatif lebih tinggi tingkat stres butuh dukungan sosial dari organisasinya. Penguatan secara religi dan profesionalitas harus terus dilakukan.

Promosi-mutasi tidak disamakan

Ketua BPHPI Nani Indrawati mengatakan organisasi yang dipimpinnya berupaya melakukan koordinasi dengan pihak terkait soal keluhan yang disampaikan hakim perempuan. Antara lain berkoordinasi dengan Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA. Soal keamanan hakim, berkoordinasi dengan pimpinan MA dan menyampaikan usul perbaikan perlindungan dan keamanan hakim tak hanya di ruang sidang tapi juga sampai ke rumah. “Karena teror bisa juga ke rumah,” bebernya.

Hukumonline.com

Ketua BPHPI yang juga Hakim Agung Kamar Perdata MA Dr. Nani Indrawati. 

Mengenai mutasi dan promosi, Nani mengusulkan mekanismenya tidak disamaratakan untuk semua hakim. Misalnya, untuk hakim perempuan tidak perlu dimutasi ke tempat yang jauh seperti Papua. Sebab apa manfaatnya bagi institusi ketika hakim perempuan yang bersangkuta menjadi stres ketika dimutasi dan jauh dari keluarga. Sekalipun perlu ditempatkan di daerah yang jauh, perlu dipikirkan juga bagaimana agar hakim perempuan tersebut bisa mengakses transportasi yang mudah, sehingga bisa dengan cepat menemui keluarganya.

“Hakim perempuan punya tugas ganda di lingkungan rumah tangga yakni sebagai ibu sekaligus istri yang harus ngopeni dan juga kinerjanya (sebagai hakim, red) harus optimal. Maka pendekatan yang dilakukan harus berbeda,” saran Hakim Agung Kamar Perdata MA ini.

Menurut Nani, pimpinan MA mendengarkan keluhan hakim perempuan, dan saat ini masih dirumuskan solusinya. Tak hanya hakim perempuan, hakim laki-laki juga mengalami stres walau tingkatnya lebih rendah. Salah satu sebabnya karena overload menangani perkara. Hakim perempuan tingkat stres lebih tinggi karena selain memikul beban kerja sebagai hakim juga masalah internal di keluarga.

Dari 8 ribuan jumlah hakim di semua tingkatan sebanyak 29 persen atau hampir 3 ribuan hakim perempuan. Dari 29 persen jumlah hakim perempuan itu hanya 24 persen yang mengampu sebagai pimpinan pengadilan. Presentase jumlah hakim perempuan di Indonesia bisa dibilang tidak terlalu rendah dibanding negara lain. Idealnya, presentase hakim perempuan sebesar 30 persen.

“Kami saling menguatkan dan mendorong ada role model bagaimana berkarier sebagai hakim berkualitas dan berintegritas. Jadi bisa mencapai tahap hakim tinggi,” ujar Nani.

Ketua MA M. Prof Syarifuddin menyebutkan untuk mutasi hakim, MA mengupayakan agar hakim perempuan berada di wilayah yang tidak jauh dengan keluarganya. Tapi kendalanya ketika posisi jabatan hakim perempuan naik, tak melulu jabatan tersedia di wilayah yang dekat. Bisa jadi jabatan tersebut ada di daerah yang jauh dengan keluarganya.Tapi ini jadi masukan dan catatan untuk dirumuskan bersama bagaimana kebijakan yang terbaik.

“Nanti kita bicarakan bersama. Kita akan menindaklanjuti itu tadi, soal stres hakim perempuan lebih tinggi. Nah ini klinik medis sudah ada nanti ditambah psikolog. Maka silakan dirumuskan nanti dibicarakan,” kata Syarifuddin.

Syarifuddin mengatakan soal perlindungan fokus terhadap semua hakim baik perempuan dan laki-laki. MA sudah lama ingin memiliki satuan keamanan sendiri yang melindungi warga peradilan. Perlindungan itu baik di dalam persidangan, eksekusi, dan tempat tinggal hakim. Beberapa waktu silam soal perlindungan bagi hakim ini pernah dibahas sampai DPR, tapi tak tuntas.

Mengingat ini menjadi kebutuhan, Syarifuddin melanjutkan MA masih melakukan penjajakan untuk merumuskan bagaimana pengamanan yang tepat. Misalnya, untuk aparat keamanan yang memegang senjata, apakah nanti ada aparat Polri yang ditugaskan di lingkungan peradilan atau MA melakukan perekrutan. Selama ini ada 2 aparat kepolisian yang bertugas mengamankan pengadilan.

“Tapi memang yang kita inginkan tak hanya itu (di pengadilan, red) tapi juga di rumah, di luar lingkungan kerja dan ketika melakukan eksekusi,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait