Tingkat Pelanggaran Hukum Pemilu di Papua “Juara Satu”
Berita

Tingkat Pelanggaran Hukum Pemilu di Papua “Juara Satu”

Secara serius yang harus digarisbawahi adalah hubungan kekeluargaan yang begitu erat dalam kultur masyarakat Papua sedikit banyak mempengaruhi netralitas penyelenggara.

M. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyebut Provinsi Papua sebagai daerah dengan tingkat pelanggaran Pemilihan Umum (Pemilu) tertinggi seluruh Indonesia. Hal ini sebagaimana disampaikan anggota DKPP, Alfitra Salam, Jumat (24/8).

 

Alfitra menyebut bahwa Provinsi Papua masih menjadi juara satu dalam hal pelanggaran pemilu, baik di DKPP maupun di Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, Papua masih menjadi juara bertahan, “staminanya” masih kuat dan panas. Alfitra menilai hal ini ikut ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang juga tinggi.

 

Bisa dikatakan, tingginya penyimpangan terhadap hukum Pemilu di Papua dipengaruhi oleh perilaku politik masyarakat. Alfitra bahkan menilai deviasi perilaku politik di daerah ini terjadi di hampir semua tingkatan masyarakat. Untuk itu, perlu upaya khusus untuk mempelajari aspek-aspek penyebab tingginya pelanggaran hukum Pemilu di Papua.

 

“Saya menghargai budaya politik yang partisipatif. Persoalan kekuasaan di Papua masuk dalam kategori serius, dari level atas sampai level bawah. Ini menarik untuk dikaji,” ujar Alfitra sebagaimana yang dikutip hukumonline dari website resmi DKPP.

 

Meski demikian, Alfitra tidak ingin hanya melihat problem hukum Pemilu Papua dari sisi yang negatif. Ia menilai ada hal positif dari masifnya partisipasi masyarakat tersebut. Di balik itu semua, ada keinginan masyarakat untuk perbaikan dan perubahan kepemimpinan daerah.

 

Terkait masifnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu ataupun Pilkada di Papua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beberapa waktu lalu juga merilis data partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak 2018. Dari 170 daerah yang melaksanakan Pilkada pada 27 Juni 2018, Papua menempati posisi teratas dalam hal partisipasi masyarakat.

 

“Sementara tertinggi. Saya kira dengan beberapa catatan ya atas kejadian di Papua, tertingginya di Papua, 84 persen,” ujar anggota Bawaslu, Muhammad Afif. Menurut Afif, jika ditotal, ada 2.910.501 pemilih di Papua yang menggunakan hak suaranya.

 

(Baca Juga: Sanksi Administrasi Tak Menggugurkan Sanksi Pidana dalam Pilkada)

 

Sementara komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra menyatakan tidak terkejut dengan tingginya artisipasi pemiih di Papua pada Pilkada 2018 lalu. Menurut Ilham, hal itu terjadi karena ada sistem Noken yang diterapkan di Papua sehingga dari seluruh daerah yang melaksanakan Pilkada pada 2018, hanya Papua yang melampaui target partisipasi masyarakat yang dipasang KPU.

 

“Bukan Anomali sebetulnya, Noken itu yang bisa saja membuat partisipasi terlihat besar,” ujar Ilham.

 

Sistem Noken sendiri adalah pola pemungutan suara khusus yang dilakukan di Papua. Dalam sistem Noken, kepala suku mewakili seluruh anggota sukunya dalam memilih calon kepala daerah.

 

Untuk itu, Alfitra mengingatkan kepada jajaran penyelengara di tingkat daerah, KPU maupun Bawaslu Provinsi Papua untuk selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap penyelenggara yang ada di tingkatan yang lebih rendah. Peran lembaga penyelenggara dituntut lebih ekstra untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran dan kecurangan.

 

Selain itu, sebagai langkah peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara Pemilu di Papua, Alfitra menilai perlu diselenggarakan bimbingan teknis secara reguler. Hal ini bertujuan agar meningkatkan pemahaman terhadap regulasi terkait kepemiluan.

 

(Baca juga: Aparatur Negara Wajib Jaga Netralitas dalam Pilkada Serentak)

 

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah penyelenggara -baik pelaksana maupun pengawas-, wajib untuk senantiasa menjaga netralitas. “Netralitas di sini sangat spesifik, sebab di Papua ini semuanya bersaudara. Kultur budaya politik kekeluargaan inilah yang mengganggu netralitas penyelenggara pemilu,” ungkap Alfitra.

 

Secara serius yang harus digaris bawahi adalah hubungan kekeluargaan yang begitu erat dalam kultur masyarakat Papua sedikit banyak mempengaruhi netralitas penyelenggara. Alfitra berharap, ketika seseorang telah dilantik sebagai penyelenggara, maka harus meninggalkan identitas kekeluargaannya.

 

Profesionalitas penyelenggara Pemilu di tingkat daerah harus mampu menembus sekat primordial dalam bentuk apapun. Termasuk yang paling lumrah terjadi di Papua adalah identitas kesukuan.

 

Yang kerap terjadi selama ini adalah ketidakmampuan penyelenggara memisahkan antara melaksanakan tugas sebagai penyelenggara dengan melakukan pembelaan terhadap keluarga. Kultur guyub keluarga ini nyaris menyulitkan penyelenggara Pemilu di Papua untuk menilai perbuatan mulia mereka di hadapan khalayak dengan pelanggaran hukum Pemilu dan profesionalitas penyelenggara.

 

“Dapat disimpulkan bahwa pelanggaran di Papua akan tetap tinggi, jika kultur budaya politik kekeluargaan masih tinggi,” pungkas Alfitra.

 

Tags:

Berita Terkait