Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan Wetboek Van Strafrecht dan KUHP
Terbaru

Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan Wetboek Van Strafrecht dan KUHP

KUHP ini tidak hanya berpusat pada tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek individual pelaku tindak pidana.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 9 Menit

 

Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab. Model ini bersandar pada pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab pengurus yang akan selalu dianggap sebagai pelaku atas delik tersebut. Pada model ini, pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu—meski sebenarnya, kewajiban tersebut adalah kewajiban dari korporasi. Jika pengurus tidak memenuhi kewajiban tersebut, ia juga akan dipidana. 

 

“Merujuk pada WvSyang berlaku di Indonesia, model pertanggungjawaban ini termaktub di dalam Pasal 169, Pasal 398, dan Pasal 399 WvS. Pasal-pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa terhadap pendiri, pengurus, maupun komisaris suatu perseroan terbatas yang melakukan maupun turut serta dalam melakukan kejahatan, maka akan dikenakan sanksi pidana. Jika melihat ketentuan tersebut, perbuatan pidana dan pertanggungjawaban lebih ditekankan kepada pengurus, bukan korporasinya,” sebagaimana juga tertulis dalam buku berjudul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (2011).   

 

Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. Pada model ini, korporasi sebagai subjek hukum sudah dikenal, sehingga dianggap dan diakui mampu melakukan perbuatan pidana. Namun, pertanggungjawabannya tetap akan dibebankan kepada pengurus. 

 

Pengurus ditunjuk sebagai alat yang bertanggung jawab atas apa yang dianggap dilakukan oleh korporasi, yaitu yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk pelanggaran, bukan kejahatan. “Dengan demikian, pengurus atau pemimpin korporasi bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dianggap sebagai tindakan dari korporasi, terlepas ia mengetahuinya atau tidak,”Bagus menambahkan. 

 

Berdasarkan WvS yang berlaku di Indonesia, menurut Mardjono, model pertanggungjawaban kedua ini telah termaktub di dalam Pasal 59 WvS, yang menyatakan bahwa dalam hal pelanggaran dilakukan oleh pengurus, anggota, maupun komisaris; maka pengurus, anggota, maupun komisaris yang tidak terlibat tidak dipidana. Ketentuan ini mengatur korporasi dapat melakukan tindak pidana. Namun, pertanggungjawabannya dibebankan kepada pengurus, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan dirinya tidak terlibat. 

 

Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab. Pada model ini, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum telah diakui sepenuhnya. Ini karena korporasi sebagai pembuat telah dapat diminta pertanggungjawaban. Model pertanggungjawaban ini tidak diatur di dalam WvS, melainkan melalui undang-undang khusus lain, salah satunya Pasal 15 Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 

 

“Dengan demikian, telah jelas bahwa WvS di Indonesia hanya mengenal model pertanggungjawaban pertama dan kedua terhadap tindak pidana korporasi, yang mana pada akhirnya beban pertanggungjawaban tersebut tetap akan dijatuhkan kepada pengurus korporasi (karena ia dibebankan tugas mengurus (zorgplicht)),” dikutip dari makalah Tindak Pindana Korporasi dan Pertanggungjawabannya—Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia. 

Tags:

Berita Terkait