Tim Pembela Kebebasan Pers Siap Hadapi Banding Putusan Pemutusan Internet
Berita

Tim Pembela Kebebasan Pers Siap Hadapi Banding Putusan Pemutusan Internet

Tim Pembela meyakini putusan majelis hakim di Pengadilan Tinggi TUN akan kembali memenangkan atau menguatkan putusan PTUN Jakarta.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES

Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika akhirnya menyatakan banding atas PTUN Jakarta Nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-Jakarta tanggal 3 Juni 2020 terkait pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua pada Agustus-September 2019 lalu yang dinyatakan perbuatan melawan hukum. Informasi banding ini diketahui Tim Pembela Kebebasan Pers melalui surat pemberitahuan pernyataan banding dari PTUN Jakarta tanggal 16 Juni 2020.

Tim Pembela Kebebasan Pers Erasmus Napitupulu mengatakan keputusan mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta soal pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat merupakan hak Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika. Namun, Tim Pembela Kebebasan Pers menyayangkan karena pemerintah tidak mau belajar dari putusan majelis hakim yang dengan gamblang memutus perkara ini dengan berbagai pertimbangan hukum.  

“Pengajuan banding ini, akan melukai hati dan rasa keadilan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat yang menjadi korban perlambatan dan pemutusan akses internet di Papua, karena memperpanjang proses peradilan,” kata Erasmus dalam keteranganya yang diterima Hukumonline, Sabtu (20/6/2020). (Baca Juga: Putusan Pembatasan Internet di Papua Harus Jadi Pedoman bagi Pemerintah)

Direktur Eksekutif ICJR ini menilai pemerintah juga tidak belajar dari gugatan-gugatan lainnya seperti gugatan kebakaran hutan di Kalimantan, gugatan Ujian Nasional, dan lainnya yang justru terus kalah dan malah membuat semakin memperburuk wajah pemerintahan.

Menurutnya, pengajuan banding ini juga semakin menegaskan pemerintah tidak memahami fungsi dan peran peradilan, serta tidak mau menerima partisipasi dan koreksi dari masyarakat. Hal ini juga sesuai kekhawatiran pihaknya bahwa pemerintah menganggap langkah-langkah hukum yang diambil masyarakat dan dihargai konstitusi dianggap sebagai lawan dan gangguan.

“Tim Pembela Kebebasan Pers siap menghadapi banding pemerintah dan meyakini putusan majelis hakim di Pengadilan Tinggi TUN akan kembali memenangkan atau menguatkan putusan PTUN Jakarta,” kata Eras optimis. Tim Pembela Kebebasan Pers terdiri dari AJI Indonesia, SAFENet, LBH PERS, YLBHI, KontraS, ICJR, ELSAM.

Sebelumnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan tindakan tergugat I (Kementerian Kominfo) dan Tergugat II (Presiden RI) yang memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu adalah perbuatan melanggar hukum. Putusan ini mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari AJI, SAFEnet, dan lain-lain.

Majelis Hakim menilai Tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet di Papua.  Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”. 

"Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet," demikian salah satu pertimbangan putusan ini.

Majelis menilai alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai yang diatur UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Pengaturan diskresi dalam UU Administrasi adalah satu kesatuan secara kumulatif, bukan alternatif yakni untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberi kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum juga dinilai tidak tepat. Sebab, kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu. Sebenarnya ada ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak yaitu UU tentang Keadaan Bahaya.

Namun, pemerintah tidak menggunakan UU tersebut dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam kasus Papua ini. Majelis juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.

Tags:

Berita Terkait